Pertanyaan #07
Hadis Ghadir Khum Dhaif, Padahal Syiah Mengacunya Sebagai Dasar Pengangkatan Imam Ali sa.?
Tuduhan
Hadis Ghadir Khum semuanya dhaif serta hanya diriwayatkan, dan bahkan dibuat-buat, oleh orang Syiah.
Jawaban
Banyak sekali hadis tentang Ghadir Khum dalam kitab-kitab Ahlussunnah. Al-Amini telah mengumpulkan semua hadis Ghadir Khum dan mengulasnya dalam 11 jilid kitabnya yang ensiklopedis –Al-Ghadir. Dari semua hadis Ghadir Khum ini kita dapat menyimpulkan peristiwa Ghadir Khum sebagai berikut:
Hari itu tanggal 18 Dzulhijjah. Nabi Muhammad saw pulang dari haji terakhirnya. Lebih dari seratus ribu orang sahabat menyertai perjalanannya yang suci. Tiba-tiba Sang Nabi saw menyuruh seluruh kafilah berhenti, di sebuah mataair yang dinaungi dengan beberapa pohon besar.
Oase itu bernama Khum. Beliau menyuruh kafilah yang terlambat untuk mempercepat gerakannya; rombongan yang sudah berada di depan diperintahkan balik lagi. Rasulullah saw berhenti di situ karena baru saja Jibril datang menyampaikan ayat:
يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗ وَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗ وَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ - ٦٧Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan Allah kepadamu. Jika tidak Kausampaikan maka engkau belum menyampaikan risalahNya. Allah akan melindungi kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS Al-Maidah 5:67)
Beliau menyuruh orang membersihkan tempat di bawah pepohonan itu. Kemudian azan dikumandangkan. Di tengah sengatan matahari yang terik, ratusan ribu umat manusia rukuk dan sujud di belakang Rasulullah saw. Bagi puluhan ribu orang, itulah salat berjamaah terakhir bersama sang Utusan.
Usai salat Nabi saw menyampaikan khotbahnya: Tampaknya, waktu semakin mendekat saat aku akan dipanggil Allah swt. Aku akan memenuhi panggilan itu. Aku akan tinggalkan dua hal yang berharga dan jika kalian setia kepadanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Dua hal itu adalah Kitab Allah dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai mereka bertemu denganku di telaga.
Nabi saw melanjutkan: “Apakah aku lebih berhak atas orang beriman daripada diri mereka sendiri?”. Orang-orang berseru dan menjawab: “Benar, yaa Rasul Allah saw..”. kemudian Nabi saw mengangkat lengan Ali as dan berseru: “Barang siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka ‘Ali adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai dia dan musuhi mereka yang memusuhi dia”
Para sahabat berbondong-bondong mengucapkan selamat kepada Imam Ali. Umar bin Khathab menyalami Ali sambil berkata: “Selamat, wahai putra Abi Thalib, engkau telah menjadi mawla mukmin dan mukminat.”
Karena luar biasa banyaknya sumber-sumber Ahlussunnah tentang hadis ini, kita tidak mungkin mencantumkannya di sini. Cukuplah kita perlihatkan di sini beberapa Kitab Tafsir Ahlussunnah yang memuat hadis Ghadir Khum sebagai penjelasan untuk Al-Maidah 67:
- Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani 2:348
- Al-Fakhr al-Razi, 12:50
- Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur 2:298
- Al-Syawkani, Fath al-Qadir 2:60
- Al-Wahidi, Asbab al-Nuzul 115
- Sayyid Rasyid Ridha, Al-Manar 6:463
- Sayyid Shiddiq Hasan Khan, Fath al-Bayan fi Maqashid al-Quran 3:63
Komentar Ahli Hadis
Hadis Ghadir Khum, Hadis Mutawatir.
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan al-Nasai dengan jalan-jalan yang sangat banyak, katsir al-thuruq jiddan. Ibn ‘Uqdah telah mengumpulkan hadis-hadis itu dalam satu kitab. Kebanyakan sanadnya sahih dan hasan (Fath al-Bari 7:74, Kitab Fadhail al-Shahabah, bab Manaqib Ali bin Abi Thalib. Lihat juga bukunya Tahdzib al-Tahdzib 4:204, nomor 5561 tarjamah Ali bin Abi Thalib).
Kitab yang ditunjuk oleh Ibn Hajar adalah Ibn ‘Uqdah, Hadis alWilayah, yang meriwayatkan sekitar 105 rangkain sanad (thariq). Ibn Hajar banyak mengutip hadis dari kitab ini. Keberadaan kitab ini disaksikan bukan hanya oleh Al-Asqalani, tetapi juga oleh ulama besar lainnya seperti antara lain, Ibn Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah, AlKanzi al-Syafi’I dalam Kifayat al-Thalib, Al-Qanduzi alSyafi’i dalam Yanabi’ al-Mawaddah sampai kepada peneliti hadis mutakhir Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah 4:343.
Selain Hadis al-Wilayah¸Ibn Hajar juga menunjuk Kitab al-Wilayah. Di situ Muhammad Jarir al-Thabari mengumpulkan hadis-hadis Ghadir Khum melalui 75 rangkaian sanad. Ibn Hajar menulis, “Ibn Jarir al-Thabari menulis kitab yang di dalamnya banyak banyak sekali hadis Ghadir Khum dan ia menshahihkannya.” (Tahdzib al-Tahdzib 4:204 5561)
Al-Thabari, penulis tafsir ini, mengumpulkan hadis Ghadir Khum melalui 75 jalan. Kata Ibn Katsir, Al-Thabari mengumpulkan hadis-hadis itu dalam dua jilid yang tebal (Tarikh Ibn Katsir Al-Bidayah wa al-Nihayah 11:158 kejadian tahun 10).
Al-Dzahabi berkata ketika menjelaskan riwayat hidup Ibn Jarir al-Thabari, “Ketika sampai kepadanya kritikan Abu Dawud tentang hadis Ghadir Khum, ia segera menulis kitab tentang Keutamaan Sahabat (Al-Fadhail). Ia menyatakan keshahihan hadis itu. Aku berkata: Aku melihat satu jilid buku Ibn Jarir yang memuat rangkaian sanad hadis (Ghadir Khum). Aku terpesona luar biasa denagn banyaknya rangkaian sanad itu” (Tadzkirat alHuffazh 2:713, nomor 728).
Dalam bukunya yang lain Al-Dzahabi menulis, “Ketika kritik Abu Bakar bin Abu Dawud sampai kepadanya ia segera menulis Kitab Al-Fadhail. Ia memulainya dengan keutamaan Abu Bakar dan Umar, kemudian ia berbicara tentang shahihnya hadis Ghadir Khum beserta alasan-alasan untuk menshahihkannya. Tetapi ia belum menyelesaikan kitabnya.” (Siyar A’lam al-Nubala 14:274) Anehnya, beberapa lembar setelah itu, Al-Dzahabi menulis, “Ia mengumpulkan hadis Ghadir Khum dalam empat jilid. Aku baru melihat setengahnya saja. Aku sangat takjub dengan keluasan (banyak) riwayatnya dan aku meyakini dengan pasti tentang peristiwa itu” (Siyar A’lam al-Nubala 14:277).
Jadi, Ibn Jarir menulis empat jilid buku tentang Ghadir Khum dan itu dikatakannya belum selesai. Al-Qadhi Abu Hanifah al-Nu’man menceritakan sebabnya Ibn Jarir menulis buku itu. Abu Dawud mendhaifkan hadis itu dengan alasan bahwa Imam Ali waktu itu tidak ikut haji bersama Rasulullah saw, karena ia diutus ke Yaman. “Al-Thabari sangat keheranan akan kebodohan orang yang berkata seperti itu. Ia pun kemudian berhujah dengan riwayat yang kuat tentang kedatangan Ali dari Yaman dan bergabung dengan Rasulullah saw di Mekah. Al-Thabari mengemukakan banyak hujah untuk menolak pendapat yang menentang dan menyimpang itu. Pendapat itu tidak pernah dikemukakan oleh ahli hadis. Mereka sudah menegaskan kesahihan dan kekokohan hadis itu” (Syarh al-Akhbar 1:130-136).
Al-Munawi ketika menerangkan hadis “Man kuntu mawlah fa Aliyyun mawlah” dalam Al-Jami’ al-Shaghir berkata: Al-Haitsami berkata: Rijal Ahmad semuanya terpercaya. Pada tempat lain ia berkata: Rijalnya rijal yang shahih. Al-Mushannif berkata: Hadis mutawatir (Faidh alQadir 6:218).
Ali Al-Qari berkata: Walhasil, sesungguhnya hadis Ghadir ini shahih dan tidak diragukan lagi. Bahkan sebagian huffazh menghitungnya sebagai hadis mutawatir. Karena dalam riwayat Ahmad saja terdapat 30 sahabat Nabi saw yang mendengar hadis itu.“ (Mirqat al-Mafatih 10:464, di bawah hadis 6091).
Ibn Syahin menyebutkan sekitar 100 orang sahabat. Ia berkata: Hadis ini kokoh (tsabit). Aku tidak melihat cacatnya sedikit pun. Hanya Alilah yang memperoleh keutamaan ini. Tidak seorang pun yang menandinginya.“ (Syarh Madzahib Ahl al-Sunnah 103, penjelasan hadis 87).
Terakhir kita kutipkan komentar dari Abul Khayr Syamsuddin Muhammad Al-Jazari Al-Syafii (wafat 833H) dari ulama hadis terdahulu dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, ahli hadis mutakhir. Al-Hafizh al-Jazari menyebutkan kemutawatiran hadis ini dalam kitabnya Asna al-Mathalib fi Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib, 48, ketika ia berkata: “dalam riwayat ini hadis itu hasan dan dalam banyak riwayat, hadis ini shahih, mutawatir dari Amiril Mukminin, Ali bin Abi Thalib dan mutawatir juga dari Nabi saw; diriwayatkan oleh kelompok yang sangat banyak sehingga tidak perlu diperhatikan orang-orang yang berusaha mendhaifkan hadis ini di kalangan orangorang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu hadis” (Asna al-Mathalib 48).
Setelah melakukan takhrij dan mengulas hadis Ghadir Khum berikut sywahid dan mutabi’atnya, Al-Albani mengkritik orang yang mendhaifkan hadis ini. Salah seorang di antaranya Ibn Taymiyyah. Ia menulis: “Aku melihat Syaikh Ibn Taimiyyah mendhaifkan bagian awal dari hadis ini dan menganggap bagian akhirnya dusta! Menurut pendapatku, ini pendapat yang ekstrem yang timbul karena ketergesa-gesaannya dalam mendhaifkan hadis sebelum mengumpulkan semua thariqnya dan melakukan penelitian yang mendalam terhadapnya” (Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah 4:343).
Catatan
Karena hadis Ghadir Khum ini bukan hanya shahih tetapi juga mutawatir, hadis ini mencapai posisi qathi’y al-wurud. Menurut para ulama, menolak hadis yang seperti ini berarti kufur. Seperti disebutkan di atas, Ibn Taimiyah termasuk yang mendustakan hadis ini. Ibn Hazm al-Andalusi menolak kesahihan hadis ini (Al-Fishal fi al-Milal wa alAhwa wa al-Nihal 4:148). Sebelum mereka, Fakhruddin al-Razi menulis, “Kami tidak menerima kesahihan hadis ini…(pertama) karena Al-Bukhari, Muslim, Al-Waqidi, Ibn Ishaq, Abu Dawud, Abu Hatim dan para imam ahli hadis lainnya mencela hadis ini…dan (kedua) karena Ali tidak beserta Nabi saw waktu itu. Ia sedang berada di Yaman.” (Nihayat al-‘Uqul pembahasan tentang imamah, lembar 326).
Sesudah mereka, pada abad kita sekarang ini, Mushthafa al-Siba’i menulis, “Hadis Ghadir Khum yang telah menjadi tonggak mazhab-mazhab Syiah semuanya dan fundamen utama yang di atasnya didirikan semua pemikiran mereka… menurut Ahlussunnah adalah hadis yang dusta dan tidak ada dasarnya, karena Syiah ekstrem menggunakannya untuk membenarkan serangan mereka dan kejahatan mereka terhadap sahabat Rasul saw” (AlSunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami 132).
Kesimpulan
Dari ucapan Al-Siba’i ini tampak bahwa fanatisme mazhablah yang menyebabkan mereka bersikukuh untuk menolak hadis Ghadir Khum. Betapa pun banyak jalannya dan betapa pun shahih para periwayat hadisnya. Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari yang mentahqiq kitab Khashaish Amir al-Mu’minin, susunan Al-Nasai, dalam hamisy untuk hadis #85 menulis, “Peringatan: Hadis-man kuntu mawlah fa hadza ‘Aliyyun mawlah-hadis sahih seperti yang Anda ketahui. Pendapat Ibn Taimiyyah bahwa hadis ini bohong semata menyalahi semua kaidah hadis. Lalu Ustadz Muhammad Khalil al-Harras mengikuti Ibn Taimiyyah dan mengatakan dalam ta’liqnya pada Al-Tawhid dari Ibn Khuzaimah dengan perkataan yang begitu pasti, “Hadis ini tidak sahih dan tampaknya dibuat-buat oleh orang Syi’ah”.
Wallah al-Musta’ân!