Pertanyaan #34
Syiah Tidak Berpuasa Pada Waktu Bepergian?
Tuduhan
Syiah tidak berpuasa pada waktu bepergian, karena menurut Syiah wajib berbuka puasa dalam safar.
Jawaban
Berkenaan dengan berbuka pada waktu bepergian (safar), para fuqaha terbagi pada dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa berbuka dalam perjalanan adalah ‘azimah, kewajiban yang tidak ada pilihan di dalamnya. Kelompok kedua berpendapat berbuka dalam safar itu rukhshah, pilihan. Kita boleh memilih berbuka atau berpuasa. Kelompok kedua ini berbeda dalam menentukan mana yang lebih baik-berbuka atau berpuasa.
Fuqaha Ahlulbait sepakat bahwa berbuka dalam safar hukumnya wajib. Artinya berbuka itu azimah dan bukan pilihan. Mereka berpegang pada dalil-dalil berikut ini:
-
Al-Baqarah 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ - ١٨٥Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS Al-Baqarah 2:185)
“… Barangsiapa yang menyaksikan di antara kamu bulan Ramadhan hendaklah ia berpuasa. Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain…” mafhum ayat ini jelas menunjukkan bahwa berpuasa diwajibkan bagi yang hadir (yang menyaksikan) dan bukan musafir. Yang sakit dan musafir, diwajibkan berpuasa pada hari-hari yang lain di luar bulan Ramadhan.
-
Shahih Muslim 3:141, “Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menuju Makkah pada Tahun Kemenangan (‘Am al-Fath) di bulan Ramadhan. Ia berpuasa sampai tiba di Kura’ al-Ghamim. Dan berpuasa jugalah orang. Kemudian ia meminta satu cawan air. Ia mengangkat cawan itu sampai orang-orang melihatnya. Kemudian ia minum. Dikatakan kepadanya sesudah itu: Sebagian orang masih tetap berpuasa? Rasulullah saw bersabda; Ulaika al-‘Ushaat, Ulaika al-‘Ushaat. Mereka itu para pembangkang. Mereka itu para pembangkang (pelaku maksiat)”.
-
Shahih Muslim 3:142 dari Jabir, “Rasulullah saw sedang dalam perjalanan. Ia melihat seseorang yang sedang dikelilingi orang banyak. Ia dinaungi orang. Nabi saw bertanya: Apa yang terjadi padanya? Mereka berkata: Ia sedang berpuasa. Rasulullah saw bersabda: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan.”
-
Sunan Ibn Majah 1:532, hadis 1666, dari Abd alRahman bin ‘Awf: “Rasulullah saw bersabda, ‘Berpuasa Ramadhan dalam perjalanan dihitung sama dengan tidak berpuasa ketika tidak bepergian (dalam keadaan hadir).”
-
Sunan Ibn Majah 1:533, hadis 1667, dari Anas bin Malik yang melaporkan bahwa seorang lelaki dari Bani ‘Abd al-Asyhal berkata: “Kendaraan Rasulullah saw tiba di tempat kami. Aku mendatangi Rasulullah saw dan ia sedang makan. Ia bersabda: Mendekatlah dan makanlah. Aku berkata: Aku sedang berpuasa. Ia bersabda; Duduklah, akan kujelaskan padamu perihal puasa-shawm atau shiyam. Sesungguhnya Allah swt membebaskan dari musafir setengah salatnya, dan dari musafir, orang sakit, yang hamil, yang menyusui puasanya. (Kemudian orang itu melanjutkan) Demi Allah, ia telah mengucapkan semuanya atau salah satu di antaranya. Duhai malangnya diriku, kenapa aku tidak ikut makan dari makanan Rasulullah saw.”
-
Berbuka pada waktu safar juga tradisi dari para sahabat Nabi saw. Ibnu ‘Umar berkata: Kalau orang berpuasa pada waktu bepergian ia harus mengqadhanya ketika tidak bepergian (Al-Fakhr al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir 5:76).
-
Umar bin Khattab memerintahkan orang yang berpuasa dalam perjalanan untuk mengulangi (mengganti) puasanya (Musnad Ahmad bin Hanbal 3:329). Ibnu Abbas berkata: “Berbuka dalam safar itu ‘azimah (Al-Durr al-Mantsur 1:191).
Di bawah ini dikutipkan pendpat para sahabat dan tabi’in tentang wajibnya berbuka pada waktu safar seperti dihimpunkan oleh Ibn Hazm, Al-Muhalla 6:256-258:
Melalui Sofyan bin ‘Uyaynah, dari ‘Ashim bin Abdillah, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari Umar bin Khattab, bahwa ia menyuruh seorang laki-laki untuk mengganti puasanya pada waktu bepergian.
Dari Umar bin Abi Salamah bin Abd al-Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia berkata: Aisyah Ummul Mu’minin melarang aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan.
Dari Abu Hurairah: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan. Melalui Syu’bah bin Abi Hamzah, Nashr bin ‘Imran al-Dhab’i. Ia berkata: Aku bertanya kepada Ibn Abbas tentang berpuasa dalam perjalanan. Ia berkata: Mudah dan sulit. Ambillah yang dimudahkan Allah swt. Kata Abu Muhammad: Pernyataannya bahwa puasa dalam perjalanan itu sulit menunjukkan wajibnya berbuka.
Dari ‘Ammar mawla Bani Hasyim-yaitu Ibn Abi ‘Ammar-dari Ibn Abbas. Ia ditanya tentang berpuasa dalam perjalanan. Berkata Ibnu Abbas: Tidak sah. Yakni batal puasanya.
Dari Ibn ‘Umar ia ditanya tentang berpuasa dalam perjalanan. Ia menjawab: Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain…
Dari Yusuf bin alHakam al-Tsaqafi bahwa Ibnu ‘Umar ditanya tentang berpuasa dalam safar. Ia berkata: Itulah sedekah Allah yang diberikan kepada kamu. Bagaimana pendapatmu jika kamu bersedekah dan orang menolak sedekahmu? Bukankah kamu marah? Kata Abu Muhammad: Ini menjelaskan bahwa menurut Ibn Umar berpuasa dalam safar di bulan Ramadhan mengundang murka Allah swt. Dan ia tidak pernah berkata begitu untuk sesuatu yang diperbolehkan.
Melalui Hammad bin salamah, dari Kultsum bin Jabr: Seorang perempuan menyertai Ibn Umar dalam perjalanannya. Kemudian makanan dihidangkan. Ibn Umar berkata kepadanya: Makanlah! Perempuan itu berkata: Aku sedang berpuasa. Kata Ibn Umar: Janganlah kamu bersama kami.
Melalui Abi Mu’awiyyah. Menyampaikan kepada kami Ibn Abi Dzi’b, dari Al-Zuhri, dari Hamid bin Abdir Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia berkata; Yang berpuasa pada waktu safar sama hukumnya dengan yang tidak berpuasa pada waktu hadir. Hadis ini sangat sangat shahih (fi ghayat al-shihhah)…
Dari anak Abu Hurairah. Ia berkata: Aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan. Abu Hurairah memerintahkan kepadaku untuk mengulanginya lagi di tengah-tengah keluargaku dan agar aku mengqadhanya. Maka aku lakukan qadha itu.
Dari Abdir Rahman bin Harmalah: Seorang lelaki bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyab: Bolehkah aku lengkapkan salat dan berpuasa dalam safar? Kata Sa’id: Tidak boleh. Ia berkata: Aku kuat melakukannya. Kata Sa’id: Rasulullah saw lebih kuat dari kamu; dan ia mengqashar salatnya dan berbuka dalam puasanya…“
Dari riwayat berikut ini kita ketahui bahwa pada zaman Rasulullah saw dan zaman para sahabat, kebiasaan yang berlaku luas adalah berbuka pada waktu safar:
Ketika salah seorang sahabat Nabi saw Dihyah al-Kalbi keluar dari Damaskus di bulan Ramadhan sejauh tiga mil, ia berbuka. Maka berbuka juga orang-orang yang bersamanya. Sebagian lainnya ada yang tidak mau berbuka.
Ketika ia kembali ke negerinya ia berkata: Demi Allah, aku belum pernah melihat apa yang aku lihat sekarang-sekarang ini. > Aku tidak mengira bakal melihat kejadian itu. Orang-orang sudah berpaling dari petunjuk Rasulullah saw. Ia mengatakan begitu kepada orang yang tetap berpuasa (Sunan Abi Dawud 2:39, Kitab al-Shawm. Ibn Al-Quddamah mengutipnya dalam Al-Mughni 2:93.
Terakhir, ada orang yang menerjemahkankan bahwa ayat “wa an tashûmû khayrun lakum” dengan “dan berpuasa itu lebih baik bagimu”. Kata “khayrun” diartikan lebih baik. Jadi berbuka pada waktu safar boleh, tapi kalau berpuasa itu lebih baik. Kita juga bisa melanjutkan dengan mengatakan orang yang sakit keras boleh tidak berpuasa tapi berpuasa lebih baik bagi mereka.
Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 6:248-249 mengkritisi penafsiran atau penerjemahan seperti itu dengan sangat keras: “Orang yang berhujjah dengan ayat ini untuk memperbolehkan puasa dalam perjalanan sudah melakukan dosa besar dan berbohong yang sangat keji. Ia telah memanipulasi firman Allah (harrafa kalamallahi ‘an mawdhi’ihi)-kami berlindung kepada Allah dari yang seperti itu.”
Bandingkanlah dengan kata “khayrun lakum” pada ayat-ayat lainnya. Jika diterjemahkan “lebih baik bagimu”, maka orang boleh bertaubat boleh tidak, karena tawbat itu “khayrun lakum” (Al-Baqarah 54); orang juga boleh salat Jumat boleh tidak, tapi salat jumat “lebih baik bagimu” (Al-Jum’at 9); orang boleh berjihad boleh tidak, tapi berjihad “lebih baik bagimu” (Al-Shaff 11). Ayat-ayat semacam ini banyak dalam Al-Quran. Beberapa ayat yang disebut di atas hanyalah contoh untuk direnungkan.