Pertanyaan #23
Syiah Musyrik, Karena Berdoa Kepada Selain Tuhan?
Tuduhan
Syiah musyrik, karena mengajarkan tawassul, yaitu memohon melalui perantara kepada Allah swt. Ini musyrik, karena berdoa seharusnya langsung kepada Tuhan.
Jawaban
Syiah melakukan tawassul karena mengikuti Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, disebutkan:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (QS Al-Maidah 5:2)
Ayat Al-Qur’an di atas, yaitu Al-Maidah ayat 2, memerintahkan kita untuk saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan. Di antara saling membantu itu ialah saling mendoakan. Dari sini kita bisa menyimpulkan bolehnya aspek pertama tawassul, yaitu mendoakan orang lain. Bahkan diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (QS Al-Maidah 5:35)
Pada ayat Al-Qur’an ini bahkan secara eksplisit diperintahkan bagi seluruh orang beriman untuk mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS An-Nisa’ 4:64)
Pada ayat ini, jika seorang yang telah menzalimi dirinya datang kepada Rasulullah saw, memohon ampun kepada Allah swt; dan Rasul memohonkan ampunan untuknya, maka akan diampuni oleh Allah swt. Walhasil, ayat ini mengajarkan kita untuk datang, berziarah kepada Rasul dan ber-tawassul kepadanya untuk memohonkan ampunan bagi kita kepada Allah swt.
Dalam Hadis
Dari Utsman bin Hunaif, ada seorang tuna netra yang datang kepada Rasulullah saw dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allah swt agar menyembuhkanku”. Nabi saw bersabda, “Jika engkau menghendaki, aku akan mendoakanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu.” Orang itu berkata, “doakanlah”. Nabi saw kemudian memerintahkannya berwudlu dengan baik lalu shalat 2 rakaat, dan membaca doa: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan NabiMu, Muhammd saw, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaramu, aku mencoba kepada Tuhan Allah swt agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku”.
Pembicaraan sanad hadis mengenai kemantapan dan kebenaran sanad hadis tsb, tidak perlu lagi dibicarakan karena pemimpin kaum wahabi sendiri, Ibn Taimiyyah menganggap sanadnya benar, dan menambahkan bahwa yang dimaksud dengan Abu Ja’far dalam sanad hadis itu adalah Abu Ja’far Khathmi, seorang yang perawi yang dapat dipercaya (dalam Musnad Ahmad, nama Abu Ja’far ditulis sebagai Abu Ja’far Khidmi. Sedang dalam shahih Ibn Majah ditulis Abu Ja’far saja).
Penulis kontemporer wahabi, Rifai, yang senantiasa berupaya melemparkan keabsahan hadis-hadis yang berkenaan dengan tawasul berkata tentang hadis diatas: “Tidak diragukan lagi, bahwa hadis ini shahih yang sangat dikenal” (Al-Tawassul, Ila haqiqah at-Tawassul 1, 58)
Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan:“ Di kala panceklik, Umar ibn Khattab meminta hujan dengan perantaraan Abbas bin Abu Muthalib ra dan berkata Ya Allah, dulu kami bertawasul dengan NabiMu saw dan Engkaupun mengirimkan rahmatMu.“ (Shahih Bukhari bab Shalat Istisqa cetakan Muhammad Ali Shabih jilid 11 hal 32)