Pertanyaan #39

Syi’ah Menangisi Mayit, yang Diharamkan oleh Islam?

Tuduhan

Syi’ah menangisi tokoh-tokoh yang sudah meninggal dunia; padahal menangisi mayit itu diharamkan dalam syari’at Islam.

Jawaban

Menangisi orang yang sudah meninggal dunia adalah fitrah yang sangat manusiawi. Secara psikologis, siapa pun akan menangis kehilangan orang yang dicintainya. Mungkinkah agama Islam, yang diciptakan Tuhan sesuai dengan fitrah manusia akan melarang ekspresi dukacita dalam bentuk tangisan?

Semua hadis –dengan redaksi yang berbeda-beda sedikit tetapi mengandung makna yang sama-yang melarang menangisi mayit bersumber pada Umar bin Khattab dan anaknya Abdullah bin ‘Umar (Lihat Imam AlNawawi, Syarh Shahih Muslim 6:228, Kitab al-Jana-iz): “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya”

Hadis ini ditolak oleh Ahlulbait as dan para pengikutnya karena

  • ditentang oleh sahabat-sahabat lainnya
  • berlawanan dengan hadis-hadis yang membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk menangisi mayit
  • berlawanan dengan sunnah (contoh) Nabi saw

Hadis ini ditentang oleh sahabat-sahabat lainnya.

Di antara sahabat-sahabat yang menentang kebenaran hadis ini adalah ‘Aisyah, Ibn ‘Abbas, dan Abu Hurairah:

Dari Ibn Abi Malikah:

Putri Utsman bin ‘Affan meninggal di Makkah. Kami datang melayatnya. Hadir juga Ibn Umar dan Ibn Abbas. Aku duduk di antara keduanya.

Abdullah bin Umar berkata kepada Amr bin Utsman: Bukankah kamu dilarang menangisi? Karena Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya”

Kata Ibn Abbas: “Umar sudah mengatakan yang demikian”. Kemudian bercerita: Aku keluar bersama Umar dari Makkah sampai ke Al-Baida. Tiba-tiba di bawah pohon terlihat para penunggang kuda. Umar berkata: Pergi tengok siapa para penunggang kuda itu. Aku lihat ada Shuhayb di situ dan aku meberitahukan itu kepadanya. Ia berkata: Panggil dia. Aku kembali ke Shuhayb. Ketika Umar mendapat musibat (dibunuh orang), Shuhayb menjenguknya sambil menangis. Ia berkata: Duhai saudaraku, duhai sahabatku. Umar berkata: Ya Shuhayb, apakah kamu menangisiku. Bukankah Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya?

Ibn Abbas berkata: Ketika Umar meninggal, aku menyebutkan hadis itu di depan Aisyah. Aisyah berkata: Semoga Allah menyayangi Umar. Demi Allah, Rasululllah tidak pernah berkata: Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya; Tetapi ia bersabda: Sesungguhnya Allah menambah (siksaan) orang kafir karena tangisan keluarganya. Aisyah juga berkata: Cukuplah bagi kamu ayat Al-Quran (53:38)

Kata Ibn Abbas waktu itu: Demi Allah, aku tertawa dan menangis. Kata Ibnu Malikah: Ibn Umar tidak berkata sepatah kata pun (Ibn Atsir, Jami’ul Ushul 11:92)

Dalam riwayat lain, Ibn Malikah sendiri yang melaporkan kepada Aisyah dan mendapat jawaban yang sama (Shahih al-Bukhari 3:127; Shahih Muslim, Kitab al-Janaiz, hadis # 928; Al-Nasai 4:18-19)

Dari Umrah bint Abdul al-Rahman: Aku mendengar Aisyah berkata, ketika disebut bahwa Abdullah bin Umar menyampaikan hadis “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya”: kami berkata semoga Allah mengasihi Abu Abd al-Rahman. Dia tidak berdusta tetapi keliru dan lupa. Pernah Rasulullah saw melewati kuburan seorang perempuan Yahudi yang sedang ditangisi. Ia bersabda: “Perempuan itu ditangisi padahal ia sedang diazab di kuburnya” Diriwayatkan oleh Al-Jama’ah kecuali Abu Dawud (Jami al-‘Ushul 11:94).

Dari Abu Hurairah: Seseorang meninggal dunia dari keluarga Rasulullah saw. Perempuan-perempuan berkumpul menangisinya. Umar berdiri di tengah-tengah mereka dan mengusir mereka: Kemudian Rasulullah saw bersabda: Biarkan mereka, hai Umar. Karena mata itu mengalirkan airmata dan hati pun ditimpa duka, sedangkan giliran kita sudah dekat (Sunan Al-Nasai 4:19; Sunan Ibn Majah 1:505; Al-Sunan al-Kubra al-Baihaqi 4:117).

Hadis ini berlawanan dengan hadis-hadis yang membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk menangisi mayit. Dari Abdullah bin ‘Umayr dari Jabr: Ia bersama Nabi saw melayat jenazah. Perempuan-perempuan sedang menangis. Jabr berkata: Kenapa menangis. Jangan menangis selama Rasulullah saw duduk di sini. Rasulullah saw bersabda: “Biarkan mereka menangis selama mayit itu berada di tengah-tengah mereka. Jika sudah dikuburkan janganlah seorang pun menangisinya” (Al-Muwaththa:223; Abu Dawud 3111, Jami’ al-Ushul 11:100101; Al-Nasai 4:13-14).

Yang dimaksud oleh Nabi saw dalam hadis ini ialah jangan menangis dengan suara yang tinggi atau dengan mencakar-cakar muka. Pernah Nabi saw menangis, Abd al-Rahman menegurnya: Bukankah engkau melarang kami menangis. Rasulullah saw bersabda:“Tidak, aku melarang dua suara yang dosa, yakni menangis keras dalam musibat sambil mencakar muka dan merobek-robek pakaian, serta lolongan setan.” (Al-Jami’ al-Shahih 3:328, hadis 1055).

Hadis ini berlawanan dengan sunnah (contoh) Nabi saw.

Dalam hadis-hadis berikut ini Rasulullah saw bukan saja menangisi orang-orang yang disayanginya, ia juga memerintahkan orang untuk menangisinya.

Nabi saw menangisi putranya Ibrahim. Dari Anas bin Malik: kami menemui Rasulullah saw dan Ibrahim sedang menghembuskan nafar terakhirnya. Kedua mata Nabi saw berlinang-linang. Abdur Rahman bin Awf berkata: hai engkau ya Rasulullah (mengapa menangis)? Rasulullah saw bersabda: Hai Ibn ‘Awf, ini tangisan kasih-sayang. Kemudian ia menyusulnya dengan kalimat lainnya, seraya berkata: Sungguh mata itu berlinang dan hati berduka. Kami tidak berkata kecuali yang diridhai Tuhan kami. Sungguh, kami berdukacita karena ditingalkanmu, wahai Ibrahim (Shahih Muslim 4 # 1808; Abu Dawud 3:193; Ibn Majah 1:507; Qasim al-Syamai al-Rifai’, Al-Bukhari: Syarh wa Tahqiq 2:556, hadis 1216).

Nabi saw menangisi Ibunya. Dari Abu Hurairah: Nabi saw berziarah ke pusara ibundanya dan menangis. Menangis jugalah orang-orang di sekitarnya (Shahih Muslim 2:671, hadis 3234).

Nabi saw menangis Hamzah. Kata Ibn Sa’d: Ketika Rasulullah saw mendengar tangisan orang-orang Anshar untuk orang-orangyang terbunuh dalam perang Uhud, air mata Rasulullah saw mengelegak dan ia menangis: Sayang, Hamzah tidak ada yang menangisinya Ketika Sa’d mendengar itu ia kembali kepada perempuan-perempuan Bani Abd al-Asyhal mengajak mereka untuk menagisi (Hamzah). Sejak itu sampai sekarang perempuan Anshar tidak menagisi mayit siapa pun sebelum menangisi Hamzah, setelah itu baru menangisi mayitnya (Musnad Ahmad 2:129, hadis 4964: Thabaqat Ibn Sa’d 3:1; AlWaqidi, Al-Maghazi 1:315-317; Tarikh al-Thabari 2:211; Sirah Ibn Hisyam 3:99).

Nabi saw menangisi Ja’far. Ketika Ja’far dan sahabatsahabatnya gugur dalam perang Mu’tah, Rasululah saw masuk ke rumahnya dan mencari-cari anak-anak Ja’far. Ia menciumi mereka dengan airmata yang berlinang. Asma, istri Ja’far, berkata: Demi ayah ibuku, apa yang menyebabkan engkau menangis? Rasulullah saw bersabda; Tidakkah sampai kepadamu berita dari Ja’far dan sahabat-sahabatnya? Asma berkata: Benar, mereka gugur hari ini. Asma kemudian berkata: Aku pun berdiri menangis. Aku kumpulkan perempuan. Aku masuk ke rumah Fathimah. Ia sedang menangis merintih: Duhai paman! Rasulullah saw bersabda: Untuk orang seperti Ja’far, hendaklah orang- orang menangisinya (Al-Isti’ab 1:313; Usud al-Ghabah 1:241; Al-Ishabah 2:238; Al-Kamil fi al-Tarikh 2:420).

Nabi saw menangisi Al-Husayn yang akan terbunuh di Karbala. Dari Ummul Fadhl putri Harits. Ia menemui Rasulullh saw: Ya Rasul Allah, aku melihat mimpi yang mengerikan tadi malam. Apakah itu? Berat sekali. Apakah itu. Ummul Fadhl berkata: Aku melihat potongan tubuhmu diletakkan pada pangkuanku. Rasulullah saw bersabda: Kamu bermimpi baik. Fathimah insya Allah akan melahirkan anak laki-laki dan ia akan diletakkan di pangkuanmu. Fathimah melahirkan Al-Husayn dan ia berada dalam pangkuanku seperti kata Rasulullah saw. Aku masuk ke rumah Rasulullah saw dan meletakkan Al-Husayn di pangkuannya. Ia menengok padaku sejenak dan airmatanya mengalir deras: Ya Nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa yang terjadi? Ia bersabda: Jibrail datang kepadaku. Umatku akan membunuh anakku ini. Aku berkata: Anak ini? Ia bersabda: Benar. Ia memberikan kepadaku tanah dari tanahnya yang merah“ Kata AlHakim, ini hadis shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, walaupun keduanya tidak mengeluarkan hadis ini (Mustadrak al-Shahihayn 3:76; Tarikh Ibn Asakir 631; Majma’ al-Zawaid 9:179; Kanz al-‘Ummal 6:223).