Pertanyaan #27

Tata Cara Shalat Syiah Berbeda: Tangan Lurus, Tidak Bersedekap?

Tuduhan

Tangan lurus ketika berdiri salat adalah salah satu bid’ah ciptaan Syiah

Jawaban

Kedua tangan lurus pada waktu berdiri disebut irsâl; sedangkan posisi tangan kanan di atas tangan kiri disebut takattuf, bersedekap. Semua mazhab dalam Islam sepakat tentang tidak adanya kewajiban untuk takattuf. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal tidak wajibnya itu.

Kelompok pertama berpendapat bahwa takattuf itu hukumnya sunnah (mustahabbah) pada salat wajib dan salat sunnah. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Syafii, Hanbali. Menurut Al-Nawawi, ini juga pendapat Abu Hurairah, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya. Seperti ini juga sejumlah tabi’in seperti Sa’id bin Jubayr, Al-Nakh’I, dan Abu Mujallad. Sealiran dengan ini juga sejumlah fuqaha seperti Sufyan, Ishaq, Abu Tsawr, Dawud dan jumhur ulama (Al-Majmu’ 3:313).

Kelompok kedua menetapkan boleh (mubah) dalam salat sunnah, tetapi makruh dalam salat wajib. Ibn Rusyd meriwayatkan pendapat ini dari Imam Malik (Bidayat alMujtahid, 1:137). Menurut Al-Nawawi, dari riwayat Abd al-Hakim, Malik menyuruh takattuf; tapi dari riwayat Ibn Qasim, pendapat Malik itu irsal. Dan inilah yang lebih terkenal (Al-Majmu’, 3:312). Sayyid Murtadha melaporkan dari Malik dan Al-Layts bahwa keduanya berpendapat boleh takattuf karena lamanya berdiri dalam salat sunnah (Al-Intishar 140).

Kelompok ketiga menetapkan boleh memilih antara takattuf dan irsal. Menurut Al-Nawawi, inilah pendapat Al-Awza’i.

Kelompok keempat menetapkan batalnya salat karena bersedekap. Inilah kesepakatan ulama mazhab Syiah. Menurut Al-Nawawi, Abdullah bin Al-Zubayr, Al-Hasan al-Bashri, Al-Nakh’i. Ibn Sirin semuanya melarang bersidekap (takattuf) dan menyuruh irsal.

Berikut ini adalah alasan-alasan Syiah tentang wajibnya irsâl:

Analisa hadis-hadis tentang takattuf

Pertama, hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Hazim, dari Sahl bin Sa’ad. Ia berkata; Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas siku tangan kirinya dalam salat. Kata Abu Hazim: Aku tidak kecuali ia menisbahkan kepada Nabi saw (Ibn Hajar, Syarh Shahih al-Bukhari 2:224). Kata Isma’il, guru Al-Bukhari: “yunmâ dzâlika” (dinisbahkan demikian) dan bukan “yanmî dzalika” (menisbahkan demikian)

Ketika Sahl berkata “orang-orang diperintahkan”, kita perlu bertanya siapa yang memerintahkan: Nabi saw atau sahabat-sahabat lainnya? Menurut Isma’il, ia dinishbahkan saja kepada Nabi saw. Ibn Hajar mengatakan bahwa kalau sahabat berkata begitu pastilah yang memerintahkannya adalah Nabi saw. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa para sahabat “menyembunyikan” Nabi saw, padahal untuk menjelaskan perintah syara’, mereka pasti lebih terhormat dan lebih meyakinkan kalau mereka berkata: Nabi saw memerintahkan kami. Mereka akan lebih bangga mengatakan apa yang didengarnya langsung dari Nabi saw. Kata Al-Suyuthi: “Para sahabat tidak memastikan itu dari Rasulullah saw karena kehati-hatiannya” (Tadrib al-Rawi 119). Artinya, kuatir bahwa perintah itu bukan berasal dari Nabi saw, walaupun mereka yakin itu dari Nabi saw.

Menurut Ushul Fiqh, kata “diperintahkan” itu bersifat mujmal. Karena itu menisbahkannya kepada Nabi saw memerlukan dalil lainnya, supaya bisa dijadikan hujjah. Abu Hazim tidak menjelaskan dalilnya. Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain yang lebih banyak tentang cara salat Nabi saw (seperti yang akan disampaikan di bawah). Jika kita memperhatikan hadis Muslim tentang takattuf, Nabi saw melakukannya bukan karena itu sunnah tetapi karena Nabi saw ingin merapatkan pakaiannya ke tubuhnya.

Kedua, hadis yang diriwayatkan Muslim dari Wa-il bin Hujur: Ia melihat Nabi saw mengangkat tangannya bertakbir ketika memasuki salat. Kemudian ia menutupkan pakaiannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika ia mau melakukan ruku’ ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya. Kemudian ia mengangkat tangannya dan bertakbir dan ruku’ (Muslim, 1:382, Kitab al-Shalat).

Dalam pengertian hadis ini, Nabi saw mengambil ujung-ujung pakaiannya dan menutupkannya ke dadanya. Jadi tangan beliau yang kiri mengambil ujung baju sebelah kiri dan menutupkannya pada tangan sebelah kiri yang memegang ujung pakaiannya juga. Beliau melakukannya karena pertimbangan praktis untuk merapatkan pakaian ke badannya karena kedinginan atau sebab-sebab lainnya. Tapi lepas dari masalah penafsiran, dalam sanad hadis Muslim ini ada Hamam. Jika yang dimaksud adalah Hamam bin Yahya, maka Yahya bin al-Qaththan meremehkan hadisnya. Yahya bin Sa’id tidak mau menerima kebanyakan hadis Hamam (Huda al-Sari 1:267). Walaupun Abu Hatim menganggap dia tsiqat (terpercaya), dalam kaidah ilmu hadis, yang mencela didahulukan daripada yang memuji.

Ketika mentakhrij hadis yang bersumber dari Wa-il bin Hujur, dalam Sunan al-Baihaqi kita menemukan tiga jalur: Pertama melewati Hammam. Kedua, melewati Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin Ja’far yang adalah Ibn Najih menurut Ibn Mu’in: laysa bi sya’i. Menurut Al-Nasai: ditinggalkan (matruk). Waki’ bila menemukan hadisnya, mengecamnya dan mengatakan bahwa orang sudah sepakat tentang kedha’ifannya (Tahdzib al-Tahdzib 5:174). Ketiga, melewati Abdullah bin Raja-I, yang menurut ‘Amr bin ‘Ali al-Falas: Ia banyak sekali salahnya dan tashhif (mengubahubah kalimat). Bukan hujjah (Huda al-Sari 1:437).

Ketiga, hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Mas’ud: Ia biasa melakukan salat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya. Kemudian ia melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Sunan al-Baihaqi 2:44, hadis 2327). Kita mengetahui bahwa Abdullah bin Mas’ud termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam. Ia mendapat gelar “orang yang pertama membacakan Al-Quran kepada orang kafir setelah Rasulullah saw”. Sangat mengherankan bahwa ia baru belakangan melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Tapi di luar masalah penafsiran makna, hadis ini dha’if karena dalam sanadnya ada Hasyim bin Basyir, yang terkenal melakukan tadlis.

Marilah kita baca kembali hadis tentang tatacara Rasulullah saw salat, (lihat juga Tidak Membaca Amin):

Berkata Abu Hamid al-Sa’idi: Aku orang yang paling tahu tentang salat Rasul Allah saw… kemudian ia berkata: Bila Rasulullah saw berdiri untuk salat ia mengangkat tangannya sampai selurus bahu, dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat. Lalu ia membaca (Al-Fatihah); kemudian ia bertakbir, mengangkat tangannya, sampai selurus bahunya, kemudian rukuk dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian ia berkata: Allahu Akbar, kemudian turun ke atas tanah dan merenggangkan kedua tangannya di samping (tubuhnya). Lalu ia mengangkat kepalanya, dan meratakan telapak kaki kirinya dan duduk di atasnya…(dan seterusnya). Sahabat-sahabat lain yang hadir waktu itu berkata: Benar, memang begitulah Rasulullah saw salat. (Di antara sahabat yang hadir waktu itu ialah Abu Hurairah, Sahl al-Sai’di, Abu Usayd al-Sâ’idi, Abu Qatadah; lihat Sunan al-Baihaqi 2:105, hadis # 2517; Sunan Abi Dawud 1:194, Bab Iftitah al-Salat, hadits # 730; Sunan al-Turmudzi 2:105, hadits # 304, Bab Iftitah al-Salat).

Dalam hadis yang dibenarkan oleh para sahabat itu dijelaskan sangat terinci cara salat Nabi saw. Tidak ada di situ ketentuan di mana harus meletakkan tangan. Tangan seperti anggota badan lainnya, setelah takbir kembali ke tempatnya semula. “..dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat” – hatta yaqirra kullu ‘udhwin minhu fi mawdhi’ihi mu’tadilan.

Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid 1:137 menyatakan: Telah datang riwayat-riwayat yang kokoh yang meriwayatkan sifat salat nabi saw dan tidak diriwayatkan di dalamnya bahwa ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya…dan orang-orang berpendapat bahwa yang wajib itu ialah kembali kepada riwayat-riwayat tersebut yang tidak ada penambahan ini (ketentuan tentang letak tangan), karena riwayat-riwayat tersebut lebih banyak…“