Pertanyaan #06
Hadis Tsaqalayn (Dua Pusaka) Dhaif, Padahal Syiah Mengacunya?
Tuduhan
Hadis bahwa Rasulullah saw meninggalkan dua pusaka (tsaqalayn), “Al-Quran dan Ahlulbaitku” harus ditinggalkan karena bertentangan dengan hadis yang menjelaskan dua pusaka tersebut adalah “Al-Quran dan Sunnahku”
Jawaban
Menurut para ulama, bila kita memandang ada dua hadis yang bertentangan, kita mengatasi persoalan itu dengan tiga cara: pertama, membandingkan tingkat kesahihan kedua hadis itu dan memilih yang paling sahih; kedua, bila kedua-duanya sahih, tinggalkan kedua-duanya; dan ketiga, gabungkan kedua-duanya dalam makna baru dan amalkan.
Dalam penelitian kami, seperti yang akan dijelaskan di bawah, hadis “Al-Quran dan Ahlulbaitku” diakui keshahihannya oleh para ahli hadis; sedangkan hadis “Al-Quran dan Sunnahku” disepakati sebagai hadis yang dhaif. Dengan alasan ini tentu saja kita harus meninggalkan hadis “Al-Quran dan Sunnahku” dan mengambil hadis “Al-Quran dan Ahlulbaitku”. Kita ambil solusi pertama. Tidak mungkin kita mengambil solusi kedua; yakni, meninggalkan kedua hadis itu.
Kami juga bisa mengambil solusi ketiga: Kami berpegang teguh kepada sunnah Nabi saw yang disampaikan melalui Ahlulbait. Dan memang itulah yang menjadi dasar keberagamaan dalam Syiah, yang membedakannya dari Sunni.
Betulkah hadis “Al-Quran dan Ahlulbaitku” lebih sahih dari “Al-Quran dan Sunnahku”?
Al-Albani tentang keshahihan hadis al-Tsaqalayn
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani adalah ahli hadis terbesar di kalangan Ahlussunnah di abad ini. Ia melakukan penelitian hadis yang sangat intensif dan meninggalkan kepada kita warisan yang sangat bernilai. Salah satu di antaranya adalah Silsilah al-Ahadits alShahihah. Dalam kitab itu hanya dikumpulkan hadis-hadis yang shahih saja, lengkap dengan alasan untuk menolak orang-orang yang mendhaifkannya.
Dalam kitab Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, 4:355, hadis nomor 1761, diriwayatkan hadis ini: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan padamu yang apabila kamu ambil, kamu tidak akan tersesat: Kitab Allah dan keluargaku Ahlulbaitku” Al-Albani mengutip pendapat ahli ahli hadis yang mendhaifkannya. Setelahnya ia segera menuliskan:
Tetapi hadis ini shahih, karena ada bukti (syahid) dari hadis Zaid bin Arqam (yang sudah kita baca di atas). Hadis itu dikeluarkan Muslim 7:122-123; al-Thahawi dalam Musykil al-Atsar 4:368; Ahmad 4:366-367; Ibn Abi ‘Ashim dalam Al-Sunnah 1550-1551; Al-Thabrani melalui jalan Yazid bin Hibban al-Tamimi. Kemudian Ahmad 4:371, Thabrani 5040, Al-Thahawi dari jalan Ali bin Rabi’ah. Ia berkata: Aku ketemu Zaid bin Arqam. Ia sedang menghadap Al-Mukhtar atau baru keluar darinya. Aku bertanya: Apakah kamu mendengar Rasulullah sw bersabda-Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka-Kitab Allah dan keluargaku? Zaid menjawab: Betul! Sanad-sanadnya shahih, rijalnya juga shahih“
Kemudian Al-Albani melakukan takhrij tentang hadis ini dalam berbagai thariq –jalannya. Ia memperkuat hadis al-Tsaqalayn yang ditelitinya dengan syawahid dan mutabi’at, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh ahli hadis. Ia bercerita:
Setelah melakukan takhrij hadis ini untuk waktu yang lama ada orang yang menulis surat kepada saya supaya hijrah dari Damaskus ke Amman; kemudian saya bepergian ke Al-Imarat al-Arabiah pada permulaan tahun 1402 H. Di Qathar saya bertemu dengan para profesor dan para doktor yang baik. Saya diberi hadiah sebuah risalah yang dicetak; risalah itu mendha’ifkan hadis ini (al-tsaqalayn). Setelah membacanya, jelaslah bagi saya bahwa penulis itu memerlukan kemampuan untuk meneliti hadis ini, karena dua alasan:
Pertama, penulis itu melakukan takhrij hanya berdasarkan sumber-sumber yang beredar dan tercetak. Karena itu, ia mengalami kekurangan bahan yang sangat untuk melakukan penelitian hadis. Ia tidak bisa mengakses banyak thuruq dan sanad yang shahih dan hasan. Lebih-lebih kalau dia memperhatikan juga al-syawahid dan al-mutabi’at, sebagaimana yang bisa disaksikan oleh siapa pun pada takhrij yang aku lakukan di sini.
Kedua, penulis itu juga tidak memperhatikan pendapat orang-orang yang menshahihkan hadis dari kalangan ulama. Ia juga tidak memperhatikan qaidah mereka yang mereka sebutkan dalam mushthalah hadits; yaitu, hadis dhaif menjadi kuat karena banyak jalannya. Akhirnya, ia jatuh pada kesalahan fatal –mendhaifkan hadis yang shahih.
Inilah kelalaian yang menimpa banyak orang yang hanya mengikut setiap buku yang membahasnya dan tidak berusaha melakukan penelitian sendiri. Kepada Allah saja kita memohon pertolongan
(Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah 4:355, ketika membahas hadis 1761).
Kedha’ifan hadis ‘Al-Quran dan Sunnahku’.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, yang kamu tidak akan sesat kalau kamu berpegangkepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabinya”. Hadis ini atau yang semakna dengan ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al-Syaikhan – yakni Al-Bukhari dan Muslim, juga tidak oleh satu pun dari Al-Shihah al-Sittah (Enam Kitab Hadis yang Shahih); tidak juga oleh penulis musnad, seperti Musnad Ahmad bin Hanbal. Hadis ini diriwayatkan hanya dalam AlMuwatha’, Mustadrak, Sunan Al-Baihaqi, Sirah Ibn AlHisyam, Riwayat Ibn Abd al-Barr, riwayat Qadhi al-Iyadh.
Dari mereka kemudian Al-Suyuthi dan Al-Muttaqi al-Hindi mengutip hadis itu. Marilah kita perhatikan hadis-hadis itu:
Riwayat Malik
Malik meriwayatkan hadis ini dalam al-Muwatha’ tanpa sanad sama sekali. Ia hanya berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, yang kamu tidak akan sesat kalau kamu berpegangkepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabinya” Siapa pun yang belajar hadis akan mengatakan bahwa hadis semacam ini lemah sekali. Hilang saja satu mata rantai dalam periwayatan hadis, sudah dh’iflah hadis itu. Di sini semua mata rantai hadis hilang!
Ibn Hazm memberikan komentar tentang AlMuwatha’: “Aku hitung hadis-hadis yang termuat dalam Al-Muwatha’. Aku dapatkan lima ratus lebih hadis musnad, tiga ratus lebih mursal, dan tujuh puluh lebih hadis yang Nalik sendiri meninggalkannya dan tidak mengamalkannya. Di dalamnya banyak sekali hadis yang dilemahkan oleh para ulama” (Al-Suyuthi, Tanwir alHawalik-Syarh Muwatha’ Malik, 1:9)
Riwayat Al-Hakim
Dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim meriwayatkan hadis ini dari Ibn Abbas melalui Ismail bin Abi Uways. Ismail–keponakan Anas bin Malik-dijarh (dikecam) oleh para ahli jarh. Muawiyyah bin Shalih melaporkan komentar Ibn Ma’in tentang Ismail bin Abi Uways: “Ia dan ayahnya suka mencuri-curi hadis. Ia sering berbohong dalam periwayatan, kacau hafalannya, dan tidak bernilai sama sekali.”
Al-Nasai sangat mencelanya dan bahkan tidak mau meriwayatkan darinya. Ini tentunya karena ia mengetahui cacat dan cela yang ada padanya yang tidak diketahui orang lain. Juga seluruh ulama sepakat bahwa ia lemah. Dar-Quthni berkata: Saya tidak akan memakainya untuk meriwayatkan hadis shahih. Ibn Hazm: Ia suka memalsukan hadis (Lihat Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, 1:271)
Al-Hakim meriwayatkan juga hadis ini dari Abu Hurairah. Dalam sanadnya ada perawi yang sangat lemah, Shalih bin Musa al-Thalhi al-Kufi. Menurut Ibn Ma’in: Ia tidak berharga sedikit pun dan hadisnya tidak pantas ditulis. Imam al-Bukhari berkata: Ia adalah orang yang banyak membawa hadis munkar dari Suhail bin Abi Shalih. Abu Nu’aim berkata: Hadisnya harus dibuang dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar“ (Tahdzib al-Tahdzib 4:354).
Hadis Sunan al-Baihaqi
Dalam Sunannya, al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah melalui Ibnu Abi Uwais dan Shalih bin Musa. Kedua orang ini-seperti yang sudah Anda lihat pada hadis AlHakim-dipandang sangat lemah oleh para ahli hadis.
Hadis ini dalam Sirah ibn Hisyam
Seperti dalam AlMuwatha’ Ibn Hisyam meriwayatkan hadis ini tanpa sanad sama sekali. Ia meriwayatkan hadis ini ketika mengutip khotbah Rasulullah saw pada haji Wada’. Ia mengutipnya dari Ibn Ishaq. Para ahli hadis telah menilai Ibn Ishaq sebagai mudallis dan pembohong (Lihat Ibn Sayyid al-Nas, mukadimah Uyun al-Atsar).
Riwayat Ibn Abd al-Barr
Hadis ‘Al-Quran dan Sunnahku’ yang diriwayatkan dalam kitab Ibn Abd alBarr, Al-Tamhid, dengan dua sanad. Salah satunya sama dengan sanad Al-Hakim. Yang lainnya dilaporkan oleh rangkaian perawi hadis yang sangat sangat lemah. Salah seorang di antara nya adalah Katsir bin Abdillah. Menurut Imam Ahmad: Jangan sekali-kali kamu meriwayatkan hadis darinya. Ibn Ma’in berkata: Ia orang yang dha’if. AlDarimi dan Ibn Ma’in juga berkata: Ia orang yang dhaif dalam periwayatan hadis (Lihat Tahdzib al-Tahdzib pada entri “Katsir bin Abdillah”).
Riwayat Qadhi Iyadh
Hadis ‘Al-Quran dan Sunnahku’ diriwayatkan Qadhi Iyadh dengan sanad yang dipenuhi orang-orang dha’if. Di situ ada Syuaib bin Ibrahim, yang disebut oleh Ibn Adiy sebagai “orang yang tidak dikenal” (Lisan al-Mizan 3:145); Aban bin Ishaq al-Asadi, yang menurut Al-Azdi “hadisnya harus dibuang (Tahdzib al-Tahdzib 1:81); Shalih bin Muhammad alAhmashi, yang “tidak ada seorang ulama pun pernah meriwayatkan hadis darinya kecuali al-Turmudzi, yang meriwayatkan hadisnya satu kali saja, dan menganggap riwayatnya gharib” (Tahdzib al-Tahdzib 1:358); dan paling parah dari semuanya di situ ada Sayf bin Umar yang menurut Al-Hakim adalah “orang zindiq dan gugur dalam periwayatan” (Inilah sumber yang meriwayatkan bahwa Syiah dibikin oleh Abdullah bin Saba, lihat Bagian V: Fitnah-fitnah terhadap Syiah)
Riwayat Lainnya
Adapun riwayat Al-Suyuthi dalam Al-Jami’ alShaghir dikutip dari Al-Hakim yang sudah kita ketahui kelemahannya. Riwayat al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummal juga mengikuti riwyat-riwayat terdahulu, yang sudah kita ketahui kedhaifannya.
Kesimpulan
Walhasil, hadis tsaqalayn (dua pusaka: Al-Quran dan Ahlulbaitku) dapat dinilai shahih, sedangkan hadis “Al-Quran dan Sunnahku” memiliki kelemahan pada sanadnya. Syiah mengikuti hadis tsaqalayn yang shahih.