Pertanyaan #37

Syiah Tidak Melakukan Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan?

Tuduhan

Orang Syiah meninggalkan sunnah salat Tarawih di Bulan Ramadhan, menyalahi sunnah

Jawaban

Salat Tarawih adalah salat sunnat di bulan Ramadhan yang dilakukan secara berjamaah. Syiah tidak melakukan salat tarawih, tetapi melakukan salat sunnat di bulan Ramadhan yang dilakukan secara sendiri-sendiri di rumah masing-masing, yang disebut qiyamu ramadhan.

Salat tarawih ditinggalkan karena:

  • salat tarawih itu adalah bid’ah yang diciptakan Umar bin Khattab.
  • semua salat sunat sebaiknya dilakukan di rumah secara munfarid, dan tidak berjamaah

Salat Tarawih Adalah Bid’ah.

Dalam hadis-hadis di bawah ini kita dapat menyimpulkan bahwa tarawih memang bid’ah. Nabi saw tidak pernah melakukannya, begitu pula Abu Bakar dan Umar pada awal khilafahnya.

Yahya bin Bakir menceritakan kepadaku, al-Laits menceritakan kepada kami dari Aqil, dari Ibn Syihab; Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah saw pernah keluar pada sepertiga akhir malam, untuk salat di dalam masjid dan orang-orang pun mengikuti salat beliau. Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal, maka (pada malam harinya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau salat dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau salat dan orang-orang pun mengikuti salat beliau.

Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal itu, maka pada malam ketiganya masjid dipenuhi oleh orang banyak. Kemudian Rasulullah saw keluar (ke mesjid) dan salat (seperti biasanya), maka beliau keluar untuk salat subuh. Ketika selesai mengerjakan salat subuh, beliau menghampiri orang banyak, lalu beliau bertasyahud (mengucapkan kalimat syahadat), dan bersabda,“ Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak melecehkan kalian. Akan tetapi, sesungguhnya aku khawatir, bahwa ia (salat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.“ Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu. Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar (Shahih Al-Bukhari bab “Keutamaan orang yang melaksanakan Qiyamul layl pada bulan Ramadhan”, 3:58).

Dalam riwayat dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berdiri di malam Ramadhan karena iman dan ikhlas diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. Ibnu Syihab berkata: Kemudian Rasulullah saw wafat dan manusia dalam keadaan demikian. Kemudian perkara itu berlaku seperti itu pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar“ (Shahih AlBukhari 2:249-250).

Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan kalimat terakhir dengan mengatakan: “Yakni, orang tidak berjamaah dalam tarawih dan Rasulullah saw tidak melakukan salat malam (qiyamu Ramadhan) secara berjamaah dengan orang banyak” (Fath al-Bari 4:204). Ibn Hajar Al-Asqalani juga menambahkan: Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abi Dzi’b dari Al-Zuhri dalam hadis ini “Rasulullah saw tidak pernah mengumpulkan orang untuk salat sunat berjamaah (qiyam).” (Fath al-Bari 4: 252)

Al-Qasthulani mengomentari hadis ini: Sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu (artinya meninggalkan salat berjamaah dalam tarawih) Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar (Irsyad al-Sari 4:656).

Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, dia berkata: “Aku telah membaca di hadapan Malik dari Ibn Syihab dari Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi saw salat pada suatu malam, maka orang-orang pun mengikuti salat beliau. Kemudian malam berikutnya, orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau salat dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi.Kemudian pada malam ketiganya dan keempatnya, namun beliau tidak keluar kepada mereka. Kemudian pada pagi harinya, beliau bersabda:” Sungguh aku melihat yang kalian lakukan, maka sesungguhnya tidak ada yang mencegahku keluar, hanya saja aku khawatir, bahwa ia (salat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian“. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan. (Shahih Muslim :41)

Al-Nawawi menjelaskan hadis Muslim: “Ucapan (Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu. Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar) artinya: Perkara itu berlangsung dalam periode itu di mana setiap orang menjalankan qiyam Ramadhan sendiri-sendiri (munfarid), sampai berakhir awal khilafah Umar. Umar mengumpulkan orang untuk salat berjamaah dengan Imam Ubay bin Ka’ab. Dari situ berlangsunglah terus salat tarawih berjamaah” (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim 3:40).

Abdurrahman bin Abdul Qari: aku pernah keluar bersama Umar bin Khattab di bulan ramadhan ke mesjid. Ternyata orang-orang saling berpencar dan berpisah-pisah. Ada orang yang salat sendirian dan ada pula sekelompok orang yang mengikuti salatnya seseorang. Maka Umar berkata: “sesungguhnya aku berpandangan sekiranya saja aku kumpulkan mereka di belakang seorang imam, maka sesungguh itu lebih baik.”

Kemudian Umar bertekad melakukan hal itu. Ia mengumpulkan mereka di belakang seorang imam yaitu Ubay bin Ka’ab. Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah ini (melakukan salat tarawih berjamaah). Tetapi orang yang tidur sekarang, lebih utama daripada salat tarawih”. Yang dimaksud adalah orang yang mengerjakan salat tarawih di akhir malam lebih utama daripada yang mengerjakannya di awal malam. (Shahih al-Bukhari: 2: 252; Al-Muwatha 73; Lihat Kanz al-Ummal 8: 408, hadis 23466).

Hadis di atas dengan jelas mengungkapkan bahwa salat tarawih berjamaah itu bid’ah berdasarkan ucapan Umar sendiri: Sebaik-baiknya bid’ah ini. Al-‘Ayni menulis, “Umar menyebutnya bid’ah, karena Rasulullah saw tidak pernah mensunnahkannya, juga tidak terjadi pada zaman Abubakar dan Rasulullah saw tidak menganjurkannya (‘Umdat al-Qari 6:126).

Al-Asqalani menjelaskan: “Umar menyebutnya bid’ah karena tidak disunnatkan untuk melakukannya dalam jamaah, tidak juga disunnatkan di zaman Abu Bakar, tidak disunatkan pada awal malam, pada setiap malam, dan tidak dalam bilangan yang tersebut dalam hadis…(walaupun begitu) qiyamu Ramadhan bukanlah bid’ah, karena Rasulullah saw bersabda: Hendaklah ikuti teladan orang-orang sesudahku-Abu Bakar dan Umar. Dan apabila sahabat-sahabat sudah berijmak bersama Umar padahal demikian, hilanglah nama bid’ah” (Fath al-Bari 4:252).

Ibn Al-Atsir juga menegaskan bahwa tarawih ini bid’ah, tetapi karena bid’ah ini dibuat oleh sahabat, ia menjadi sunnah. Sahabat mempunyai hak untuk membuat syariat baru. Ibn Atsir membela Umar dengan bid’ahnya ketika ia menulis: “Inilah (tarawih) adalah bid’ah yang paling baik. Karena ini perbuatan baik yang pantas dihargai Umar menyebutnya bid’ah dan memujinya.

Memang Nabi saw tidak pernah mensunnahkannya. Ia pernah melakukannya beberapa malam saja kemudian meninggalkannya. Nabi saw tidak menjalankannya terusmenerus, tidak melakukannya dalam jamaah dengan orang banyak, tidak pada zaman Abu Bakar. Umarlah yang mengumpulkan orang dan menganjurkannya. Umar menyebutnya bid’ah, tetapi hakikatnya sunnah; karena Nabi saw bersabda: Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin sesudahku. Ia juga bersabda: Hendaklah ikuti teladan orang-orang sesudahku-Abu Bakar dan Umar (Al-Nihayah 1:106, 107).

Apa pun yang dilakukan untuk membenarkan bid’ah tarawih, semua ulama Sunni sepakat bahwa Umar adalah “pencipta” salat tarawih. Dalam biografi (tarjamah) Umar, Ibn Sa’ad menulis: Umarlah orang pertama yang mensunnahkan qiyam ramadhan dengan tarawih dan dilakukan secara berjamaah. Ia juga mengirimkan surat ke berbagai penjuru negeri untuk melakukannya pada bulan Ramadhan tahun 14 Hijriah (Al-Thabaqat al-Kubra 3:281).

Ibn Abd al-Birr menulis: Umarlah yang menyinari bulan puasa dengan salat genap atau tarawih (Al-Isti’ab 3:1145). Al-Ya’qubi berkata: Pada tahun ini (14H) Umar mensunnahkan qiyam Ramadhan dan menulis surat ke berbagai negeri. Ia menyuruh Ubayy bin Ka’ab dan Tamim al-dari sebagai imam. Dikatakan kepadanya; Rasulullah saw tidak pernah melakukannya. Abu Bakar juga tidak melakukannya. Umar berkata: Kalau ini bid’ah, inilah bid’ah yang paling baik (betapa baiknya bid’ah ini)! (Tarikh al-Ya’qubi 2:130).

Jalaluddin al-Suyuthi menulis tentang “kepertamaan” (awwaliyat) Umar bin Khathab: Dialah yang pertama diberi gelar Amirul Mukminin. Dialah yang pertama mensunnahkan tarawih. Dialah yang pertama mengharamkan mut’ah. Dialah yang pertama mensalatkan jenazah dengan empat takbir (karena yang disunnahkan Nabi saw lima takbir-editor). (lihat Tarikh al-Khulafa 136)

Salat-salat sunnat harus dilakukan munfarid.

Rasulullah saw menganjurkan untuk melakukan salat sunnat di rumah sendirian. Dengan begitu, ia memberikan bagian keberkahan salat untuk rumahnya. Ia juga menghindarkan “riya” jika ia melakukan salatnya di masjid, di depan banyak orang. Salat sunat juga adalah kesempatan untuk bermunajat –berduaan-dengan Allah swt. Lebih dari itu, salat sunnat sebaiknya dilakukan sendirian karena perintah Rasulullah saw:

  • Dari Ibn Mas’ud: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Mana yang lebih utama-salat di rumahku atau di masjid? Beliau bersabda: Tidakkah kamu perhatikan rumahku, betapa dekatnya dengan masjid. Sekiranya aku salat di rumahku pasti aku lebih mnyukainya daripada salat di masjid, kecuali untuk salat yang diwajibkan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya (Al-Mundziri, Al-Targhib wa al-Tarhib, ta’liq Musthafa Muhammad ‘Imarah, 1:379)

  • Dari Abu Musa: Serombongan orang dari Iraq menemui Umar, Ketika mereka datang mereka bertanya tentang salat orang di rumahnya. Umar berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw dan ia bersabda: Salat orang di rumahnya adalah cahaya. Terangilah rumah kamu! Diriwayatkan Ibn Khuzaimah dalam shahihnya (Al-Mundziri, Al-Targhib 1:379; Kanz al-‘Ummal 8:384, hadis 2336).

  • Umar ditanya tentang salat di masjid. Ia berkata: Rasulullah saw bersabda: yang fardhu di masjid, yang sunat di rumah (kanz al-‘Ummal 8:384, hadis 23363).

  • Ibn Qudamah menulis: Salat sunat lebih utama dilakukan di rumah, karena sabda Nabi saw, “Salatlah di rumah kamu, karena sebaik-baiknya salat orang adalah salat di rumahnya kecuali salat fardhu” Hadis Muslim. Dari Zaid bin Tsabit sesusngguhnya Nabi saw bersabda: Salat orang di rumahnya lebih baik dari salatnya di masjidku ini kecuali salat wajib. Hadis Abu Dawud (Muwaffaiq al-Din bin Qudamah, Al-Mughni 1:775)

  • Masih dari Ibn Qudamah: “Malik dan Syafii berpendapat: Qiyam Ramadhan di rumah bagi yang mampu lebih aku cintai (daripada salat sunat di masjid). Zaid bin Tsabit berkata: Rasulullah saw membuat kamar kecil yang terbuat dari kain tambalan atau tikar (di dalam masjid). Lalu Rasulullah saw keluar dan salat di dalam kamar itu. Kemudian orang mengikuti salat beliau. Kemudian pada malam hari,mereka datang ke masjid, tetapi Rasulullah saw tidak keluar pada mereka. Kemudian mereka mulai menaikkan suara mereka dan melempari pintu rumah Nabi saw dengan batu kerikil.

    Rasulullah saw keluar menemui mereka dalam keadaan murka. Beliau bersabda: Kalian terus menerus melakukan perbuatan kalian (mengerjakan salat sunat berjamaah) sehingga aku menduga ia akan diwajibkan kepada kalian. Salatlah di rumah kalian, karena sebaik-baiknya salat ialah salat di rumah kecuali salat fardhu. Diriwayatkan oleh Muslim“ (Al-Mughni 1:800; lihat redaksi yang sama pada Shahih al-Bukhari 7:99, Bab “Boleh murka dan bertindak keras demi perintah Allah”, Kanz al-‘Ummal, hadis 21541, 21543, 21545).