Tanya Jawab Syiah / Mazhab Ahlul Bait
Menjawab pertanyaan seputar Islam Syiah atau disebut juga Islam Mazhab Ahlul Bait. Tak kenal maka tak sayang, tuduhan berasal dari ketidaktahuan.
Pertanyaan 01 - Ajaran Syiah Tidak Berdasarkan Al-Qur’an?
Pertanyaan 02 - Mushaf Al-Qur’an Syiah yang Berbeda: Mushaf Ali?
Pertanyaan 03 - Syiah Percaya Adanya Tahrif (Perubahan) Al-Qur’an?
Pertanyaan 04 - Syiah Memanipulasi Penafsiran Al-Qur’an?
Pertanyaan 05 - Ajaran Syiah Tidak Berdasarkan As-Sunnah?
Pertanyaan 06 - Hadis Tsaqalayn (Dua Pusaka) yang Diacu Syiah, itu Dhaif?
Pertanyaan 07 - Hadis Ghadir Khum yang Diacu Syiah Atas Pengangkatan Imam Ali sa., itu Dhaif?
Pertanyaan 08 - Syiah mengkafirkan semua sahabat Nabi saw?
Pertanyaan 09 - Syiah melaknat sahabat Nabi saw?
Pertanyaan 10 - Syiah musyrik karena meyakini ishmah (kemaksuman) para Imam Syiah?
Pertanyaan 11 - Aqidah Syiah berbeda dengan Islam, karena meyakini Imamah?
Pertanyaan 12 - Syiah mengkultuskan sahabat Ali bin Abi Thalib ra?
Pertanyaan 13 - Imam yang gha’ib (Imam Mahdi) itu takhayul?
Pertanyaan 14 - Syiah kafir karena menganggap Abu Thalib seorang mukmin, padahal Abu Thalib kafir?
Pertanyaan 15 - Ajaran Syiah, taqiyyah, merupakan bentuk kemunafikan?
Pertanyaan 17 - Syiah sesat karena percaya Al-Raj’ah, reinkarnasi?
Pertanyaan 18 - Syiah bukan Islam, karena punya Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda?
Pertanyaan 19 - Syiah musyrik, karena percaya para Imam Syiah mengetahui yang Ghaib?
Pertanyaan 20 - Syiah musyrik, karena percaya langit dan bumi merupakan milik para Imam?
Pertanyaan 21 - Syiah musyrik, karena percaya tabarruk, yaitu mengambil keberkahan dari benda-benda?
Pertanyaan 22 - Syiah musyrik, karena menyembah kuburan?
Pertanyaan 23 - Syiah musyrik, karena berdoa kepada selain Tuhan?
Pertanyaan 24 - Syiah bershalawat kepada Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib?
Pertanyaan 25 - Adzan Syiah berbeda, ada tambahan “hayya ’ala khairil amal”?
Pertanyaan 26 - Wudhu Syiah berbeda, Syiah mengusap kaki, bukan membasuhnya seperti sunnah Nabi saw?
Pertanyaan 27 - Salat Syiah berbeda, Syiah tidak bersedekap ketika berdiri dalam salat?“
Pertanyaan 28 - Salat Syiah berbeda, Syiah tidak mengucapkan “amin” setelah Al-Fatihah?
Pertanyaan 29 - Salat Syiah berbeda, Syiah selalu qunut pada setiap salat?
Pertanyaan 31 - Salat Syiah berbeda, Syiah sholat di atas tanah?
Pertanyaan 32 - Salat Syiah berbeda, Syiah menjamak sholat tanpa uzur?
Pertanyaan 33 - Salat Syiah berbeda, Syiah terus men-qashar sholat dalam perjalanan?
Pertanyaan 34 - Syiah tidak berpuasa dalam perjalanan?
Pertanyaan 35 - Waktu berbuka puasa syiah berbeda?
Pertanyaan 36 - Ulama Syiah mewajibkan potongan 20% atas penghasilan?
Pertanyaan 37 - Syiah tidak salat tarawih pada Bulan Ramadhan?
Pertanyaan 38 - Bid’ah Syiah: Amalan Nishfu Sya’ban?
Pertanyaan 39 - Syiah Menangisi Mayit, yang dilarang dalam Islam?
Pertanyaan 40 - Syiah menghalalkan Nikah Mut’ah?
–Dalam penyusunan–
Isi tanyajawabsyiah.com diambil dari beberapa sumber utama, dan dipublikasi dengan izin dari penulis atau yang mewakili.
Pertanyaan #01
Ajaran Syiah Tidak Berdasarkan Al-Qur’an?
Tuduhan
Ajaran Syiah tidak berdasarkan Al-Quran
Jawaban
Ajaran Syiah –dalam buku ini– adalah mazhab dalam Islam yang mengikuti Ahlulbait a.s sepeninggal Rasulullah saw. Syiah percaya bahwa mengikuti Ahlulbait adalah perintah Allah dan Rasulnya. Pada bab ini ditunjukkan hanya tiga ayat dari ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan landasan keyakinan Syiah.
1. Ayat al-Tathhîr (Penyataan kesucian).
Nabi saw terjaga dari segala dosa dan kesalahan. Kita harus mengikuti Rasulullah saw, karena ia selalu benar. Sepeninggal Rasulullah saw, kita harus mengikuti orang-orang yang dijamin kesuciannya dalam Al-Quran.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, ahlulbait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS Al-Ahzab 33:33)
Dari Shafiyah binti Syaibah ia, berkata “Aisyah berkata: Pada suatu pagi, Rasulullah SW keluar dengan mengenakan selimut wol berwarna hitam, lalu Hasan datang maka beliau memasukkannya kedalam selimut, kemudian datanglah Husain dan ia pun masuk ke dalamnya, kemudian datanglah Fatimah dan beliaupun memasukkan putrinya itu, kemudian datanglah Ali dan beliau pun memasukkannya juga ke dalam selimut sambil membaca ayat QS 33: 33” (Shahih Muslim, II, Kitab fadhail al-Shahabah, bab fadhail Ahl al-Bayt; Shahih al-Turmudzi 5:30, hadis #3258; Musnad Ahmad 1:330; Mustadrak alShahihayn 3:133, 146,147; Al-Thabrani, Mu’jam al-Shaghir, 1:65,135.)
Umar bin Abi Salamah: Ketika turun ayat-Sesungguh nya Allah kepada Nabi saw di rumah Ummu Salamah, beliu memanggil Fathimah dan memasukkannya dalam selimutnya. Ali datang sesudahnya, dan beliau pun memasukkan Ali ke dalam selimutnya. Kemudian Hasan datang maka beliau memasukkannya kedalam selimut, kemudian datanglah Husain dan ia pun masuk ke dalamnya lalu kemudian beliau bersabda: Ya Allah, mereka inilah Ahlulbaitku. Hilangkanlah dari mereka dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata: Aku bersama mereka, ya Rasul Allah? Beliau bersabda: Kamu ada dalam tempatmu. Kamu berada dalam kebaikan (Sunan al-Turmudzi 5:328; Al-Albani, ahli hadis kontemporer menyebutkan hadis ini shahih dan memasukkannya dalam Shahih Sunan Al-Turmudzi, 3:306, Kitab Tafsir al-Quran).
Masih dari Ummu Salamah: Ayat ini-Sesungguhnya Allah…-turun di rumahku. Aku berkata: Ya Rasulullah, bukankah aku termasuk Ahlulbait? Beliau bersabda: Kamu dalam kebaikan. Kamu termasuk istri-istri Rasulullah saw. Ia berkata: Ahlulbait adalah Ali, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Kata Ibn Asakir: Hadis ini shahih (Al-Arbain fi Manaqib Ummil Mu’minin 106).
Hadis-hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa Ahlulbait itu tidak termasuk ke dalamnya istri-istri Nabi saw. Kata “innama” menunjukkan bahwa Ahlulbait dibatasi pada orang-orang yang namanya disebut dalam hadishadis itu. Karena Ahlulbait dijamin suci dengan firman Tuhan, Syiah tidak menemukan selain Ahlulbait, Imam yang patut mereka patuhi.
Di bawah ini dicantunkan kitab-kitab tafsir, asbab alnuzul, ulum al-qur’an, hadis yang menjelaskan bahwa ayat tathhir ini turun untuk Ahlulbait:
- Tafsir al-Thabari 22:6-8
- Tafsir al-Durr al-Mantsur 5:198-199
- Tafsir Ahkam Al-Quran, Al-Jashash, 5:230
- Tafsir Al-Kasysyaf 1:193
- Tafsir Ahkam al-Quran, Ibn Arabi, 2:166
- Tafsir Al-Qurthubi 14:182
- Tafsir Ibn Katsir 3:483-485
- Tafsir Al-Munir, Al-Jawi, 2:183
- Tafsir Fath al-Qadir 4:279
- Al-Itqan 4:240
- Asbab al-Nuzul, Al-Wahidi 203
- Shahih Muslim, Syarh Al-Nawawi 15:194
- Shahih al-Turmudzi 5:30
- Musnad Ahmad 1:330 (antara lain)
- Al-Hakim, Al-Mustadrak al-Shahihain 3:133
- Khashaish Amir al-Mu’minin, Al-Nasai al-Syafi’I 4
- Usud al-Ghabah, Ibn Al-Atsir 2:12, 20; 3:413; 5:521
- Al-Tas-hil li ‘Ulum al-Tanzil, Al-Kalbi 3:137
- Al-Isti’ab, Ibn ‘Abd al-Birr, hamisy Al-Ishabah 3:37
- Al-Sirah al-Nabawiyyah, Zaini Dahlan, hamisy AlSirah al-Halabiyyah, 3:329-330
- Muntakhab Kanz al-‘Ummal, hamisy Musnad Ahmad 5:96
- Al-Iqd al-Farid, Ibn ‘Abd Rabbih al-Maliki, 4:311
- Is’af al-Raghibin, hamisy Nur al-Abshar 104-106
- Tarikh Dimasyq, Ibn Asakir al-Syafi’I, 1:185
- Manaqib Ali bin Abi Thalib, Ibn Al-Maghazali alSyafi’i, 301-351
- Kifayat al-Thalib, Al-Kanji al-Syafi’I 54, 373-375.
2. Ayat Wilayah (Kepemimpinan).
Pemimpin dalam Al-Quran disebut “waliy”. Al-Quran sudah memberikan petunjuk siapa yang sepatutnya dijadikan pemimpin setelah Allah dan Rasul-Nya:
Sesungguhnya pemimpin kamu itu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendrirkan salat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk (QS Al-Maidah 5:55)
Berkata Ibn Abbas, Al-Suddi, ‘Utbah bin Hakim, dan Tsabit bin Abdullah: yang dimaksud dengan “Orang-orang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk” adalah Ali bin Abi Thalib. Seorang pengemis lewat (meminta tolong) dan Ali sedang rukuk di masjid. Lalu Ali menyerahkan cincinnya (Tafsir al-Tsa’labi 4:80)
Berkata Abu Ja’far al-Iskafi: Ayat ini —Sesungguhnya pemimpin kamu…— turun tentang Ali bin Abi Thalib memperkuat sabda Nabi saw: Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya hendaknya menjadikan Ali sebagai pemimpinnya. Di sini Allah mendampingkan wilayahnya dengan wilayah Rasulullah saw (Al-Mi’yar wal Muwazanah 228. Tentang Abu Ja’far Al-Iskafi, Al-Dzahabi berkata: Dia adalah alim besar Abu Ja’far Muhammad bin Abdullah Al-Samarqandi al-Iskafi. Ahli ilmu kalam, sangat menakjubkan kecerdasannya dan keluasan pengetahuannya dalam agama, penjagaan dirinya dan kebersihan pribadinya-Siyar A’lam al-Nubala 10:550)
Di bawah ini adalah daftar kitab-kitab tafsir, asbab al-nuzul, hadis, dan tarikh yang ditulis oleh ulama Ahlussunnah yang menjelaskan bahwa ayat wilayah ini turun tentang Imam Ali bin Abi Thalib as. Karena keterbatasan abjad, sebagian lagi tidak dicantumkan di sini
- Tafsir Ahkam al-Quran, Al-Jashash, 2:558
- Tafsir Ruhul Ma’ani, 6:167
- Tafsir Al-Durr Al-Mantsur, 3:104
- Tafsir Ibn Katsir 2:74
- Tafsir Al-Kasyaf, 1:639
- Tafsir Fath al-Qadir,, 2:53
- Tafsir Al-Thabari, 6:288-289
- Tafsir al-Qurthubi, 6:219-220
- Tafsir al-Munir, Al-Jawi 1:210
- Tafsir al-Fakhr al-Razi 12:26
- Tafsir Tafsir al-Nasafi 1:289
- Syawahid al-Tanzil, Al-Haskani al-Hanafi, 1:161
- Al-Tas-hil li ‘Ulum al-Tanzil, al-Kalbi, 1:181
- Asbab al-Nuzul, Al-Wahidi 148
- Lubab al-Nuqul, Al-Suyuthi, hamisy Jalalayn 213
- Ma’alim al-Tanzil, hamisy Tafsir al-Khazin 2:55
- Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Ibn Al-Jawzi, 2:383
- Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, 3:51
- Dzakhair al-‘Uqba, Muhibbuddin al-Thabari al-Syafi’i 88, 102
- Yanabi’ al-Mawaddah, Al-Qanduzi al-Hanafi, 1:114
- Kanz al-‘Ummal 15:146
- Jami’ al-Ushul 9:478
- Majma’ al-Zawaid 7:17
- Al-Shawaiq al-Muhriqah, Ibn Hajar, 24:39
- Tadzkirat al-Khawwash, Ibn Al-Jawzi al-Hanafi, 18:208
- Tarikh Dimasyq, Ibn Asakir al-Syafi’i, 2:409
3. Ayat al-Mawaddah
Syiah adalah mazhab yang ditegakkan atas dasar kecintaan kepada Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya yang disucikan. Syiah mengikuti Ahlulbait, pertama, karena mereka disucikan; kedua, karena Al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk berwilayah kepada Imam Ali (Imam pertama Ahlulbait); dan ketiga, karena umat Islam diperintahkan untuk mencintai Ahlulbait.
Demikianlah Allah menggembirakan hamba-hambanya yang beriman dan beramal saleh. Katakanlah: Aku tidak meminta upah dari kalian atas nya kecuali kecintaan kepada keluargaku (Al-Qurba). Barangsiapa berbuat baik, Kami tambah kebaikannya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Berterimakasih (QS Al-Syura 53:23).
Ketika ayat ini turun, para sahabat Nabi bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah keluarga Anda yang wajib atas kami untuk mencintainya?” Nabi menjawab: “Mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain” (Fadhail alShahabah 2:669; Al-Mu’jam al-Kabir 1:351; Al-Haytami mengeluarkan hadis ini dengan mengatakan “Al-Bazzar, Al-Thabrani meriwayatkan dari Al-Hasan dengan sanad yang sebagaiannya baik; Al-Haytami juga mengatakan bahwa dalam sanad hadis di atas ada seorang Syiah tapi dia jujur, al-shaduq).
Di samping sumber-sumber di atas, di bawah ini disampaikan daftar (hanya) kitab-kitab tafsir Ahlisunnah yang meriwayatkan hadis di atas:
- Tafsir al-Kasysyaf 3::402
- Tafsir al-Fakhr al-Razi 27:266
- Tafsir al-Baidhawi 4:123
- Tafsir Ibn Katsir 4:112
- Tafsir al-Qurthubi 16:22
- Tafsir Fath al-Qadir 4:534
- Tafsir al-Durr al-Mantsur 6:7
- Tafsir al-Nasafi 4:105
- Tafsir Fath al-Bayan, Shidiq Hasan Khan 8:372
Catatan
IMAM SYAFI’I MENULIS PUISI INI:
Wahai Ahlulbait Rasulullah
Kecintaan kepada kalian
Diwajibkan Allah dalam Al-Quran yang diturunkan
Cukuplah tentang besarnya kemuliaanmu
Siapa yang tidak bersalawat padamu
Seluruh salatnya tidak diterima
Kesimpulan
Perintah mengikuti Ahlulbait yang harfiah dalam Al-Qur’an memang tidak ada, karena yang diperintah oleh Allah swt adalah mencintai Ahlulbait. Dan orang yang mencintai pasti mengikuti.
Pertanyaan #02
Mushaf Al-Qur’an Syiah yang Berbeda: Mushaf Ali?
Tuduhan
Syi’ah mempunyai mushaf Al-Quran yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mushaf Al-Quran itu namanya mushaf Ali. Ada juga yang menyebutnya mushaf Fathimah. Di dalamnya tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang ada pada kaum muslimin
Jawaban
Harusnya para penuduh malu dengan tuduhan ini, karena tidak ada seorang Syiah pun di bawah kolong langit ini, yang memiliki mushaf Qur’an yang berbeda dengan Al-Quran yang ada sekarang. Mesjid-mesjid Syiah ada di mana-mana. Datanglah ke mesjid itu dan periksa apakah Al-Quran Syiah berbeda. Iran adalah Negara Syi’ah terbesar di dunia. Mereka selalu mengikuti dan menyelenggarakan Musabaqah Tilawah Al Qur’an. Bagaimana mungkin jika mereka berpartisipasi dalam MTQ tingkat international kalau al-Qur’annya berbeda?
Syiah dari dahulu sampai sekarang membaca mushaf Al-Quran yang dibaca oleh kaum muslimin di mana pun. Tidak ada beda di antara mushaf Al-Quran mereka dengan mushaf Al-Quran lainnya. Untuk menghindari kesalah-pahaman, di bawah ini dijelaskan tentang mushaf Ali, shahifah Ali, dan shahifah Fathimah. Mushaf Ali.
Siapa saja yang mempelajari Tarikh Al-Quran pasti mengenal beberapa mushaf di kalangan sahabat Nabi saw, sebelum penyatuan mushaf di zaman Utsman bin Affan: Mushaf Zaid, Mushaf ibn Mas’ud, Mushaf Ubay bin Ka’ab, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Miqdad bin Al-Aswad, dan bahkan Mushaf Aisyah, di samping Mushaf Ali.
Shahih al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mahik: Aku sedang beserta Aisyah, ketika seorang Irak datang dan mengajukan berbagai pertanyaan. Ia juga minta Aisyah untuk menunjukkkan mushafnya. Ia berkata: Ya ummal mu’minin, perlihatkan kepadaku mushafmu. Ia bertanya: Kenapa? Aku ingin mencocokkan Al-Quranku dengan mushafmu, karena ia membacanya tanpa susunan atau aturan atau karena perbedaan dalam susunan ayat dan bilangannya…sampai ia berkata: Kemudian ia mengeluarkan mushaf dan mengimlakkan ayat-ayat surat dan bilangannya (Shahih al-Bukhari 6:228).
Jika Aisyah saja mempunyai mushaf, apalagi Imam Ali as. Kata Ibn Nadim berkata, “Ali as melihat manusia orang banyak dalam kegalauan setelah wafat Rasulullah saw. Ia pun bersumpah untuk tidak melepaskan pakaiannya sebelum mengumpulkan Al-Quran. Ia tinggal di rumahnya selama tiga bulan, sampai Al-Quran terhimpun utuh. Itulah mushaf pertama ketika apa yang ada dalam hati dikumpulkan dalam mushaf. Mushaf ini berada pada keluarga Ja’far.” (Al-Fihrist 47-48).
Menurut Ibn Hajar: Telah diriwayatkan bahwa Ali mengumpulkan Al-Quran berdasarkan waktu turunnya Al-Quran (tartib al-nuzul) setelah wafatnya Rasulullah saw. Dikeluarkan Abu Dawud (Lihat Al-Itqan, 1:71-72).
Dibandingkan dengan mushaf-mushaf sahabat lainnya, Mushaf Ali memiliki keistimewaan sebagai berikut:
- Mushaf disusun secara kronologis berdasarkan waktu turunnya Al-Quran
- Setiap teks (nash) dituliskan apa adanya, tanpa perubahan, atau penyimpangan dalam kalimat dan ayatnya
- Qiraatnya ditetapkan persis seperti qiraat Rasulullah saw
- Di dalamnya terdapat penjelasan tentang asbab alnuzul, tempat turunnya ayat, waktu turunnya ayat, dan untuk siapa ayat itu diturunkan.
- Di dalam mushaf juga dijelaskan pelajaran umum yang dapat disimpulkan dari ayat itu untuk setiap ruang dan waktu.
Lalu di manakah mushaf Ali itu sekarang?
Sama seperti mushaf-mushaf lainnya, bersamaan dengan kodifikasi Al-Quran yang dilakukan Utsman bin Affan, mushaf Ali hanya tinggal sebagai catatan sejarah saja. Shahifah Ali.
Syi’ah dan Sunni meyakini ada yang disebut Shahifah Ali, bukan mushaf Ali. Ada beberapa nama untuk Shahifah Ali-Kitab Ali as, Al-Jafr, Al-Jami’ah. Kitab ini bukan kitab Al-Quran tetapi kumpulan hadis. Di bawah ini adalah beberapa bukti tentang keberadaan Shahifah Ali:
- “Khabar tentang shahifah Ali as masyhur”, kata Muhammad ‘Ajaj al-Khathib (Al-Sunnah qabl alTadwin 420-423).
- “(Shahifah itu) adalah lembaran kecil mengenai tebusan-ukuran diyat-dan hukum-hukum tentang pembebasan tawanan.” (Dr ‘Itr, Manhaj al-Naqd 46).
- Dari Abu Juhaifah: Aku bertanya kepada Ali asAdakah pada kalian kitab? Ia berkata; Tidak, kecuali Kitab Allah, atau pemahaman seseorang atau yang ada pada ini. Aku bertanya: Apa yang ada pada shahifah itu? Ia berkata: tebusan, pembebasan tawanan, dan supaya orang Islam tidak boleh dibunuh karena orang kafir (Shahih al-Bukhari, 1: 38, Kitab al-‘Ilm dan 9:13, Kitab al-Diyat; Sunan ibn Majah 2:887, hadis 2658)
- Ditanyakan kepada Ali bin Abi Thalib as: “Adakah Rasulullah saw berjanji padamu tentang sesuatu?” Ia berkata: “Ia tidak berjanji kepadaku yang khusus dan tidak kepada yang lain. Kecuali yang aku dengar dari beliau dan aku tuliskan dalam Shahifah di wadah pedangku.” Kemudian ia turun dan mengeluarkan shahifah. Di dalamnya ada: “Barangsiapa yang mengubah-ubah agama atau melindungi orang yang mengubah agama, Allah, Malaikat, dan semua manusia melaknatnya. Tidak diterima darinya pengganti atau tebusan” (Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah,7:228; Abu Dawud 2:216, hadis 2034-2035, Al-Manasik; lihat juga hadis dari A’masy, dari Ibrahim, dari bapaknya yang seperti di atas, diriwayatkan oleh Shahih Al-Bukhari 4:122, Bab Dzimmat al-Muslimin; Musnad Ahmad 1:81; Irsyad al-Sari 1:166, ‘Umdat al-Qari 1:561, Fath al-Bari 1:82; Shahih Muslim, Kitab al-Hajj 2:995).
Dr Rif ’at Fauzi Abdul Muthalib melaporkan semua riwayat tentang shahifah Ali dalam bukunya Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib a.s. (Penerbit Dar al-Salam, Halb, 1406H).
Dalam riwayat-riwayat Ahlulbait as, Shahifah Ali ini disebut sebagai Kitab Ali, meliputi berbagai hukum agama dan merupakan kitab yang sangat tebal. Kitab itu berisi hadis-hadis yang diimlakkan Rasulullah saw kepada Imam Ali as.
Kitab ini juga disebut sebagai Al-Jafr dan Al-Jami’ah. Banyak ulama Ahlussunnah menulis tentang Al-Jafr dan Al-Jami’ah. Antara lain, Muhammad bin Thalhah, Al-Jafr al-Jami’ wa al-Nur al-Lami’; Muhyiddin Ibn Arabi, AlDurrah al-Nashi’ah fi Kasyf ‘Ulum al-Jafr wa al-Jami’ah (lihat laporannya pada Haji Khalifah, Kasyf al-Zhunun ‘an Asma-il Kutub wa al-Funun, Dar al-Fikr, Beyrut 1402)
Mushaf Fathimah
Seperti Kitab Ali, Mushaf Fathimah juga adalah kumpulan hadis. Dalam riwayat-riwayat Ahlulbait sering ditunjukkan bahwa para Imam menetapkan keputusan atau fatwa berdasarkan Mushaf Fathimah. Dalam riwayat-riwayat Ahlussunnah, laporan tentang Mushaf Fathimah terdapat pada Al-Kharaithi, Kitab Makarim al-Akhlaq, 43, nomor 217. Ia mengabarkan dari Mujahid: Ubayy bin Ka’ab berkunjung kepada Fathimah as. Fathimah mengeluarkan sebuah kitab yang di dalamnya ada tulisan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berbuat baik kepada tetangganya”. Al-Kathib juga menyampaikan riwayat ini dalam Taqyid al-‘Ilm 99.
Kesimpulan
Walhasil, tidak ada perbedaan sama sekali antara Al-Quran yang dibaca oleh orang Syiah dengan Al-Quran yang dibaca Ahlussunnah. Mushaf Ali, shahifah Ali, dan mushaf Fathimah bukanlah Al-Quran yang dibaca Syiah sekarang ini.
Pertanyaan #03
Syiah Percaya Adanya Tahrif (Perubahan) Al-Qur’an?
Tuduhan
Orang Syiah sering melakukan tahrif Qur’an. Al-Quran yang dibaca orang Syi’ah adalah Al-Quran yang berbeda dengan yang dibaca oleh kaum muslimin pada umumnya. Dalam Al-Quran Syi’ah ada penambahan dan pengurangan.
Jawaban
Ulama Syi’ah menolak tahrîf.
Dalam Ulum Al-Quran, penambahan dan pengurangan atau perubahan dalam huruf, harakat, atau kalimat AlQuran disebut tahrîf lafzhî. Para ulama Syi’ah dari dahulu sampai sekarang menolak adanya tahrif dalam Al-Quran. Di bawah ini pendapat sebagian dari ulama besar Syi’ah ketika menafsirkan ayat
“Sesungguhnya Kami menurunkan peringatan (Al-Quran) dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS Al-Hijr 15:9)
- Al-Syaikh Al-Faidh Al-Kasyani: “(sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari tahrif, perubahan, penambahan dan pengurangan” (Tafsir al-Shafi 3:102)
- Al-Syaikh Abu Ali Al-Thabarsi: “(sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya) dari penambahan, pengurangan, tahrif, dan perubahan. Dari Al-Hasan: Artinya, Allah menjamin pemeliharaan Al-Quran sampai akhir zaman dalam keadaan Al-Quran yang asli (‘ala ma huwa ‘alaihi)” (Majma’ al-Bayan 5:331)
- Al-Sayyid Thabathabai: “Al-Quran adalah peringatan yang abadi, terpelihara tidak akan hilang (mati) atau dilupakan aslinya, terpelihara dari penambahan yang dapat menghapuskan posisinya sebagai peringatan, begitu pula terpelihara dari pengurangan, terpelihara dari perubahan dalam bentuknya dan konteksnya… ayat ini menunjukkan bahwa Kitab Allah terpelihara dari tahrif, dalam seluruh bagiannya, karena posisinya sebagai peringatan Allah swt. Al-Quran adalah peringatan yang hidup abadi.” (Al-Mizan fi Tafsir alQuran, 12:103-104).
- Al-Sayyid al-Khuiy: “Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran terjaga dari tahrif. Tidak mungkin tangantangan batil akan berhasil mengubah-ubahnya (mempermainkannya)” (Al-Bayan fi Tafsir al-Quran, 226).
Kalau kita cantumkan di sini pendapat ulama Syi’ah yang dahulu dan yang kemudian, buku ini akan menjadi sangat tebal. Di atas dicantumkan pendapat-pendapat yang mewakili ulama Syi’ah dengan rujukan yang dapat diperiksa sekarang juga. Di samping itu ada banyak ulama Syi’ah yang menulis kitab menolak adanya tahrif dalam Al-Quran. Misalnya, Ayatullah Muhammad Hadi Ma’rifat menulis Shiyanat al-Quran ‘an al-Tahrif; Al-Sayyid Ali AlMilani, Al-Tahqiq fi Nafy al-Tahrif; Ayatullah Al-Syaikh Hasan Hasan Zadeh-Amuli, Fashl al-Khithab fi ‘Adam Tahrif Kitab Rabb al-Arbab; Al-Sayyid Ja’far al-Murtadha al-‘Amili, Haqaiq Hammah hawl al-Qur’an.
Menarik untuk dicatat komentar peneliti dan ulama besar Sunni, Rahmatullah Al-Hindi menulis, “Sesungguhnya Al-Quran yang mulia menurut jumhur ulama Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah terjaga dari perubahan dan pergantian. Jika ada di antara mereka yang mengatakan adanya pengurangan dalam Al-Quran maka pendapatnya itu ditolak tidak diterima mereka” (Izhhar al-Haqq 2:128).
Berkenaan dengan riwayat-riwayat yang dikutip dari Kitab-kitab Syi’ah seperti Al-Kafi dan Al-Qummi, semua ulama hadis di kalangan Syi’ah sepakat tentang kelemahan hadis-hadis itu: “Kebanyakan riwayat tahrif dha’if dan sanad-sanadnya berakhir pada orang-orang dha’if atau yang dicurigai ghuluw dan bermazhab bathil.”(Majma’al-Bayan 1:15).Sementara riwayat-riwayat shahih yang menunjukkan penambahan menegaskan bahwa penambahan itu hanyalah tafsir dari ayat, yang tentu saja tidak dibaca.
Tahrif dalam Hadis-hadis Shahih Ahlussunnah.
Jika hadis-hadis tahrif itu dipandang dha’if di kalangan Syi’ah, dalam mazhab Ahlussunnah hadis-hadis tahrif itu terdapat pada kitab-kitab yang dianggap paling shahih. Tidak seorang pun di antara ahli hadis Ahlissunnah yang mendha’ifkan hadis-hadis berikut ini:
- Dari Ibrahim bin ‘Alqamah: Kami datang ke Syam bersama sahabat-sahabat Abdullah. Abu Darda mendengar kami dan mendatangi kami. Ia berkata: Adakah di antara kalian yang membaca Al-Quran? Kami berkata: Ada. Kata Abu al-Darda: Yang mana? Mereka menujuk aku. Kata Abu al-Darda: Bacalah. Aku membaca:
- Kata Abu al-Darda: Kamu mendengarnya dari mulut sahabatmu? Aku berkata: Benar. Ia berkata: Aku mendengarnya dari mulut Nabi saw, tetapi mereka membantah kami (Al-Bukhari, Kitab al-Tafsir, Bab Surat Wal Layli idza yaghsya; Jami’ al-Ushul 2:496; Musnad Ahmad 6:449, 451; Al-Durr al-Mantsur 6:358). Lafazh aslinya dalam Al-Quran, yang dianggap “membantah kami”, seperti kita ketahui sebagai berikut:
- Dari Umar bin Al-Khattab: “Sekiranya tidak diomongkan orang Umar menambah-nambah kitab Allah, aku pasti menuliskan ayat rajam dengan tanganku sendiri” (Al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Bab al-Syahadah ‘ind al-Hakim; lihat Al-Itqan 2:25, 26 dengan sanad yang banyak; Al-Durr al-Mantsur 1:330 dari Malik, AlBukhari, Muslim; Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an 2:40; Manahil al-‘Irfan 2:111; kata Ibn Abd al-Syakur: hadis ini sangat kokoh dengan jalan (thuruq) yang hampir-hampir mencapai tingkat mutawatir – Al-Fawatih, hamisy Al-Musthashfa 2:73). Dalam riwayat-riwayat lainnya (Al-Mustadrak 4:359; Musnad Ahmad:23, 29, 36, 40, 50; Thabaqat Ibn Sa’d 3:334; Sunan al-Darimi 2:179), Umar menyebutkan bunyi ayat rajam itu sebagai berikut:
- Karena sanadnya sangat shahih, hampir mendekati mutawatir, maka ulama Ahlussunnah berusaha untuk mencari pembenaran dengan mengatakan “yang dinasakh lafazhnya tetapi tetap berlaku hukumnya” (kata Ibn Hazm dalam Al-Muhalla) atau “sanad hadis ini shahih, tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum al-Quran, yang diriwayatkan oleh jamaah dari jamaah, tetapi ia sunnah yang kokoh. Kadang-kadang orang berkata: Aku membaca demikian padahal bukan Al-Quran. (Jadi Umar membaca sesuatu yang bukan dari Al-Quran), tetapi pendapat ini dibantah dengan ucapan Umar sendiri: “Sekiranya aku tidak suka orang berkata Umar menambah-menambah Al-Quran, aku akan tambahkan dia ke dalamnya.” (Abu Ja’far alNuhas, Nasikh wa Mansukh 8)
- Al-Bukhari meriwayatkan dalam tarikhnya dari Hudzaifah: “Aku membaca surat Al-Ahzab pada zaman Nabi saw sebanyak 200 ayat. Ketika Utsaman menuliskan mushaf, Al-Ahzab hanya mencapai sejumlah ayat yang sekarang ini (yakni, 73 ayat)” (Al-Itqan 2:25; Manahil al-Irfan 1:273; Al-Durr alMantsur 5:180).
- Dari Nafi’ dari ibnu Umar: Janganlah kamu mengatakan aku sudah menghapal seluruh Al-Quran, karena kamu tidak tahu seluruhnya. Banyak sekali yang hilang dari Al-Quran. Katakan saja: Aku telah menghapal apa yang ada dalam Al-Quran sekarang ini“ (Al-Itqan 2:25)
- Dari ‘Aisyah: “Dahulu termasuk yang turun dalam AlQuran adalah ayat tentang sepuluh kali susuan yang menyebabkan haram dinikahi” (Shahih Muslim 4:167, 168; Abd al-Razzaq, Al-Mushannaf, 7:367; Bidayat al-Mujtahid 2:36; lihat juga Al-Itqan dan Manahil al‘Irfan dsb)
- Dari Ibn Mas’ud: Kami dahulu membaca ayat ini di zaman Rasulullah saw sebagai berikut (Al-Durr alMantsur 2:298):
- Dari Aisyah, ia berkata: “Telah turun ayat rajam dan menyusukan orang yang sudah dewasa sepuluh kali susuan. Dan sudah ada dalam shahifah di bawah tempat tidurku. Ketika Rasulullah saw meninggal kami sibuk dengan meninggalnya beliau. Masuklah kambing ke dalam dan memakannya” (Ibn Majah 1:626, hadis 1944, Bab Radha’ al-Kabir; lihat Shahih Muslim, 4:167, Bab Al-Tahrim bi Khams Radha’at; Abu Dawud 1:279; Al-Nasai 2:82; Al-Darimi 1:57; Ta’wil Mukhtalaf alHadits, 310; Musnad Ahmad 6:269).
- Dari Abu Musa al-Asy’ari: “Sesungguhnya dahulu kami membaca sebuah surat yang panjangnya dan beratnya sama dengan Surat Al-Baraah (al-Tawbah). Aku sudah melupakannya kecuali sebagian yang aku hapal, (Shahih Muslim, 3:100, Kitab al-Zakat) yaitu:
Kesimpulan
Ada banyak hadis tentang tahrif Al-Quran baik dalam kitab-kitab hadis Syi’ah maupun Sunni. Sebagai contoh, hadis tahrif itu ada pada Al-Bukhari juga al-Kafi. Para ahli hadis dan ulama Syiah menyatakan dengan tegas bahwa hadis-hadis tahrif itu semuanya dha’if bahkan dibuat oleh orang-orang yang mazhabnya rusak.
Periksalah Al-Quran yang dicetak dan dibaca oleh orang Syi’ah. Teliti apakah ada perbedaan dengan mushaf Al-Quran yang dibaca oleh Ahlussunnah. Setiap tahun orang Syiah ikut dalam musabaqah Al-Quran internasional dan tidak satu orang pun yang membaca Al-Quran yang berbeda dengan Al-Quran Ahlussunnah.
Pertanyaan #03
Syiah Memanipulasi Penafsiran Al-Qur’an?
Tuduhan
Orang Syiah sering memanipulasi Penafisran Al-Qur’an
Jawaban
Ulama Syiah, sebagaimana dapat dilihat pada tafsir-tafsir mereka, menafsirkan Al-Quran baik secara aqli maupun naqli. Tetapi berbeda dengan kaum Wahabi, Syiah membolehkan adanya ta’wil di samping tafsir. Bukan tempatnya di sini membicarakan perbedaan keduanya. Cukuplah dikatakan bahwa ta’wil di sini ialah “mengalihkan makna yang meragukan atau membingungkan pada makna yang meyakinkan dan menentramkan”.
Berikut ini ditunjukkan beberapa contoh:
-
QS 17:72: Barang siapa buta di dunia akan buta pula di akhirat.
Kalau “buta” di sini diartikan buta lahiriah, maka orang-orang tuna netra di dunia akan menjadi tuna netra juga pada hari akhirat. Karena itu, sesuai dengan akal dan hati nurani kita, kita alihkan arti “buta” ini dari “buta” jasmaniah ke “buta” ruhaniah.
-
QS 68:42: Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu.
Mufasir Syiah tidak percaya bahwa Tuhan mempunyai betis, yang disingkapkan untuk meyakinkan umat manusia bahwa ia benar-benar Tuhan, seperti diriwayatkan dalam Shahih Muslim berikut ini:
Allah swt berfirman: “siapa yang menyembah sesuatu, ikutilah tu. Di antara mereka ada yang mengikuti matahari. Di antara mereka ada yang mengikuti bulan. Di antara mereka ada yang mengikuti thogut. Tinggallah umat ini yang di dalamnya ada orang-orang munafik. Kemudian datanglah Allah swt yang mereka ketahui.
Dia berkata: “Aku Tuhanmu”. Tapi mereka berkata:“ aku berlindung kepada Allah swt darimu“ sampai tidak tersisa yang menyembah Allah swt, baik yang shaleh maupun yang maksiat. Allah swt Robbul Alamin, datang lagi kepada mereka dalam bentuk yang lebih mendekati yang mereka lihat. Mereka ditanya: “Apa yang kalian tunggu? Setiap umat mengikuti apa yang disembahnya”. Mereka berkata: “Kami menunggu Tuhan kami yang kami sembah” Dia berkata: “Aku Tuhanmu”. Mereka berkata:“ kami tidak menyekutukan Allah swt dengan sesuatupun, dua atau tiga kali.“ Kemudian Dia berkata: “adakan Dia dan kamu punya tanda yang kamu kenal?”. Mereka berkata: “Betis.” Pada hari betis disingkapkan… sampai akhir ayat.
Kemudian mereka mengangkat kepala mereka dan Tuhan sudah berubah bentuk dari apa yang mereka lihat sebelumnya. Dia berkata: “Aku Tuhanmu?” Mereka berkata: “Engkau Tuhan kami”. (shahih Muslim, “kitab al-Iman, bab “Ma’rifat thariq al-ru’yat” hadis 229)
Tentu kita akan kebingungan. Mengapa Tuhan menyingkapkan betis? Apakah Tuhan mempunyai betis? Mengapa tanda ketuhanan terletak pada betis?
Syiah menolak penafsiran secara harafiah seperti itu. Untuk menghilangkan kebingungan dan untuk menentramkan hati Syiah mengalihkan maknanya kepada makna yang menentramkan akal dan hati. Mereka merujuk pada penggunaaan kata “betis” dalam bahasa Arab. Misalnya: Qâmat al-harb binâ ‘ala Sâq, yang artinya peperangan berkecamuk pada tingkat kritis. “Di atas betis” berarti sangat kritis. Walhasil, ayat itu diartikan menjadi: Pada hari ketika manusia berada dalam kekacauan yang luar biasa (Lihat Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah 15).
Kesimpulan
Ulama Syiah menafsirkan Al-Quran baik secara aqli maupun naqli, dengan ta’wil terhadap makna yang meragukan atau membingungkan.
Pertanyaan #05
Ajaran Syiah Tidak Berdasarkan As-Sunnah
Tuduhan
Ajaran Syiah tidak berdasarkan kepada hadis atau Sunnah. Tidak ada rujukan dalam hadis-hadis Shahih tentang kewajiban mengikuti dua belas Imam dari Ahlulbait.
Jawaban
Sekali lagi, ajaran Syiah ialah ajaran yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti Ahlulbait dalam aqidah, syariat, dan akhlak. Yang dimaksud dengan Ahlulbait, dalam pengertian khusus, adalah dua belas Imam. Dalam pengertian lebih luas, Ahlulbait termasuk juga Rasulullah saw dan Sayyidah Fathimah as. Kewajiban untuk mengikuti Ahlulbait disebutkan dalam banyak hadis yang shahih. Hanya tiga hadis yang dicantumkan di bawah ini:
1. Hadis al-Tsaqalayn (Dua Pusaka)
-
Rasulullah saw besabda: “Hai manusia! Aku tinggalkan padamu apa yang akan menghindarkanmu dari kesesatan selama kamu berpegang teguh padanya: Kitab Allah dan ‘itrahku, yaitu ahlulbaitku.”
(Shahih alTurmudzi 5:238, hadis 3874; Tafsir Ibn Katsir 4:113; Kanz al-Ummal 2:153; Ibn Al-Atsir, Jami’ al-Ushul 1:187; Al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir 138). -
Diriwiyatkan Zaid bin Arqam, ia berkata “Pada suatu hari Rasulullah saw berdiri di hadapan kita di sebuah tempat yang bernama Khum seraya berpidato. Maka beliau memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasihat dan peringatan. Kemudian beliau bersabda ‘Ketahuilah–wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia; Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dan aku tinggalkan padamu ats-tsaqalain; yang pertama: Kitab Allah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka berpegang teguhlah dengan Kitab Allah. Lalu beliau menganjurkan (kita) agar berpegang teguh dengan Kitab Allah – kemudian beliau melanjutkan “Dan Ahlulbaitku. Kuperingatkan kalian akan Ahlulbaitku (beliau ucapkan ini tiga kali)”
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, Bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, 2:362.; Tafsir al-Khazin, 1: 4, Tafsir Ibnu Katsir, 4: 113, Al-Baghawi, Mashabih al- Sunnah 2:278; Yanabi’al-Mawaddah 29,191; Al-Nabhani, Fath al-Kabir 1:252) -
Rasulullah saw bersabda: “Aku tinggalkan bagimu yang kalau kamu berpegang teguh kepadanya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku.Yang satu lebih besar dari yang lain: Kitab Allah, tali yang terbentang dari langit ke bumi dan kedua ‘itratku Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya berjumpa denganku di telaga Al-Haudh. Maka perhatikanlah bagaimana kamu memperlakukan kedua peninggalanku itu.”
(Shahih al-Turmudzi 2:308, hadis 3876; Tafsir al-Durr al-Mantsur 6:7, 306; Al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Shaghir 1:135; Tafsir al-Khazin 1:4; Tafsir al-Wushul 1:16; Tafsir Ibn Katsir 4:113; Ibn Al-Atsir, Jami’ al-Ushul 1:187; Usud al-Ghabah 2:12; Kanz al-‘Ummal 1:154; Taysir al-Ushul 1:16; Yanabi’ al-Mawaddah 33, 40, 226; Al-Baghawi, Mashabih al-Sunnah 2:279)
Di samping itu, banyak lagi hadis yang semakna dengan hadis-hadis di atas. Redaksinya bermacam-macam. Rasulullah saw juga menyampaikannya berkali-kali: di Arafah, Muna, Ghadir Khum, pulang dari Thaif, menjelang kembali ke hadirat Ilahi.
Menurut Ibn Hajar: “Ini tidak menunjukkan pertentangan, karena tidak ada alasan untuk menolak bahwa Nabi saw mengulang-ulangi pesan yang penting itu kepada mereka di tempat itu dan dan di tempat-tempat lainnya, dengan tujuan untuk menarik perhatian mereka terhadap Al-Kitab yang mulia dan Al-Itrat yang suci. Disebutkan dalam hadis Thabrani dari Ibn Umar: Akhir kalimat yang diucapkan Nabi saw adalah ‘Peliharalah aku dengan memelihara hak-hak Ahlulbaitku” (Al-Shawaiq al-Muhriqah 150)
2. Hadis Dua Belas Khalifah
- Dari Jabir bin Samurah: “Beliau bersabda, Akan ada
dua belas amir. Kemudian ia mengatakan kata yang
tidak aku dengar. Kata ayahku: Sesungguhnya ia
berkata: Semuanya dari Quraisy”
(Shahih al-Bukhari 8:127) - Dari Jabir bin Samurah. Ia berkata: “Aku bersama
bapakku menemui Nabi saw. Maka kami mendengar
beliau bersabda: Sesungguhnya urusan agama ini tidak
akan terhenti sampai terjadi di tengah-tengah mereka
dua belas khalifah. Ia berkata: Kemudian ia berbicara
dengan perkataan yang sangat perlahan bagiku. Aku
bertanya kepada bapakku: Apa yang beliau katakan.
Beliau bersabda: Semuanya dari Quraisy”
(Shahih Muslim 6:3) - Dari Masruq: Kami sedang duduk bersama Abdullah
bin Mas’ud. Ia membacakan Al-Quran pada
kami. Seorang lelaki bertanya kepadanya: Ya Aba
Abdirrahman, apakah engkau pernah bertanya kepada
Rasulullah saw berapa khalifah yang dipunyai umat
ini? Berkata Abdullah bin Mas’ud: Belum pernah ada
orang yang bertanya padaku sebelum kamu tentang
hal itu sejak aku datang ke Iraq. Benar, aku pernah
bertanya kepada Rasulullah saw dan ia bersabda: Dua
belas orang sebanyak para ketua (nuqaba) Bani Israil
(Musnad Ahmad 1:398, 406; lihat juga Musnad Abi Ya’la 8:444, 9:222; Al-Thabrani, Mu’jam al-Kabir 10:158; kata Ahmad Muhammad Syakir “Isnaduhu shahih” dalam tahqiqnya pada Musnad Ahmad; Al-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa 15 menghasankan hadis ini).
Hadis tentang 12 khalifah yang melanjutkan Nabi saw hanya dapat dijelaskan dalam keyakinan mazhab Syiah. Rasulullah saw menunjuk pengganti atau pelanjut sebanyak 12 orang. Ulama Ahlussunnah kebingungan untuk menjelaskan siapa dua belas khalifah itu. Kalau mereka menghitung Khulafa al-Rasyidin bilangannya hanya empat orang saja. Jika dimasukkan juga semua khalifah Umawiyyah dan Abbasiyah, jumlahnya lebih banyak dari dua belas orang. Ada juga yang menganggap bahwa 12 itu menunjukkan banyak dan tidak menunjukkan bilangan tertentu.
Dalam kebingungannya, Ibn Hajar al-Asqalani menulis, “Aku tidak menemukan seorang pun yang mengetahui secara pasti arti hadis ini” (Fath al-Bari 13:183). Aneh juga kalau ahli hadis sebesar Ibn Hajar tidak memahami arti hadis ini, padahal nama-nama dua belas imam diriwayatkan banyak sekali dalam khazanah Ahlussunnah. Al-Qanduzi al-Hanafi –“wafat tahun 1294 H, ulama mazhab Hanafi dari Balkh” (Al-Zarkali, Al-A’lam. Beirut: Dar al-‘Ilm lil Malayin, 1999)-mengumpulkan hadis-hadis itu dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah. Salah satu di antaranya kita kutipkan di sini:
- “Seorang Yahudi memanggil Na’tsal untuk datang menemui Rasulullah saw dan berkata, ‘Wahai Muhammad, aku memiliki beberapa pertanyaan yang telah lama kusimpan. Jika engkau menjawabnya, maka aku akan memeluk Islam dengan pertolonganmu’ Rasulullah saw bersabda: Wahai Abu Amarah! Engkau dapat menanyakannya padaku. Ia bertanya: Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku penerusmu karena tidak ada rasul tanpa penerus. Rasul kami Musa bin Imran as menetapkan Yusya bin Nun sebagai penerusnya. Rasulullah saw berkata: Penerusku adalah Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku Hasan dan Husain yang setelah mereka akan ada sembilan Imam dari keturunan Husain yang datang secara berurutan. Ia bertanya lagi: Katakan nama-nama mereka, wahai Muhammad. Rasulullah saw bersabda: Setelah Husain akan ada putranya Ali, setelah Ali putranya Muhammad, setelah Muhammad putranya Ja’far, setelah Ja’far putranya Musa, setelah Musa putranya Ali, setelah Ali putranya Muhammad, setelah Muhammad putranya Ali, setelah Ali putranya Hasan, dan setelah Hasan putranya Al-Hujjah Muhammad alMahdi” (Yanabi’ al-Mawaddah , 440)
3. Hadis Al-Safinah
Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan Ahlulbaitku seperti perahu Nuh. Yang menaikinya selamat dan yang meninggalkannya tenggelam” Hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Abu Sa’id al-Khudri, Ibn Abbas, Abdullah bin Zubayr, Anas bin Malik, dengan sejumlah thuruq yang sampai kepada mereka (Ahmad bin Hanbal, Fadhail al-Sahabat 2:785; Ibn Abi Syaibah, AlMushannaf 7:503; Al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir 3:4445, Al-Mu’jam al-Awsath 4:10, 5:306-355, Mu’jam alShaghir 1:193, 2:22; Al-Hakim, Al-Mustadrak 2:343, 3:151; Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya 4:306; Al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa 209).
Para ahli hadis menilai hadis ini shahih karena saling menguatkan satu sama lain. Ibn Hajar berkata: Hadis ini diriwayatkan oleh banyak jalan, saling memperkuat satu sama lain (Al-Shawaiq al-Muhriqah 352). Al-Samhudi berkata, “Wa hadzihi al-thuruq yuqawwi ba’dhuhu ba’dhan” ( Jawahir al-Uqdayn 261). Catatan
Kesimpulan
Walhasil, berdasarkan hadis ini dan banyak hadis lainnya
, Syiah mengikuti Ahlulbaitkarena perintah Allah swt dan petunjuk Rasulullah saw, karena Al-Quran dan As-Sunnah.
Pertanyaan #06
Hadis Tsaqalayn (Dua Pusaka) Dhaif, Padahal Syiah Mengacunya?
Tuduhan
Hadis bahwa Rasulullah saw meninggalkan dua pusaka (tsaqalayn), “Al-Quran dan Ahlulbaitku” harus ditinggalkan karena bertentangan dengan hadis yang menjelaskan dua pusaka tersebut adalah “Al-Quran dan Sunnahku”
Jawaban
Menurut para ulama, bila kita memandang ada dua hadis yang bertentangan, kita mengatasi persoalan itu dengan tiga cara: pertama, membandingkan tingkat kesahihan kedua hadis itu dan memilih yang paling sahih; kedua, bila kedua-duanya sahih, tinggalkan kedua-duanya; dan ketiga, gabungkan kedua-duanya dalam makna baru dan amalkan.
Dalam penelitian kami, seperti yang akan dijelaskan di bawah, hadis “Al-Quran dan Ahlulbaitku” diakui keshahihannya oleh para ahli hadis; sedangkan hadis “Al-Quran dan Sunnahku” disepakati sebagai hadis yang dhaif. Dengan alasan ini tentu saja kita harus meninggalkan hadis “Al-Quran dan Sunnahku” dan mengambil hadis “Al-Quran dan Ahlulbaitku”. Kita ambil solusi pertama. Tidak mungkin kita mengambil solusi kedua; yakni, meninggalkan kedua hadis itu.
Kami juga bisa mengambil solusi ketiga: Kami berpegang teguh kepada sunnah Nabi saw yang disampaikan melalui Ahlulbait. Dan memang itulah yang menjadi dasar keberagamaan dalam Syiah, yang membedakannya dari Sunni.
Betulkah hadis “Al-Quran dan Ahlulbaitku” lebih sahih dari “Al-Quran dan Sunnahku”?
Al-Albani tentang keshahihan hadis al-Tsaqalayn
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani adalah ahli hadis terbesar di kalangan Ahlussunnah di abad ini. Ia melakukan penelitian hadis yang sangat intensif dan meninggalkan kepada kita warisan yang sangat bernilai. Salah satu di antaranya adalah Silsilah al-Ahadits alShahihah. Dalam kitab itu hanya dikumpulkan hadis-hadis yang shahih saja, lengkap dengan alasan untuk menolak orang-orang yang mendhaifkannya.
Dalam kitab Silsilah al-Ahadits al-Shahihah, 4:355, hadis nomor 1761, diriwayatkan hadis ini: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan padamu yang apabila kamu ambil, kamu tidak akan tersesat: Kitab Allah dan keluargaku Ahlulbaitku” Al-Albani mengutip pendapat ahli ahli hadis yang mendhaifkannya. Setelahnya ia segera menuliskan:
Tetapi hadis ini shahih, karena ada bukti (syahid) dari hadis Zaid bin Arqam (yang sudah kita baca di atas). Hadis itu dikeluarkan Muslim 7:122-123; al-Thahawi dalam Musykil al-Atsar 4:368; Ahmad 4:366-367; Ibn Abi ‘Ashim dalam Al-Sunnah 1550-1551; Al-Thabrani melalui jalan Yazid bin Hibban al-Tamimi. Kemudian Ahmad 4:371, Thabrani 5040, Al-Thahawi dari jalan Ali bin Rabi’ah. Ia berkata: Aku ketemu Zaid bin Arqam. Ia sedang menghadap Al-Mukhtar atau baru keluar darinya. Aku bertanya: Apakah kamu mendengar Rasulullah sw bersabda-Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka-Kitab Allah dan keluargaku? Zaid menjawab: Betul! Sanad-sanadnya shahih, rijalnya juga shahih“
Kemudian Al-Albani melakukan takhrij tentang hadis ini dalam berbagai thariq –jalannya. Ia memperkuat hadis al-Tsaqalayn yang ditelitinya dengan syawahid dan mutabi’at, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh ahli hadis. Ia bercerita:
Setelah melakukan takhrij hadis ini untuk waktu yang lama ada orang yang menulis surat kepada saya supaya hijrah dari Damaskus ke Amman; kemudian saya bepergian ke Al-Imarat al-Arabiah pada permulaan tahun 1402 H. Di Qathar saya bertemu dengan para profesor dan para doktor yang baik. Saya diberi hadiah sebuah risalah yang dicetak; risalah itu mendha’ifkan hadis ini (al-tsaqalayn). Setelah membacanya, jelaslah bagi saya bahwa penulis itu memerlukan kemampuan untuk meneliti hadis ini, karena dua alasan:
Pertama, penulis itu melakukan takhrij hanya berdasarkan sumber-sumber yang beredar dan tercetak. Karena itu, ia mengalami kekurangan bahan yang sangat untuk melakukan penelitian hadis. Ia tidak bisa mengakses banyak thuruq dan sanad yang shahih dan hasan. Lebih-lebih kalau dia memperhatikan juga al-syawahid dan al-mutabi’at, sebagaimana yang bisa disaksikan oleh siapa pun pada takhrij yang aku lakukan di sini.
Kedua, penulis itu juga tidak memperhatikan pendapat orang-orang yang menshahihkan hadis dari kalangan ulama. Ia juga tidak memperhatikan qaidah mereka yang mereka sebutkan dalam mushthalah hadits; yaitu, hadis dhaif menjadi kuat karena banyak jalannya. Akhirnya, ia jatuh pada kesalahan fatal –mendhaifkan hadis yang shahih.
Inilah kelalaian yang menimpa banyak orang yang hanya mengikut setiap buku yang membahasnya dan tidak berusaha melakukan penelitian sendiri. Kepada Allah saja kita memohon pertolongan
(Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah 4:355, ketika membahas hadis 1761).
Kedha’ifan hadis ‘Al-Quran dan Sunnahku’.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, yang kamu tidak akan sesat kalau kamu berpegangkepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabinya”. Hadis ini atau yang semakna dengan ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al-Syaikhan – yakni Al-Bukhari dan Muslim, juga tidak oleh satu pun dari Al-Shihah al-Sittah (Enam Kitab Hadis yang Shahih); tidak juga oleh penulis musnad, seperti Musnad Ahmad bin Hanbal. Hadis ini diriwayatkan hanya dalam AlMuwatha’, Mustadrak, Sunan Al-Baihaqi, Sirah Ibn AlHisyam, Riwayat Ibn Abd al-Barr, riwayat Qadhi al-Iyadh.
Dari mereka kemudian Al-Suyuthi dan Al-Muttaqi al-Hindi mengutip hadis itu. Marilah kita perhatikan hadis-hadis itu:
Riwayat Malik
Malik meriwayatkan hadis ini dalam al-Muwatha’ tanpa sanad sama sekali. Ia hanya berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, yang kamu tidak akan sesat kalau kamu berpegangkepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabinya” Siapa pun yang belajar hadis akan mengatakan bahwa hadis semacam ini lemah sekali. Hilang saja satu mata rantai dalam periwayatan hadis, sudah dh’iflah hadis itu. Di sini semua mata rantai hadis hilang!
Ibn Hazm memberikan komentar tentang AlMuwatha’: “Aku hitung hadis-hadis yang termuat dalam Al-Muwatha’. Aku dapatkan lima ratus lebih hadis musnad, tiga ratus lebih mursal, dan tujuh puluh lebih hadis yang Nalik sendiri meninggalkannya dan tidak mengamalkannya. Di dalamnya banyak sekali hadis yang dilemahkan oleh para ulama” (Al-Suyuthi, Tanwir alHawalik-Syarh Muwatha’ Malik, 1:9)
Riwayat Al-Hakim
Dalam Al-Mustadrak, Al-Hakim meriwayatkan hadis ini dari Ibn Abbas melalui Ismail bin Abi Uways. Ismail–keponakan Anas bin Malik-dijarh (dikecam) oleh para ahli jarh. Muawiyyah bin Shalih melaporkan komentar Ibn Ma’in tentang Ismail bin Abi Uways: “Ia dan ayahnya suka mencuri-curi hadis. Ia sering berbohong dalam periwayatan, kacau hafalannya, dan tidak bernilai sama sekali.”
Al-Nasai sangat mencelanya dan bahkan tidak mau meriwayatkan darinya. Ini tentunya karena ia mengetahui cacat dan cela yang ada padanya yang tidak diketahui orang lain. Juga seluruh ulama sepakat bahwa ia lemah. Dar-Quthni berkata: Saya tidak akan memakainya untuk meriwayatkan hadis shahih. Ibn Hazm: Ia suka memalsukan hadis (Lihat Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, 1:271)
Al-Hakim meriwayatkan juga hadis ini dari Abu Hurairah. Dalam sanadnya ada perawi yang sangat lemah, Shalih bin Musa al-Thalhi al-Kufi. Menurut Ibn Ma’in: Ia tidak berharga sedikit pun dan hadisnya tidak pantas ditulis. Imam al-Bukhari berkata: Ia adalah orang yang banyak membawa hadis munkar dari Suhail bin Abi Shalih. Abu Nu’aim berkata: Hadisnya harus dibuang dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar“ (Tahdzib al-Tahdzib 4:354).
Hadis Sunan al-Baihaqi
Dalam Sunannya, al-Baihaqi meriwayatkan hadis ini dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah melalui Ibnu Abi Uwais dan Shalih bin Musa. Kedua orang ini-seperti yang sudah Anda lihat pada hadis AlHakim-dipandang sangat lemah oleh para ahli hadis.
Hadis ini dalam Sirah ibn Hisyam
Seperti dalam AlMuwatha’ Ibn Hisyam meriwayatkan hadis ini tanpa sanad sama sekali. Ia meriwayatkan hadis ini ketika mengutip khotbah Rasulullah saw pada haji Wada’. Ia mengutipnya dari Ibn Ishaq. Para ahli hadis telah menilai Ibn Ishaq sebagai mudallis dan pembohong (Lihat Ibn Sayyid al-Nas, mukadimah Uyun al-Atsar).
Riwayat Ibn Abd al-Barr
Hadis ‘Al-Quran dan Sunnahku’ yang diriwayatkan dalam kitab Ibn Abd alBarr, Al-Tamhid, dengan dua sanad. Salah satunya sama dengan sanad Al-Hakim. Yang lainnya dilaporkan oleh rangkaian perawi hadis yang sangat sangat lemah. Salah seorang di antara nya adalah Katsir bin Abdillah. Menurut Imam Ahmad: Jangan sekali-kali kamu meriwayatkan hadis darinya. Ibn Ma’in berkata: Ia orang yang dha’if. AlDarimi dan Ibn Ma’in juga berkata: Ia orang yang dhaif dalam periwayatan hadis (Lihat Tahdzib al-Tahdzib pada entri “Katsir bin Abdillah”).
Riwayat Qadhi Iyadh
Hadis ‘Al-Quran dan Sunnahku’ diriwayatkan Qadhi Iyadh dengan sanad yang dipenuhi orang-orang dha’if. Di situ ada Syuaib bin Ibrahim, yang disebut oleh Ibn Adiy sebagai “orang yang tidak dikenal” (Lisan al-Mizan 3:145); Aban bin Ishaq al-Asadi, yang menurut Al-Azdi “hadisnya harus dibuang (Tahdzib al-Tahdzib 1:81); Shalih bin Muhammad alAhmashi, yang “tidak ada seorang ulama pun pernah meriwayatkan hadis darinya kecuali al-Turmudzi, yang meriwayatkan hadisnya satu kali saja, dan menganggap riwayatnya gharib” (Tahdzib al-Tahdzib 1:358); dan paling parah dari semuanya di situ ada Sayf bin Umar yang menurut Al-Hakim adalah “orang zindiq dan gugur dalam periwayatan” (Inilah sumber yang meriwayatkan bahwa Syiah dibikin oleh Abdullah bin Saba, lihat Bagian V: Fitnah-fitnah terhadap Syiah)
Riwayat Lainnya
Adapun riwayat Al-Suyuthi dalam Al-Jami’ alShaghir dikutip dari Al-Hakim yang sudah kita ketahui kelemahannya. Riwayat al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummal juga mengikuti riwyat-riwayat terdahulu, yang sudah kita ketahui kedhaifannya.
Kesimpulan
Walhasil, hadis tsaqalayn (dua pusaka: Al-Quran dan Ahlulbaitku) dapat dinilai shahih, sedangkan hadis “Al-Quran dan Sunnahku” memiliki kelemahan pada sanadnya. Syiah mengikuti hadis tsaqalayn yang shahih.
Pertanyaan #07
Hadis Ghadir Khum Dhaif, Padahal Syiah Mengacunya Sebagai Dasar Pengangkatan Imam Ali sa.?
Tuduhan
Hadis Ghadir Khum semuanya dhaif serta hanya diriwayatkan, dan bahkan dibuat-buat, oleh orang Syiah.
Jawaban
Banyak sekali hadis tentang Ghadir Khum dalam kitab-kitab Ahlussunnah. Al-Amini telah mengumpulkan semua hadis Ghadir Khum dan mengulasnya dalam 11 jilid kitabnya yang ensiklopedis –Al-Ghadir. Dari semua hadis Ghadir Khum ini kita dapat menyimpulkan peristiwa Ghadir Khum sebagai berikut:
Hari itu tanggal 18 Dzulhijjah. Nabi Muhammad saw pulang dari haji terakhirnya. Lebih dari seratus ribu orang sahabat menyertai perjalanannya yang suci. Tiba-tiba Sang Nabi saw menyuruh seluruh kafilah berhenti, di sebuah mataair yang dinaungi dengan beberapa pohon besar.
Oase itu bernama Khum. Beliau menyuruh kafilah yang terlambat untuk mempercepat gerakannya; rombongan yang sudah berada di depan diperintahkan balik lagi. Rasulullah saw berhenti di situ karena baru saja Jibril datang menyampaikan ayat:
يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗ وَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗ وَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ - ٦٧Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan Allah kepadamu. Jika tidak Kausampaikan maka engkau belum menyampaikan risalahNya. Allah akan melindungi kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS Al-Maidah 5:67)
Beliau menyuruh orang membersihkan tempat di bawah pepohonan itu. Kemudian azan dikumandangkan. Di tengah sengatan matahari yang terik, ratusan ribu umat manusia rukuk dan sujud di belakang Rasulullah saw. Bagi puluhan ribu orang, itulah salat berjamaah terakhir bersama sang Utusan.
Usai salat Nabi saw menyampaikan khotbahnya: Tampaknya, waktu semakin mendekat saat aku akan dipanggil Allah swt. Aku akan memenuhi panggilan itu. Aku akan tinggalkan dua hal yang berharga dan jika kalian setia kepadanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Dua hal itu adalah Kitab Allah dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai mereka bertemu denganku di telaga.
Nabi saw melanjutkan: “Apakah aku lebih berhak atas orang beriman daripada diri mereka sendiri?”. Orang-orang berseru dan menjawab: “Benar, yaa Rasul Allah saw..”. kemudian Nabi saw mengangkat lengan Ali as dan berseru: “Barang siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpinnya (maulahu), maka ‘Ali adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah, cintailah mereka yang mencintai dia dan musuhi mereka yang memusuhi dia”
Para sahabat berbondong-bondong mengucapkan selamat kepada Imam Ali. Umar bin Khathab menyalami Ali sambil berkata: “Selamat, wahai putra Abi Thalib, engkau telah menjadi mawla mukmin dan mukminat.”
Karena luar biasa banyaknya sumber-sumber Ahlussunnah tentang hadis ini, kita tidak mungkin mencantumkannya di sini. Cukuplah kita perlihatkan di sini beberapa Kitab Tafsir Ahlussunnah yang memuat hadis Ghadir Khum sebagai penjelasan untuk Al-Maidah 67:
- Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani 2:348
- Al-Fakhr al-Razi, 12:50
- Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur 2:298
- Al-Syawkani, Fath al-Qadir 2:60
- Al-Wahidi, Asbab al-Nuzul 115
- Sayyid Rasyid Ridha, Al-Manar 6:463
- Sayyid Shiddiq Hasan Khan, Fath al-Bayan fi Maqashid al-Quran 3:63
Komentar Ahli Hadis
Hadis Ghadir Khum, Hadis Mutawatir.
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan al-Nasai dengan jalan-jalan yang sangat banyak, katsir al-thuruq jiddan. Ibn ‘Uqdah telah mengumpulkan hadis-hadis itu dalam satu kitab. Kebanyakan sanadnya sahih dan hasan (Fath al-Bari 7:74, Kitab Fadhail al-Shahabah, bab Manaqib Ali bin Abi Thalib. Lihat juga bukunya Tahdzib al-Tahdzib 4:204, nomor 5561 tarjamah Ali bin Abi Thalib).
Kitab yang ditunjuk oleh Ibn Hajar adalah Ibn ‘Uqdah, Hadis alWilayah, yang meriwayatkan sekitar 105 rangkain sanad (thariq). Ibn Hajar banyak mengutip hadis dari kitab ini. Keberadaan kitab ini disaksikan bukan hanya oleh Al-Asqalani, tetapi juga oleh ulama besar lainnya seperti antara lain, Ibn Taimiyyah dalam Minhaj al-Sunnah, AlKanzi al-Syafi’I dalam Kifayat al-Thalib, Al-Qanduzi alSyafi’i dalam Yanabi’ al-Mawaddah sampai kepada peneliti hadis mutakhir Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah 4:343.
Selain Hadis al-Wilayah¸Ibn Hajar juga menunjuk Kitab al-Wilayah. Di situ Muhammad Jarir al-Thabari mengumpulkan hadis-hadis Ghadir Khum melalui 75 rangkaian sanad. Ibn Hajar menulis, “Ibn Jarir al-Thabari menulis kitab yang di dalamnya banyak banyak sekali hadis Ghadir Khum dan ia menshahihkannya.” (Tahdzib al-Tahdzib 4:204 5561)
Al-Thabari, penulis tafsir ini, mengumpulkan hadis Ghadir Khum melalui 75 jalan. Kata Ibn Katsir, Al-Thabari mengumpulkan hadis-hadis itu dalam dua jilid yang tebal (Tarikh Ibn Katsir Al-Bidayah wa al-Nihayah 11:158 kejadian tahun 10).
Al-Dzahabi berkata ketika menjelaskan riwayat hidup Ibn Jarir al-Thabari, “Ketika sampai kepadanya kritikan Abu Dawud tentang hadis Ghadir Khum, ia segera menulis kitab tentang Keutamaan Sahabat (Al-Fadhail). Ia menyatakan keshahihan hadis itu. Aku berkata: Aku melihat satu jilid buku Ibn Jarir yang memuat rangkaian sanad hadis (Ghadir Khum). Aku terpesona luar biasa denagn banyaknya rangkaian sanad itu” (Tadzkirat alHuffazh 2:713, nomor 728).
Dalam bukunya yang lain Al-Dzahabi menulis, “Ketika kritik Abu Bakar bin Abu Dawud sampai kepadanya ia segera menulis Kitab Al-Fadhail. Ia memulainya dengan keutamaan Abu Bakar dan Umar, kemudian ia berbicara tentang shahihnya hadis Ghadir Khum beserta alasan-alasan untuk menshahihkannya. Tetapi ia belum menyelesaikan kitabnya.” (Siyar A’lam al-Nubala 14:274) Anehnya, beberapa lembar setelah itu, Al-Dzahabi menulis, “Ia mengumpulkan hadis Ghadir Khum dalam empat jilid. Aku baru melihat setengahnya saja. Aku sangat takjub dengan keluasan (banyak) riwayatnya dan aku meyakini dengan pasti tentang peristiwa itu” (Siyar A’lam al-Nubala 14:277).
Jadi, Ibn Jarir menulis empat jilid buku tentang Ghadir Khum dan itu dikatakannya belum selesai. Al-Qadhi Abu Hanifah al-Nu’man menceritakan sebabnya Ibn Jarir menulis buku itu. Abu Dawud mendhaifkan hadis itu dengan alasan bahwa Imam Ali waktu itu tidak ikut haji bersama Rasulullah saw, karena ia diutus ke Yaman. “Al-Thabari sangat keheranan akan kebodohan orang yang berkata seperti itu. Ia pun kemudian berhujah dengan riwayat yang kuat tentang kedatangan Ali dari Yaman dan bergabung dengan Rasulullah saw di Mekah. Al-Thabari mengemukakan banyak hujah untuk menolak pendapat yang menentang dan menyimpang itu. Pendapat itu tidak pernah dikemukakan oleh ahli hadis. Mereka sudah menegaskan kesahihan dan kekokohan hadis itu” (Syarh al-Akhbar 1:130-136).
Al-Munawi ketika menerangkan hadis “Man kuntu mawlah fa Aliyyun mawlah” dalam Al-Jami’ al-Shaghir berkata: Al-Haitsami berkata: Rijal Ahmad semuanya terpercaya. Pada tempat lain ia berkata: Rijalnya rijal yang shahih. Al-Mushannif berkata: Hadis mutawatir (Faidh alQadir 6:218).
Ali Al-Qari berkata: Walhasil, sesungguhnya hadis Ghadir ini shahih dan tidak diragukan lagi. Bahkan sebagian huffazh menghitungnya sebagai hadis mutawatir. Karena dalam riwayat Ahmad saja terdapat 30 sahabat Nabi saw yang mendengar hadis itu.“ (Mirqat al-Mafatih 10:464, di bawah hadis 6091).
Ibn Syahin menyebutkan sekitar 100 orang sahabat. Ia berkata: Hadis ini kokoh (tsabit). Aku tidak melihat cacatnya sedikit pun. Hanya Alilah yang memperoleh keutamaan ini. Tidak seorang pun yang menandinginya.“ (Syarh Madzahib Ahl al-Sunnah 103, penjelasan hadis 87).
Terakhir kita kutipkan komentar dari Abul Khayr Syamsuddin Muhammad Al-Jazari Al-Syafii (wafat 833H) dari ulama hadis terdahulu dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, ahli hadis mutakhir. Al-Hafizh al-Jazari menyebutkan kemutawatiran hadis ini dalam kitabnya Asna al-Mathalib fi Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib, 48, ketika ia berkata: “dalam riwayat ini hadis itu hasan dan dalam banyak riwayat, hadis ini shahih, mutawatir dari Amiril Mukminin, Ali bin Abi Thalib dan mutawatir juga dari Nabi saw; diriwayatkan oleh kelompok yang sangat banyak sehingga tidak perlu diperhatikan orang-orang yang berusaha mendhaifkan hadis ini di kalangan orangorang yang tidak memiliki pengetahuan ilmu hadis” (Asna al-Mathalib 48).
Setelah melakukan takhrij dan mengulas hadis Ghadir Khum berikut sywahid dan mutabi’atnya, Al-Albani mengkritik orang yang mendhaifkan hadis ini. Salah seorang di antaranya Ibn Taymiyyah. Ia menulis: “Aku melihat Syaikh Ibn Taimiyyah mendhaifkan bagian awal dari hadis ini dan menganggap bagian akhirnya dusta! Menurut pendapatku, ini pendapat yang ekstrem yang timbul karena ketergesa-gesaannya dalam mendhaifkan hadis sebelum mengumpulkan semua thariqnya dan melakukan penelitian yang mendalam terhadapnya” (Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah 4:343).
Catatan
Karena hadis Ghadir Khum ini bukan hanya shahih tetapi juga mutawatir, hadis ini mencapai posisi qathi’y al-wurud. Menurut para ulama, menolak hadis yang seperti ini berarti kufur. Seperti disebutkan di atas, Ibn Taimiyah termasuk yang mendustakan hadis ini. Ibn Hazm al-Andalusi menolak kesahihan hadis ini (Al-Fishal fi al-Milal wa alAhwa wa al-Nihal 4:148). Sebelum mereka, Fakhruddin al-Razi menulis, “Kami tidak menerima kesahihan hadis ini…(pertama) karena Al-Bukhari, Muslim, Al-Waqidi, Ibn Ishaq, Abu Dawud, Abu Hatim dan para imam ahli hadis lainnya mencela hadis ini…dan (kedua) karena Ali tidak beserta Nabi saw waktu itu. Ia sedang berada di Yaman.” (Nihayat al-‘Uqul pembahasan tentang imamah, lembar 326).
Sesudah mereka, pada abad kita sekarang ini, Mushthafa al-Siba’i menulis, “Hadis Ghadir Khum yang telah menjadi tonggak mazhab-mazhab Syiah semuanya dan fundamen utama yang di atasnya didirikan semua pemikiran mereka… menurut Ahlussunnah adalah hadis yang dusta dan tidak ada dasarnya, karena Syiah ekstrem menggunakannya untuk membenarkan serangan mereka dan kejahatan mereka terhadap sahabat Rasul saw” (AlSunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami 132).
Kesimpulan
Dari ucapan Al-Siba’i ini tampak bahwa fanatisme mazhablah yang menyebabkan mereka bersikukuh untuk menolak hadis Ghadir Khum. Betapa pun banyak jalannya dan betapa pun shahih para periwayat hadisnya. Abu Ishaq al-Huwaini al-Atsari yang mentahqiq kitab Khashaish Amir al-Mu’minin, susunan Al-Nasai, dalam hamisy untuk hadis #85 menulis, “Peringatan: Hadis-man kuntu mawlah fa hadza ‘Aliyyun mawlah-hadis sahih seperti yang Anda ketahui. Pendapat Ibn Taimiyyah bahwa hadis ini bohong semata menyalahi semua kaidah hadis. Lalu Ustadz Muhammad Khalil al-Harras mengikuti Ibn Taimiyyah dan mengatakan dalam ta’liqnya pada Al-Tawhid dari Ibn Khuzaimah dengan perkataan yang begitu pasti, “Hadis ini tidak sahih dan tampaknya dibuat-buat oleh orang Syi’ah”.
Wallah al-Musta’ân!
Pertanyaan #08
Syiah Mengkafirkan Semua Sahabat Nabi saw?
Tuduhan
Syiah mengkafirkan semua sahabat Nabi saw, padahal mereka adalah generasi terbaik dalam Islam. Para sahabat semuanya baik dan tidak pernah berbuat salah.
Jawaban
Syiah tidak pernah mengkafirkan semua sahabat Nabi saw, seperti kaum Khawarij. Tetapi Syiah juga tidak memaksumkan semua sahabat Nabi saw (menganggap semua sahabat Nabi saw tidak pernah salah) seperti Ahlussunnah. Syiah mengambil jalan tengah; yakni, melihat sahabat dengan kritis. Sahabat itu berbeda-beda dalam kualitas pengetahuan, keimanan, dan akhlak. Ada di antara sahabat yang memiliki pengetahuan Islam yang sempurna dan terjaga dari dosa dan kesalahan. Ada juga di antara sahabat yang kurang pengetahuan, baru masuk Islam saja dan iman belum masuk ke dalam hatinya, atau berbuat dosa.
Menurut Ibn Abd al-Barr, “Telah ditetapkan dengan teguh tentang ‘adalah semua sahabat” (Muqaddimah AlIsti’ab). Ibn Hajar al-Asqalani berkata, “Sepakat semua Ahlussunnah bahwa semua sahabat itu memiliki sifat ‘adalah (adul). Tidak menentang hal demikian kecuali orang-orang yang menyimpang dan ahli bid’ah” (AlIshabah fi Tamyiz al-Shabah 1:17-22).
Menganggap semua sahabat itu ‘udul berarti tidak memasukkan mereka dalam timbangan kritis. Ibn al-Atsir berkata, “Sahabat harus diperlakukan sama dengan para perawi hadis lainnya kecuali dalam satu hal; yakni, tidak boleh dikenakan jarh dan ta’dil. Karena mereka semuanya ’udul. Tidak boleh dijarh (dikritik)” (Ibn Al-Atsir, Usud al-Ghabah 1:3).
Al-Razi, yang mendapat gelar Imam al-Jarh wa alTa’dil, menjelaskan ‘adalah sahabat sebagai berikut:
Adapun para sahabat Nabi saw adalah orang-orang yang menyaksikan wahyu dan turunnya, mengetahui tafsir dan takwilnya, yang dipilih Allah untuk menyertai Nabinya, menolongnya, menegakkan agamanya, dan menampakkan kebenarannya. Allah meridai mereka sebagai sahabatnya dan menjadikan mereka sumber ilmu dan teladan. Mereka menghafal dari Nabi saw apa yang disampaikannya dari Allah swt-apa yang disunatkan, disyariatkan, ditetapkan sebagai hukum, dianjurkan, diperintahkan, dilarang, diperingatkan dan diajarkan Nabi saw. Mereka menjaganya, meyakininya, kemudian memahaminya dalam agama dan mengetahui perintah Allah, larangannya, maksudnya dengan disaksikan langsung oleh Rasulullah saw.
Dari Nabi saw mereka menyaksikan tafsir Al-Kitab dan takwilnya. Mereka mengambil dari Nabi saw dan menarik kesimpulan daripadanya. Maka Allah pun memuliakan mereka dengan anugrahNya dan meninggikannya dalam posisi teladan. Karena itu Allah menafikan (menghilangkan) dari mereka keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan, dan kecaman. Allah menyebut mereka ‘adul al-ummah… Mereka menjadi umat yang paling adil, imam-imam petunjuk, hujah agama, dan teladan (pengamalan) Al-Kitab dan Sunnah
(Abdur Rahman bin Abi Hatim alRazi, Taqdimah al-Ma’rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil 7-9).
Menurut Syiah, menganggap semua sahabat ‘udul bertentangan dengan:
- Al-Qur’an
- Sunnah Nabi saw
- Fakta sejarah
Walhasil, menganggap semua sahabat adil bertentangan dengan akal sehat.
‘Adalah (keadilan) semua sahabat (secara keseluruhan) bertentangan dengan Al-Quran.
Bagaimana Al-Quran menilai sahabat Nabi saw dapat disimpulkan dari beberapa hal berikut:
-
Al-Quran melarang kita untuk menyamakan semua sahabat Nabi saw pada tingkat yang sama. Al-Quran menegaskan,
وَمَا لَكُمْ اَلَّا تُنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلِلّٰهِ مِيْرَاثُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ لَا يَسْتَوِيْ مِنْكُمْ مَّنْ اَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِيْنَ اَنْفَقُوْا مِنْۢ بَعْدُ وَقَاتَلُوْاۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ࣖ - ١٠Tidak sama di antara kamu orang yang menginfakkan hartanya sebelum Kemenangan (Al-Fath) dan berperang. Mereka lebih agung derajatnya dari orang-orang yang menginfakkan hartanya sesudah itu dan berperang. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hadid 57:10).
Artinya, tidak boleh kita menyamakan sahabat yang masuk Islam sebelum Al-Fath seperti Imam Ali dengan sahabat yang masuk Islam sesudah kemenangan Mekah seperti Muawiyyah.
لَا يَسْتَوِى الْقَاعِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ اُولِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ فَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ دَرَجَةً ۗ وَكُلًّا وَّعَدَ اللّٰهُ الْحُسْنٰىۗ وَفَضَّلَ اللّٰهُ الْمُجٰهِدِيْنَ عَلَى الْقٰعِدِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًاۙ - ٩٥Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang jihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar (QS Al-Nisa 4:95).Walhasil, kita tidak boleh memandang sama para sahabat yang berjuang dengan para sahabat yang hanya “duduk-duduk” saja. Di dalam Al-Quran ada banyak ayat yang mengecam sahabat-sahabat Nabi saw.
-
Sebuah surat turun khusus untuk membongkar dan mengecam para sahabat Nabi saw. Kita menyebutnya Surat al-Tawbah. Ibnu Abbas menyebut surat ini dengan Al-Fadhihah (artinya yang membongkar kesalahan atau keburukan), karena “tidak henti-hentinya turun wa minhum: sehingga kami mengira tidak akan tersisa di antara kami yang tidak disebut di dalamnya”. Ibnu ‘Umar menyebut surat ini Al-Muqasyqisyah – yang menyapu habis. “Di zaman Nabi saw, surat al-Baraah ini kami sebut surat Al-Mu’abbirah – yang mengungkapkan, karena surat ini membeberkan rahasia orang banyak,” kata Muhamad bin Ishaq. Ibn ‘Umayr menyebutnya Al-Munaqqirah, membongkar kesalahan (Al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur 119-121).
Seorang demi seorang sahabat Nabi saw dikecam al-Qur’an karena kesalahannya. Ada yang berat ikut berperang bersama Nabi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَا لَكُمْ اِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اثَّاقَلْتُمْ اِلَى الْاَرْضِۗ اَرَضِيْتُمْ بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا مِنَ الْاٰخِرَةِۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا قَلِيْلٌ - ٣٨Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kamu, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (QS Al-Tawbah 9:38)
Ada yang berdalih takut tergoda perempuan Romawi yang cantik dan jatuh pada fitnah:
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ ائْذَنْ لِّيْ وَلَا تَفْتِنِّيْۗ اَلَا فِى الْفِتْنَةِ سَقَطُوْاۗ وَاِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيْطَةٌ ۢ بِالْكٰفِرِيْنَ - ٤٩Dan di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah aku izin (tidak pergi berperang) dan janganlah engkau (Muhammad) menjadikan aku terjerumus ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sungguh, Jahanam meliputi orang-orang yang kafir. (QS Al-Tawbah 9:49)
Ada yang berat karena jarak yang terlalu jauh:
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيْبًا وَّسَفَرًا قَاصِدًا لَّاتَّبَعُوْكَ وَلٰكِنْۢ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُۗ وَسَيَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْۚ يُهْلِكُوْنَ اَنْفُسَهُمْۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ ࣖ - ٤٢Sekiranya (yang kamu serukan kepada mereka) ada keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, niscaya mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu terasa sangat jauh bagi mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jikalau kami sanggup niscaya kami berangkat bersamamu.” Mereka membinasakan diri sendiri dan Allah mengetahui bahwa mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (QS Al-Tawbah 9:42).
Ada yang mencela Nabi dalam pembagian zakat:
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِى ٱلصَّدَقَـٰتِ فَإِنْ أُعْطُوا۟ مِنْهَا رَضُوا۟ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا۟ مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ - ٥٨Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah (zakat); jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi bagian, tiba-tiba mereka marah. (QS Al-Tawbah 9:58).Surat Al-Tawbah terutama sekali mengecam orang-orang yang tidak mau berjihad dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.
-
Dalam perang Uhud, sebagian pasukan muslim tidak patuh kepada perintah Rasul saw, sehingga kekacauan kaum Muslim makin menjadi-jadi, setelah serbuan pasukan berkuda Khalid bin Walid. Kebanyakan dari pasukan Muslim lari meninggalkan Nabi saw, di tengah-tengah musuh yang penuh dendam kesumat, yang bersemangat menuntut balas kematian keluarga mereka di Badr. Pasukan Muslim itu lari tunggang langgang, mendaki bukit tak menghiraukan apapun. Padahal Nabi saw, menyeru mereka berulang-ulang agar mereka kembali, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an:
۞ اِذْ تُصْعِدُوْنَ وَلَا تَلْوٗنَ عَلٰٓى اَحَدٍ وَّالرَّسُوْلُ يَدْعُوْكُمْ فِيْٓ اُخْرٰىكُمْ فَاَثَابَكُمْ غَمًّا ۢبِغَمٍّ لِّكَيْلَا تَحْزَنُوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا مَآ اَصَابَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ - ١٥٣(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada siapa pun, sedang Rasul (Muhammad) yang berada di antara (kawan-kawan)mu yang lain memanggil kamu (kelompok yang lari), karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan demi kesedihan, agar kamu tidak bersedih hati (lagi) terhadap apa yang luput dari kamu dan terhadap apa yang menimpamu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran 3:153)
Hanya sekelompok kecil, yaitu sekitar 14 orang saja yang masih tetap tinggal bersama nabi saw. Pembawa panji mereka adalah Ali bin Abi Thalib. Orang pertama yang memegang bendera kaum Muslim adalah Mush’ab bin ‘Umair. Namun setelah gugur sebagai syahid, ‘Ali-lah yang kemudian menggantikannya, dan ia tetap menyandangnya sampai saat peperangan berakhir (Tarikh Ibn Atsir dan lainnya)
Sekelompok besar dari pasukan kaum Muslim, telah lari dari medan perang dan tinggal di desa Ahwa selama tiga hari. Kemudian, ketika mereka menghadap Nabi saw setelah itu, beliau bersabda: “Sungguh kalian telah berbuat keterlaluan”
-
Last but not least, simaklah Surat al Jumu’ah:
وَاِذَا رَاَوْا تِجَارَةً اَوْ لَهْوًا ۨانْفَضُّوْٓا اِلَيْهَا وَتَرَكُوْكَ قَاۤىِٕمًاۗ قُلْ مَا عِنْدَ اللّٰهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِۗ وَاللّٰهُ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ ࣖ - ١١Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan," dan Allah pemberi rezeki yang terbaik. (QS Al-Jumu'ah 62:11).Ayat ini menceritakan banyaknya para sahabat yang meninggalkan Rasulullah saw ketika berkhotbah Jum’at karena ada orang yang berjualan di luar masjid: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang disisi Allah adalah lebih baik dari pada permainan dan peniagaan” dan Allah sebaik-baiknya pemberi rizki“. Menurut Jabir, semuanya pergi “kecuali dua belas orang lelaki saja” (Shahih al-Bukhari hadis 1953; Muslim 6:150)
Bandingkanlah mereka dengan kita sekarang ini? Mereka sedang mengikuti khuthbah Jumah. Yang berkhotbah bukan manusia biasa tapi Sayyidul Anam. Hanya karena ada perdagangan dan hiburan mereka meninggalkan masjid, mengabaikan khathib, dan berbondong-bondong mendatangi tempat hiburan. Mungkinkah kita melakukannya sekarang, sekiranya Rasulullah saw berkhotbah di depan kita?
‘Adalah (keadilan) semua sahabat (secara keseluruhan) bertentangan dengan Sunnah.
Di bawah ini diturunkan pernyataan Nabi saw berkenaan dengan para sahabatnya. Sebelumnya, marilah kita perhatikan pernyataan Tuhan tentang kebanyakan sahabat Nabi saw:
Mereka (orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), sekiranya Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi. (QS Al-Tawbah 9:74).
Diriwayatkan dari Al-Musayyab bahwa dia bertemu dengan Al-Barra bin Azib dan berkata kepadanya: Semoga engkau hidup sejahtera. Engkau beruntung karena menjadi sahabat Nabi saw dan berbaiat kepadanya di bawah pohon (Al-Hudaybiyah). Mengenai hal ini, Al-Barra berkata: Wahai keponakanku, engkau tidak tahu bahwa kami telah mengubah-ubah agama sepeninggalnya (Shahih al-Bukhari 5:488).
Nabi saw bersabda, “Aku adalah pendahulu kalian di telaga Al-Kawtsar. Dan barangsiapa melewatinya, ia akan minum air dari telaga itu. Kemudian akan datang kepadaku orang-orang yang aku kenal dan mereka mengenaliku. Tetapi sebuah penghalang akan diletakkan di antara aku dan mereka. Aku akan berkata, Mereka sahabat-sahabatku. Kemudian dikatakan kepadaku: Engkau tidak tahu mereka telah mengubah-ubah agama sepeninggalmu. Aku berkata: Jauhkanlah, jauhkanlah orang-orang yang berpaling dari agamanya sesudahku (Shahih al-Bukhari 8:585).
Masih dalam Shahih al-Bukhari, diriwayatkan ketika Rasulullah saw mengatakan, “Tuhanku, mereka itu sahabat-sahabatku”, dikatakan kepada beliau: kamu tidak tahu bahwa mereka tidak henti-hentinya murtad meninggalkan agama mereka –lam yazâlu murtaddîn ‘alâ a’qâbihim (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq, hadis 6161; lihat juga Muslim 17:94). “Sepeninggalmu, mereka murtad dari agama semurtadmurtadnya. Tidak selamat kecuali, sekelompok kecil saja” (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Riqaq 6215).
’Adalah (keadilan) semua sahabat (secara keseluruhan) bertentangan dengan fakta sejarah
Di bawah ini ada sebagian kecil dari perilaku para sahabat yang menentang Nabi saw baik pada waktu beliau hidup maupun sesudah beliau wafat.
Penentangan sebagian sahabat pada waktu Rasulullah saw masih hidup:
- Usai perang Badar, Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk membebaskan tawanan-tawanan perang sebagai tebusan dalam membayar fidyah, tetapi para sahabat ini tidak melakukannya;
- Pada perang Tabuk, Nabi Muhammad saw memerintahkan mereka menyembelih unta untuk menyelamatkan nyawa mereka, tetapi beberapa sahabat menentangnya.
- Pada peristiwa Perjanjian Hudaybiyah, Nabi bermaksud berdamai dnegan orang-orang Mekah, tetapi sahabat-sahabat yang sama menentangnya. Bahkan mereka meragukan kenabian Nabi Muhammad saw.
- Pada perang Hunayn, mereka menuduh Nabi Muhammad saw tidak adil dalam membagi-bagikan harta pampasan perang.
- Ketika Usamah bin Zaid diangkat Nabi Muhammad saw menjadi pemimpin pasukan perang Islam, sahabat-sahabat ini tidak menaati Nabi dengan tidak mengikutinya.
- Pada hari Kamis yang sangat tragis, Nabi saw ingin mengungkapkan wasiatnya akan tetapi sahabat-sahabat yang sama menuduh Nabi tengah meracau dan ia mencegah Nabi mengungkapkan keinginannya (Ontologi Islam, 348-349)
Penentangan sahabat pasca Rasulullah saw. Siapa pun yang belajar sejarah tahu bahwa bukan saja ada saling mengecam di antara para sahabat, bahkan ada konflik yang menyebabkan jatuhnya banyak korban:
-
Aisyah, Thalhah, Zubayr dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Utsman. Dengan begitu, mereka menentang wasiat Nabi saw pada khotbah terakhirnya, “Janganlah kalian kafir setelah aku tiada dan saling membunuh. Wajib bagi setiap yang hadir untuk menyampaikan pesanku ini kepada orang-orang yang tidak hadir “ (Shahih al-Bukhari 7:458, hadis 5688).
-
Muawiyah, yang digambarkan oleh penulis Ahlussunnah sebagai penulis wahyu, disifatkan oleh Hasan al-Bashri sebagai berikut:
Muawiyah memiliki empat cacat dan salah satunya saja adalah pembangkangan yang sangat keras:
- penunjukan seorang pengacau masyarakat tanpa musyawarah dengan orang banyak padahal di situ ada sahabat yang memiliki keutamaan di atas mereka;
- pengangkatan anaknya sebagai penggantinya, padahalanaknya itu seorang pemabuk, peminum, orang yang suka mengenakan sutra dan suka bermain-main dengan anjing dan kera;
- pengakuan bahwa Ziyad adalah anaknya, padahal Nabi saw bersabda, “Anak itu dinisbahkan kepada ayahnya yang menikah resmi dengan ibunya, dan orang yang berzinah haris dirajam;
- pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hujur dan para sahabatnya. Terkutuklah dia berkali-kali yang membunuh Hujur dan sahabatnya
(Tarikh Ibn Atsir 3:242; Tarikh ibn Katsir 8:130; Abul A’la al-Mawdudi, AlKhilafah wal Mulk 165-166)
-
Abu Sofyan, ayah Muawiyah, adalah juga salah seorang sahabat Nabi saw. Ketika Utsman berkuasa, sebagai keluarga khalifah ia memberi nasihat, “Peganglah kekuasaan erat-erat seperti kamu memegang bola. Demi yang namanya dijadikan sumpah Abu Sofyan, aku tidak percaya ada surga, neraka, perhitungan, atau siksaan.”
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, ia datang menemui Ali: “Telah berkuasa sekarang keluarga Quraisy yang paling rendah. Demi Allah, untuk melawan dia aku akan penuhi pasukanku dengan kuda dan prajurit”. Ali as berkata kepadanya: “Tidak henti-hentinya engkau memusuhi Islam dan keluarganya. Tetapi tindakanmu itu tidak akan merusak Islam dan ahlinya sedikit pun” (Al-Isti’ab, hamisy Al-Ishabah 2:245).
Terakhir, di antara para sahabat Nabi saw ada Khalid al-Walid, yang membunuh Malik bin Nuwairah siang hari dan menikahi istrinya malam hari. Ada Marwan bin Hakam dan ayahnya yang diusir Rasulullah saw dari Madinah kemudian kembali dan menjadi sekertaris negara di zaman Utsman bin Affan. Ada ‘Amr bin Ash yang membunuh Muhammad bin Abu Bakar, memasukkannya ke dalam perut bangkai dan membakarnya. Ada yang lain-lain yang tidak mungkin disebutkan nama-namanya satu persatu (Yang tertarik untuk mempelajari perilaku sahabat lebih lanjut dapat merujuk kepada Dr Muhammad Zain yang menulis disertasi dengan judul “Dekonstruksi Sakralitas Sahabat Nabi”).
Kesimpulan
Secara akal sehat dan ilmiah, pandangan bahwa semua anggota komunitas memiliki kecerdasan yang sama, berkahlak baik, berlaku jujur, pendeknya terpelihara dari kesalahan dan dosa, sangat sulit diterima. Secara statistik, sebaran nilai pada satu populasi selalu berbentuk kurva bel. Yang paling baik selalu sedikit. Begitu pula yang paling buruk selalu sedikit. Sekiranya semua sahabat itu baik, tidak mungkin terjadi tragedi-tragedi sejarah yang memilukan. Mesti ada kriteria yang membedakan yang benar dari yang salah. Paling tidak, kriteria itu adalah akal sehat kita.
Pertanyaan #09
Syiah Melaknat Sahabat Nabi saw?
Tuduhan
Orang Syiah kafir karena mereka melaknat sahabat
Jawaban
Syiah tidak melaknat siapa pun kecuali yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya.
Baik dalam Al-Quran maupun Sunnah ada orang-orang yang dilaknat Allah dan RasulNya. Jika kita berakhlak dengan akhlak Al-Quran, jika kita meniru Rasulullh saw sebagai teladan kita, kita pun harus melaknat siapa pun yang dilaknat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Orang-orang yang dilaknat dalam Al-Quran.
Di bawah ini adalah daftar orang-orang yang dilaknat Allah dalam Al-Quran:
-
Iblis
وَّاِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِيْٓ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ - ٧٨Dan sungguh, kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan. (QS Shad 38:78) -
Kaum kafir
اِنَّ اللّٰهَ لَعَنَ الْكٰفِرِيْنَ وَاَعَدَّ لَهُمْ سَعِيْرًاۙ - ٦٤Sungguh, Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka) (QS Al-Ahzab 33:64) -
Orang Yahudi dan Nasrani yang menentang Rasul mereka
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْۢ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَلٰى لِسَانِ دَاوٗدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۗذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ - ٧٨Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS Al-Maidah 5:78) -
Para pendusta atau tukang fitnah
وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ - ٧Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta. (QS Al-Nur 24:7) -
Orang-orang zalim
وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًاۗ اُولٰۤىِٕكَ يُعْرَضُوْنَ عَلٰى رَبِّهِمْ وَيَقُوْلُ الْاَشْهَادُ هٰٓؤُلَاۤءِ الَّذِيْنَ كَذَبُوْا عَلٰى رَبِّهِمْۚ اَلَا لَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ ۙ - ١٨Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan suatu kebohongan terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata, "Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka." Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim (QS Hud 11:18) -
Orang-orang yang menyakiti Allah dan RasulNya
اِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَاَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِيْنًا - ٥٧Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka. (QS Al-Ahzab 33:57) -
Orang-orang yang menyakiti orang-orang beriman
وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا ࣖ - ٥٨Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS Al-Ahzab 33:58) -
Orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ - ٢٣Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar (QS Al-Nur 24:23) -
Orang yang membunuh yang tidak bersalah:
وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا - ٩٣Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS Al-Nisa 4:93) -
Orang-orang munafik
وَعَدَ اللّٰهُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْمُنٰفِقٰتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ هِيَ حَسْبُهُمْ ۚوَلَعَنَهُمُ اللّٰهُ ۚوَلَهُمْ عَذَابٌ مُّقِيْمٌۙ - ٦٨Allah menjanjikan (mengancam) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Cukuplah (neraka) itu bagi mereka. Allah melaknat mereka; dan mereka mendapat azab yang kekal (QS Al-Tawbah 9:68) -
Orang-orang yang berbuat kerusakan dan memutuskan persaudaraan
فَهَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ اَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَتُقَطِّعُوْٓا اَرْحَامَكُمْ - ٢٢اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فَاَصَمَّهُمْ وَاَعْمٰٓى اَبْصَارَهُمْ - ٢٣Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. (QS Muhammad 47:22-23)
Siapa saja yang termasuk ke dalam kategori di atas – sahabat atau bukan sahabat – harus kita laknat sebagaimana Allah melaknatnya. Bolehkah kita melaknat Yazid yang menyakiti hati Nabi saw dengan membunuh cucunya dan berbuat kerusakan di bumi? Bolehkah kita melaknat sahabat-sahabat yang menyakiti Sayyidah Fathimah, karena menyakitinya sama dengan menyakiti Rasulullah saw?
Orang-orang yang dilaknat dalam Sunnah Rasulullah saw.
Rasulullah saw memberikan contoh dua macam melaknat:
- Melaknat secara umum terhadap orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tertentu; dalam kelompok ini ada sekitar 300 hadis (Lihat entri “al-la’n” dalam ensiklopedi hadis Mawsu’at Athraf al-Hadits al-Nabawi, 6:594-606)
- melaknat secara khusus nama-nama tertentu, seperti yang beliau ucapkan dalam salah satu doa qunutnya.
Di bawah ini diberikan beberapa contoh sahabat-sahabat yang dilaknat Nabi saw:
- Dalam menjelaskan QS Al-Isra 17:60 _“Dan kami tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia (dan begitu pula) pohon kayu terkutuk dalam Al-Quran…”) para mufasirin menjelaskan bahwa al-syajarah al-mal’unah atau pohon kayu terkutuk adalah anak-cucu Marwan yang tampak dalam mimpi Rasulullah saw sebagai kera. Mereka mengerubungi mimbar Rasulullah saw. Setelah mimpi itu Rasulullah saw tidak pernah lagi tersenyum sampai akhir hayatnya (Al-Tafsir al-Kabir 20:237; Al-Jami’ li Ahkam alQuran 10:281-286; Ruh al-Ma’ani 15:105).
- Aisyah pernah berkata kepada Marwan: Aku bersaksi bahwa Rasulullah saw melaknat ayahmu dan kamu ketika masih berada di sulbinya. Al-Hakam pernah diasingkan Nabi saw ke daerah di dekat Thaif dan dilarang masuk ke Madinah. Ketika Rasulullah saw wafat, Utsman memohon agar Abu Bakar mengembalikan dia, tetapi Abu Bakar menolaknya. Kembali Utsman memohon Umar untuk memasukkannya ke Madinah, tetapi Umar menolaknya. Ketika Utsman menjadi khalifah, ia menyambutnya dengan segala kemuliaan dan kehormatan. Utsman memberinya hadiah 1000 dirham dan mengangkat anaknya sebagai orang kepercayaannya (Al-Fakh al-Razi menggunakan hadis Aisyah ini untuk menjadi dalil bahwa syajarah mal’unah itu adalah Marwan dan keturunannya) (Lihat Al-Mustadrak ala al-Shahihayn, 4:481; al-Durr al-Mantsur 4:191; Siyar A’lam al-Nubala 2:80).
- Dari al-Barra bin ‘Azib: Muncullah Abu Sufyan dan bersamanya Muawiyah. Rasululah saw bersabda: Ya Allah laknatlah yang mengikuti dan yang diikuti. Ya Allah, aku serahkan kepadamu al-Uqay’as (si terbelakang). Anak AlBarra bertanya kepada bapaknya: Siapa al-Uqay’as? AlBarra menjawab: Muawiyah (Al-Nihayah fi Gharaib alhadits wa al-Atsar 4:87-88; Waq’at Shiffin 217)
Kesimpulan
Walhasil, Syiah melaknat mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Syiah tidak melaknat siapa pun selain itu.
Pertanyaan
Syiah Musyrik: Syiah yakin Ishmah Para Imam?
Tuduhan
Orang Syiah musyrik karena mempercayai Ishmah, yaitu kemaksuman atau kesucian para Imam mereka. Para Imam mereka terbebas dari dosa dan kesalahan.
Jawaban
Ishmah adalah keterpeliharaan dari dosa dan kesalahan. Dari segi makna, ishmah sama dengan ‘adalah (keadilan). Jika Ahlussunnah menerapkan ‘adalah kepada semua sahabat Nabi saw, Syiah hanya menertapkan ‘ishmah kepada empat belas manusia suci – yakni Rasuullah saw, Fathimah, Ali, Al-Hasan, Al-Husayn dan sembilan orang Imam dari keturunan al-Husayn. Mereka itu secara keseluruhan disebut Ahlulbait.
Di antara dalil-dalil tentang ishmah para Imam dicantumkan di bawah ini:
Ayat al-Tathhir
(Lihat: #01 Syiah tidak berdasarkan Al-Qur’an? )
Ayat ini dengan jelas mensucikan Ahlulbait sesuci-sucinya. Dalam berbagai hadis ditunjukkan dengan jelas siapa yang dimaksud dengan Ahlulbait itu. Dalam hadis juga disebutkan bahwa Asl-Quran dan Ahlul Bait tidak akan berpisah. Keduanya adalah dua pusaka yang kalau kita berpegang teguh kepadanya kita selamat. Ini adalah jaminan Tuhan bahwa yang kita ikuti itu terpelihara dari segala kekeliruan dan kesalahan.
Ayat Ulil Amr
Allah swt berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Al-Nisa 59).
Imam ’Ali bertanya kepada Rasulullah saw ketika turun ayat ini: Ya Nabi Allah, siapakah mereka itu? Nabi saw bersabda: Engkau yang pertama.
Dari Mujahid: (wa ulil amr minkum) Ali bin Abi Thalib ditunjuk menjadi ulil amr setelah Muhammad saw dalam hidupnya, ketika Rasulullah saw mengangkatnya sebagai penggantinya di Madinah. Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mentaatinya dan tidak menentangnya
Dari Abu Bashir, dari Abu Ja’far, bertanya tentang firman Allah “…taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amr di antara kamu”, Ia menjawab: turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Aku bertanya lagi: Mengapa Allah tidak menyebut Ali dan Ahlibaitnya dalam kitab-Nya. Abu Ja’far berkata: katakan kepada mereka, sesungguhnya Allah menurunkan kepada RasulNya salat dan tidak menyebutnya tiga atau empat sampai Rasulullah saw menafsirkannya. Dia turunkan ayat Haji dan tidak menyebutkan tawaf tujuh kali sampai Rasulullah saw menafsirkannya. Dia menurunkan ayat “ taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amr di antara kamu?“ maka turunlah ayat ini berkenaan dengan Ali, Al-Hasan dan al-Husayn. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Aku wasiatkan kamu dengan Kitab Allah dan Ahlulbaitku. Aku telah bermohon kepada Allah agar keduanya tidak berpisah sampai menemui aku di telaga al-Hawdh. Allah memenuhi doaku (Al-Hakim al-Haskani, Syawahid alTanzil liqawa’id al-Tafdhil, 1:148-150).
Apa hubungannya antara Ulil Amr dengan kemaksuman? Al-Fakhr al-Razi menulis, “Sesungguhnya Allah swt memerintahkan ketaatan kepada Ulil Amri dengan sangat tegas (‘ala sabil al-jazmi) dalam ayat ini. Barang siapa yang diperintahkan Allah swt untuk ditaati dengan sangat pasti, tidak bisa tidak ia harus maksum atau terpelihara dari segala kesalahan dan dosa. Jika ia tidak maksum dari kesalahan, kita bisa memperkirakan bahwa ia akan mungkin memerintahkan yang salah. Dengan begitu salahlah yang memerintahkan. Sudah terbukti, bahwa Allah swt memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amr secara sangat tegas karena itu terbuktilah bahwa semua orang yang wajib ditaati berdasarkan perintah Allah swt yang tegas wajib terpelihara dari segala kesalahan. Dengan begitu bisa kita tetapkan dengan pasti bahwa Ulil Amri yang disebutkan dalam ayat ini tidak bisa tidak harus maksum” (Al-Tafsir Al-Kabir,10:144)
Kesimpulan
Walhasil, kemaksuman (’ishmah) para Imam dari Ahlulbait Nabi saw merupakan keniscayaan dari perintah Allah swt dalam Al-Qur’an untuk mentaati mereka sebagai Ulil Amri.
Pertanyaan #11
Aqidah Syiah Berbeda dari Islam Karena Percaya Imamah?
Tuduhan
Orang Syiah mempunyai aqidah yang berbeda dengan kaum muslimin yang lain, karena kepercayaannya pada Imamah. Mereka menganggap Imamah bagian dari Aqidah tanpa dasar dari Al-Quran dan Sunnah.
Jawaban
Memang benar, Syiah memasukkan Imamah sebagai bagian dari Aqidah, bukan furu’ (cabang). Tetapi bila kita memperhatikan ayat-ayat berikut ini dan hadis-hadis di dalam kitab-kitab Ahlussunnah, kita akan mendapat kesan bahwa di kalangan Ahlussunnah pun Imamah itu termasuk aqidah.
Ayat Al-Quran tentang Imamah
Menurut Al-Quran, manusia dapat dikelompokkan berdasarkan imamnya dan akan dipanggil pada hari kiamat berdasarkan imamnya. Ada imam yang memberikan petunjuk dan ada imam yang memimpin kekafiran.
Perhatikan ayat-ayat berikut ini:
-
Al-Isra 17:71
يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ فَمَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ يَقْرَءُوْنَ كِتٰبَهُمْ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا - ٧١(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya (Imamnya); dan barang siapa diberikan catatan amalnya di tangan kanannya mereka akan membaca catatannya (dengan baik), dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun. (QS Al-Isra 17:71)
-
At-Tawbah 9:12
وَاِنْ نَّكَثُوْٓا اَيْمَانَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ فَقَاتِلُوْٓا اَىِٕمَّةَ الْكُفْرِۙ اِنَّهُمْ لَآ اَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُوْنَ - ١٢Dan jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin (aimmah) kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti. (QS At-Tawbah 9:12)
-
Al-Baqarah 2:124
۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ - ١٢٤Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin (Imam) bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
-
Al-Anbiya 21:73
وَجَعَلْنٰهُمْ اَىِٕمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرٰتِ وَاِقَامَ الصَّلٰوةِ وَاِيْتَاۤءَ الزَّكٰوةِۚ وَكَانُوْا لَنَا عٰبِدِيْنَ ۙ - ٧٣Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah. (QS Al-Anbiya 21:73)
Hadis: “yang tidak mengenal Imam mati jahiliah”
Banyak sekali hadis dari kalangan Ahlisunnah dan sangat masyhur yang meriwayatkan Nabi saw bersabda (dengan redaksi yang berubah-ubah sedikit): “Barangsiapa yang mati dan tidak ada imam baginya, atau tidak mengenal imam zamannya, ia mati jahiliah” Mati jahiliah berarti mati tidak dalam keadaan Islam. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai Imam atau tidak mengenal imam zamannya, ia dipisahkan dari kaum muslimin yang berimam.
Kesimpulan
Walhasil, dari beberapa Ayat Al-Qur’an, serta berdasarkan hadis dari kalangan Ahlussunah tersebut di atas, Imamah bagian dari aqidah juga.
Pertanyaan #12
Syiah Mengkultuskan Imam Ali?
Tuduhan
Orang Syiah lebih mengutamakan Imam Ali daripada Rasulullah saw.
Jawaban
Syiah tidak mengutamakan Ali di atas Rasulullah saw sama sekali.
Orang Syiah menggelari Imam Ali sebagai “dia yang merajut sandal Rasulullah saw”. Merajut sandalnya saja sudah menjadi kehormatan yang besar bagi Imam Ali dan bagi semua pengikutnya. Tetapi orang Syiah percaya bahwa Imam Ali mempunyai kelebihan dari sahabat-sahabat Nabi saw yang lain. Di bawah ini dicantumkan keutamaan Imam Ali di atas sahabat yang lain.
Banyaknya hadis tentang keutamaan Ali.
Menurut Imam Syafi’i, “Musuh-musuh Imam Ali menyembunyikan keutamaannya karena kebencian mereka kepadanya. Para pengikutnya menyembunyikan keutamaanya karena ketakutan mereka. Tetapi sekarang ini kita menemukan keutamaan Imam Ali terkumpul dalam buku yang tebal”
Banyaknya ayat yang turun tentang Ali.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan ayat yang di dalamnya ada “hai orang-orang yang beriman” kecuali Ali ketuanya dan penghulunya“ (Al-Ishbahani, Al-Nur al-Musyta’il min Kitab “Ma nuzila fi al-Quran fi Ali” 26)
Kecintaan kepada Ali menjadi pembeda antara mukmin dan munafik.
Rasulullah saw bersabda kepada Ali: Tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidakmembencimu kecuali munafik. (Musnad Ahmad, 1:84, 95, 128; Shahih Muslim 1:41; AlTaj al-Jami’ li al-Ushul 3:335; Shahih al-Turmudzi 2;301; Sunan al-Nasai 2:271; Tarikh al-Khulafa 170)
Pujian sahabat-sahabat tentang Ali
“Kalau tidak ada Ali, celakalah Umar,” kata Umar bin Khathab (Kanz al-Ummal 1:154; Faidh al-Qadir 3:356; Mustadrak al-Hakim 1:457; Al-Isti’ab hamisy Al-Ishabah 3:39)
Pertanyaan #13
Imam yang Gha’ib (Imam Mahdi afs.) itu Tidak Ada, Hanya Takhayul Belaka?
Tuduhan
Kepercayaan orang Syiah kepada Imam Mahdi adalah takhayul belaka, yang diciptakan oleh orang-orang yang putus asa.
Jawaban
Orang Syiah percaya bahwa Imam Mahdi afs akan datang ketika tidak ada lagi keadilan, setelah dunia dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman yang meliputi seluruh umat manusia. Kepercayaan ini bukan takhayul karena didasarkan kepada hadis-hadis yang dipandang shahih oleh ulama ahli hadis. Dalam keyakinan Syiah, Imam Mahdi adalah imam yang kedua belas dari Ahlulbait Nabi a.s (Lihat pembahasan terdahulu tentang dua belas imam pada Syiah Tidak Berdasarkan As-Sunnah?).
Imam Mahdi dalam pandangan Syiah, berbeda dengan pandangan sebagian Ahlus Sunnah yang mempercayai Imam Mahdi, telah lahir tapi kemudian gha’ib. Di bawah ini kita kutip pengakuan para ahli tarikh tentang kelahiran Imam Mahdi:
- Ibn al-Atsir dalam kitab tarikhnya berkenaan dengan peristiwa-peristiwa pada tahun 260 H menulis, “Pada tahun ini wafat Abu Muhammad al-Alawi al-Askari, salah satu imam dari dua belas imam pada mazhab Imamiyah. Ia itu ayah Muhammad yang mereka yakini sebagai Yang Dinantikan” (Al-Kamil fi al-Tarikh 7:274).
- Ibn Khalkan dalam Wafiyatul A’yan menulis, “Abul Qasim Muhammad bin al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad yang sudah disebut sebelumnya, adalah imam yang keduabelas menurut keyakinan imamiyah; lebih trkenal sebagai al-hujjah.. kelahirannya pada hari Jumat pertengahan Sya’ban tahun 255” (Wafiyat al-A’yan 4:176, 562).
- Al-Dzahabi, setelah menceritakan Al-Hasan al-Askari, mengatakan, “Adapun anaknya, Muhammad bin AlHasan, yang disebut oleh kaum Rafidhah sebagai al-Qaim al-Khalaf al-Hujjah dilahirkan pada tahun 258; taun menurut riwayat yang lain 256” (Tarikh alIslam 19:113; Siyar A’lam al-Nubala 13:119; Al-‘Ibar fi Khabar 3:31).
Kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah pun menjelaskan sifat-sifat Imam Mahdi seperti yang diyakini Syiah Imamiyah. Di bawah ini disebutkan sebagian di antaranya:
-
Imam Mahdi itu dari keturunan Ahlulbayt as:
Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan berdiri hari kiamat sampai bumi dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluar salah seorang lelaki dari keluargaku (_‘itrah_ku) yang akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kedamaian setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan” (Musnad Ahmad 3:424, hadis 10920; dan Musnad Abi Ya’la 2:274, hadis 987; Al-Mustadrak 4:577; Kanz al-‘Ummal 14:271, hadis 38691).
-
Imam Mahdi dari keturunan Fathimah:
Dari Ummu Salamah; ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda “Al-Mahdi dari keturunanku dari anak – anak Fathiman” (Sunan Abi Dawud 4:104, hadis 4248; Sunan ibn Majah 2:1368; Jami’ al-Ushul 5:343; AlDurr al-Mantsur 6:58; Kanz al-Ummal 14:264, hadis 38662).
-
Imam Mahdi dari keturunan al-Husayn:
Hudzaifah al-Yaman berkata: Rasulullah saw berkhotbah. Beliau menyebut apa yang sudah terjadi. Kemudian beliau bersabda, “Sekiranya tidak tersisa dari umur dunia ini kecuali satu hari, Allah akan panjangkan hari itu sampai Allah bangkitkan di sana seorang lelaki yang namanya sama dengan namaku” Kemudian Salman bertanya: Ya Rasulullh, dari garis keturunanmu yang mana? Beliau bersabda: “Dari anakku yang ini, “ sambil beliau menepuk al-Husayn” (Ibn al-Qayyim, Al-Manar al-Munif 148, dari al-Thabrani dalam Al- Awsath; al-Muhibb al-Thabari, dalam al-Dzakhair al‘Uqba 136).
Kepercayaan kepada Imam Mahdi as bukan takhayyul karena hadis-hadis tentang Imam Mahdi dianggap hadis yang shahih bahkan mutawatir. Di bawah ini kita kutipkan komentar para ahli hadis, sebagian di antaranya:
-
Al-Turmudzi: Berkenaan dengan hadis tentang Imam Mahdi, ia berkata,“Ini hadis hasan shahih” (Sunan alTurmudzi 4:505; 4:506).
-
Al-Hakim al-Nisaburi: “Hadis ini shahih sanadnya berdasarkan syarat Muslim, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya” Berkenaan dengan delapan hadis tentang Imam Mahdi yang diriwayatkannya, ia berkata; “Ini hadis shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim walaupun mereka tidak mengeluarkannya” (Mustadrak al-Hakim 4:429 dst).
-
Nashir al-Din al-Albani: “Adapun masalah alMahdi,maka hendaklah orang tahu bahwa tentang kedatangan Imam Mahdi diriwayatkan oleh hadis-hadis yang shahih, sebagian besar di antaranya mempunyai sanad-sanad yang shahih” (“Hawl alMahdi”, Majallah al-Tamaddun al-Islami, Damaskus, tahun 22 Dzul Qa’dah 1371).
-
Muhammad bin al-Husayn al-Abari al-Syafi’I menulis, “Telah mutawatir hadis-hadis karena banyaknya yang meriwayatkannya dari al-Mushthafa tentang kedatangan al-Mahdi dari ahli bayt Nabi saw” (alQurthubi al-Maliki, dalam al-Tadzkirah 71; al-Mazzi dalam Tahdzib al-Kamal 25:146).
-
Rabithah Alam al-Islami pernah mengeluarkan risalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallamat dalam agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya. (Risalah tertanggal 24 Syawal 1396 H ini ditandatangani oleh pimpinan “ Idarah Majma’ al-Fiqh al-Islami“, Muhammad al-Muntashir al-Khatami).
Rabithah mengutip banyak hadis Nabi saw tentang al-Mahdi dari kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama ahlusunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah Imam kedua belas, masih hidup dan akan muncul dengan izin Allah swt untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.
Pertanyaan #14
Abu Thalib, Paman Nabi, Akan Masuk Neraka?
Tuduhan
Berbeda dengan Ahlussunnah, Syiah berpendapat bahwa Abu Thalib seorang mukmin. Padahal jelas sekali bahwa Abu Thalib berada di neraka, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlussunnah yang shahih. Memukminkan orang kafir berarti kafir. Berarti, Syiah itu kafir.
Jawaban
Siapa pun tahu bahwa Abu Thalib memberikan hartanya dan jiwanya untuk melindungi Rasulullah saw ketika ia menyebarkan Islam pertama kalinya. Apa yang disumbangkan oleh Abu Thalib untuk Islam tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun di antara sahabat Nabi saw, kecuali Ali bin Abi Thalib. Lalu kenapa Ahlussunnah mengkafirkan Abu Thalib yang melindungi Nabi saw dan memukminkan Abu Sofyan yang selalu memerangi Nabi saw?
Karena itu, ada juga ulama-ulama Ahlussunnah yang mempertahankan keimanan Abu Thalib dengan dalil-dalil yang kuat dari kitab-kitab Ahlussunnah. Salah satu di antaranya ialah Sayyid Ahmad bin Sayyid Zaini bin Ahmad Dahlan, mufti mazhab al-Syafii di Makkah.
Ia menulis buku Asna al-Mathalib fi Najati Abi Thalib. Bacalah kitab itu, yang sampai sekarang masih diterbitkan, dan Anda akan mendapatkan keterangan yang sahih tentang keimanan Abu Thalib.
Di sini akan kita kemukakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Abu Thalib seorang mukmin. Kita juga akan membahas secara singkat tentang hadis-hadis yang dijadikan rujukan untuk mengkafirkan Abu Thalib.
Kesaksian dari Abu Thalib
Abu Thalib adalah seorang penyair, di samping pahlawan perang. Orang-orang Arab di zamannya banyak menghapal puisi Abu Thalib. Para ahli sejarah merekam puisi Abu Thalib itu. Simak salah satu di antaranya:
ليعلم خير الناس انّ محمّدا
نبي كموسى و المسيح ابن مريم
اتانا هدى أتيا به
فكلّ بأمر اللّه يهدي ويعصمHendaknya orang-orang mulia tahu bahwa Muhammad
Adalah Nabi seperti Musa dan AlMasih putra Maryam
Ia datang membawa petunjuk seperti yang dibawa oleh keduanya
Semuanya memberi petunjuk dan menjaga dari dosa karena perintah Allah(Mustadrak Al-Hakim 2:623)
Bukankah itu pengakuan Abu Thalib yang sangat jelas tentang kenabian Muhammad, Musa dan Isa as?
Kalau puisi di atas kurang jelas perhatikan puisi berikut ini:
يا شاهد اللّه عليّ فاشهد
انّي على دين النّبي احمد
من ضلّ في الدين فاني مهتديWahai saksi Allah, bersaksilah
Aku mengikuti agama Nabi Ahmad
Orang sesat dalam agamanya tapi aku mendapat petunjuk(Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah. 14:78; Diwan Abi Thalib 75)
Kesaksian Rasulullah saw
Dalam berbagai situasi, Rasulullah saw menunjukkan kecintaan kepada pamannya Abu Thalib. Ketika Abu Thalib meninggal dunia, Rasulullah saw menjadikan tahun kematiannya sebagai tahun dukacita (‘am al-huzn).
Di bawah ini beberapa pernyataan Rasulullah saw tentang kecintaan beliau kepada Abu Thalib:
Nabi saw berkata kepada ‘Aqil bin Abi Thalib: “Aku mencintaimu karena dua kecintaan; kecintaan karena kekeluargaan antara kamu dengan aku dan karena aku tahu betapa cintanya pamanku kepadamu”
(Tarikh al-Khamis 1: 163; Al-Istiab 2:509)
Nabi saw juga berkata kepada Ali bin Abi Thalib:
“Orang Quraiysh tidak berhasil menggangguku dengan sesuatu yang tidak aku sukai sampai Abu Thalib meninggal dunia”
(Sirah al-Halabi, 1:391)2
Semua peneliti sepakat bahwa Nabi saw mencintai Abu Thalib. Menurut Al-Quran, tidak mungkin orang beriman akan mencintai orang yang menentang Allah dan RasulNya walaupun mereka itu keluarganya sendiri (lihat Al-Mujadilah 22).
Kesaksian Para Sahabat Nabi saw
Ali bin Abi Thalib as pada suatu hari menegur seseorang yang mengkafirkan Abi Thalib. Ia berkata, “Diam kamu. Mudah-mudahan Allah membungkam mulutmu. Demi Dia yang mengutus Muhammad dengan kebenaran sebagai Nabi, jika ayahku memberikan syafaat kepada setiap pendosa di bumi, pasti Allah akan menerima syafaatnya” (Al-Hujjah 24).
Abu Dzar Al-Ghiffari bersaksi, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali dia, Abu Thalib tidak mati kecuali dalam keadaan Muslim” (Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah 14:71).
Ibn Abbas berkata, “Sungguh, Abu Thalib tidak meninggal dunia kecuali dengan mengucapkan kalimah la Ilaha Illallah” (Lihat Al-Ghadir 7:398; yang mengutip dari Tafsir al-Waqi’).
Hadis-hadis yang menjadi landasan pengkafiran Abu Thalib
Ada dua kelompok hadis yang dijadikan landasan untuk mengkafirkan Abu Thalib. Pertama, hadis-hadis yang dihubungkan dengan ayat Al-Qashah 56. Kedua, hadis-hadis yang disebut sebagai hadis Dhahdhah.
Yang pertama diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Secara singkat saja, sanad al-Bukhari melewati Abu al-Yaman al-Hawzani yang dinyatakan lemah oleh Ibn al-Qathan (Mizan al-I’tidal 4:589), Syu’aib yang disebutkan berkali-kali oleh Al-Dzahabi dan kebanyakan dinyatakan sebagai dhaif, bohong, atau majhul (Mizan alI’tidal 2:275:278). Sanad Muslim melewati Harmalah bin Yahya, Abdullah bin Wahb, Yunus yang semuanya didhaifkan oleh ahli jarh (Lihat Mizan al-I’tidal 1:472, 2:522, 4:477485).
Catatan
Dengan melihat bukti-bukti yang kuat tentang keimanan Abu Thalib baik dari kesaksian dan perilaku Abu Thalib sendiri sampai pada kesaksian Rasulullah saw dan para sahabat, masihkan kita akan mempercayai hadis-hadis dhaif yang dibuat oleh orang-orang yang tidak menyukai Abu Thalib. Mengkafirkan Abu Thalib pasti akan menyakiti Rasulullah saw. Menyakiti Rasulullah saw berarti mengundang laknat Allah di dunia dan di akhirat.
Pertanyaan #15
Taqiyyah adalah Ajaran Kemunafikan dari Syiah?
Tuduhan
Orang Syiah bersenjatakan taqiyah untuk berbohong, munafik.
Jawaban
Syi’ah menjalankan taqiyah seperti yang diajarkan AlQuran dan Sunnah. Taqiyah berbeda dengan nifaq (sifat munafiq). Taqiyah berarti menyembunyikan iman dan menampakkan kekufuran. Munafiq menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan
Dalam Al Qur’an
Ali Imran(QS 3: 28): “….kecuali memelihara dirimu dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”
Al-Nahl (QS 16:106):“…Kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman.”
Al-Mu’min (QS 40:28): “Dan seorang laki-laki yang berimana diantara pengikut-pengikut Fir’aun, menyembunyikan iman” Dalam Hadits
Untuk Ali Imran (QS3:28)
Tafsir Fakhr al-Razi menyatakan: “Menurut al-Hasan: Musailamah al-Kadzdzab menahan dua orang sahabat Nabi saw. Ia berkata pada salah seorang di antara mereka: Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad itu Utusan Allah? Ia berkata: na’am, na’am, na’am. Lalu ia bertanya: Apakah kamu bersaksi bahwa aku Utusan Allah. Ia berkata: Na’am. (Karena Musaylamah mengaku ia Rasul Bani Hanifah dan Muhammad Rasul Quraisy).
Musaylamah melepaskan dia dan memanggil sahabat lainnya. Kemudian ia bertanya: Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad Rasul Allah? Ia berkata: Na’am. Musaylamah bertanya lagi: Apakah kamu bersaksi aku Rasul Allah? Ia menjawab: Aku tuli (tiga kali). Orang itu dihadapkan kepada Musailamah dan ia membunuhnya.
Sampailah berita itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda: Adapun yang terbunuh ia membawa keyakinan dan ketulusan imannya. Berbahagialah dia. Adapun yang satu lagi, ia sudah menerima izin Allah dan dan ia tidak berdosa. Kata Al-Razi: Ketahuilah bandingannya pada ayat Al-Nahl 106.“ (Fakh al-Razi 8:12)
Untuk Al-Nahl (QS 16:106)
Tafsir al-Razi menulis: “Mengenai masalah yang kedua – Diriwayatkan bahwa orang-orang Mekah mendapat ujian kemudian murtad dari Islam setelah masuk ke dalamnya. Tetapi di antara mereka ada yang terpaksa, mengucapkan kekufuran dengan lidahnya tetapi tetap mempertahankan iman dalam hatinya. Di antara mereka dalam Ammar dan kedua orangtuanya Yasir dan Sumayyah, …Mereka disiksa…Terbunuhlah Ammar dan Yasir. Keduanya terbunuh. Mereka dua orang yang terbunuh pertama dalam Islam. Ada pun ‘Ammar bermaksud menipu mereka (dengan mengatakan seperti yang mereka inginkan).
Disampaikan kepada Rasul Allah saw bahwa ‘Ammar kafir. Ia bersabda: Tidak sama sekali. Sesungguhnya ‘Ammar dipenuhi dipenuhi iman dari ubun-ubun sampai matakakinya. Iman sudah bercampur dalam darah dagingnya. Ammar mendatangi Rasulullah saw sambil menangis. Rasulullah saw mengusap kedua matanya seraya bersabda: Jika mereka mengulangi perbuatan mereka, ulangilah apa yang telah kamu katakan kepada mereka (Al-Fakhr al-Razi 2:121)
Al-Mu’min (QS 40:28) dengan jelas menunjukkan pujian Tuhan kepada keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya dan memberi nasihat kepada Fir’aun. Bacalah kitab-kitab tafsir tentang kisahnya yang lebih rinci.
Kesimpulan
Taqiyyah merupakan cara perjuangan Ahlulbait Nabi, untuk melindungi agama, diri mereka dan para pengikutnya dari bencana dan pertumpahan darah, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dan untuk menyelaraskan pergaulan mereka supaya tumbuh persaudaraan dan kasih sayang diantara kaum muslimin
Pertanyaan #16
Syiah Musyrik, Karena Menganggap Allah Boleh Khilaf?
Tuduhan
Orang Syiah musyrik karena menganggap Allah boleh khilaf, tapi percaya Imam-Imam Syiah tetap maksum (Al-Bada’)
Jawaban
Al Bada’ dalam Syiah adalah perubahan dalam Qadha Allah karena kehendak Allah. Bukan karena Allah khilaf. Tetapi, karena ia dapat menetapkan dan menghapuskan ketetapannya sebagaimana yang Ia kehendaki.
Dalam Al Qur’an
Dalam Hadits
Dalam menjelaskan Al-Ra’d (QS 13:39), al-Suyuthi meriwayatkan banyak hadis tentang perubahan qadha Allah. Beberapa di antaranya:
- “Allah menghapuskan rezeki atau menambahnya.Allah menghapuskan ajal dan menambah usia. Ditanyakan kepada al-Kalbi; Siapakah yang menyampaikan hadis ini kepadamu? Ia menjawab: Abu Shalih, dari Jabir bin Abdullah bin Rabab al-Anshari dari Nabi saw.
- Al-Hakim menuliskan hadis ini dan mensahihkannya dari Ibn Abbas: Kehati-hatian tidak mempengaruhi takdir, tetapi Allah menghapus dengan doa seseorang, takdir yang dikehendakiNya (Tafsir al-Durr alMantsur 4:661)
Pertanyaan #16
Syiah Percaya Reinkarnasi? (Ar-Raj’ah)
Tuduhan
Syiah sesat karena mempercayai Ar-Raj’ah; yakni, kembalinya ruh ke jasad di dunia sebelum kiamat
Jawaban
Syi’ah mengambil petunjuk dari Al-Quran tentang Al-Raj’ah, yakni dihidupkannya kembali segolongan dari tiaptiap umat sebelum hari kiamat. Perhatikan ayat-ayat Surat An-Naml 82 s/d 86 ini:
۞ وَاِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ اَخْرَجْنَا لَهُمْ دَاۤبَّةً مِّنَ الْاَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ اَنَّ النَّاسَ كَانُوْا بِاٰيٰتِنَا لَا يُوْقِنُوْنَ ࣖ - ٨٢Dan apabila perkataan (ketentuan masa kehancuran alam) telah berlaku atas mereka, Kami keluarkan makhluk bergerak yang bernyawa dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka bahwa manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.
وَيَوْمَ نَحْشُرُ مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ فَوْجًا مِّمَّنْ يُّكَذِّبُ بِاٰيٰتِنَا فَهُمْ يُوْزَعُوْنَ - ٨٣Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami mengumpulkan dari setiap umat, segolongan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompok-kelompok).
حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءُوْ قَالَ اَكَذَّبْتُمْ بِاٰيٰتِيْ وَلَمْ تُحِيْطُوْا بِهَا عِلْمًا اَمَّاذَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ - ٨٤Hingga apabila mereka datang, Dia (Allah) berfirman, “Mengapa kamu telah mendustakan ayat-ayat-Ku, pada-hal kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, atau apakah yang telah kamu kerjakan?”
وَوَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوْا فَهُمْ لَا يَنْطِقُوْنَ - ٨٥Dan berlakulah perkataan (janji azab) atas mereka karena kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata.
اَلَمْ يَرَوْا اَنَّا جَعَلْنَا الَّيْلَ لِيَسْكُنُوْا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًاۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ - ٨٦Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan malam agar mereka beristirahat padanya dan (menjadikan) siang yang menerangi? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman.
(QS An-Naml 27:82-86)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan peristiwa sebelum hari kiamat: munculnya daabbah dan dibangkitnya segolongan dari tiap-tiap umat (min kulli ummatin faujan).
Mengapa ayat tersebut ditafsirkan peristiwa sebelum kiamat? Karena pada ayat selanjutnya, yaitu An-Naml ayat 87, Allah swt menceritakan kiamat ketika ditiup sangkakala:
وَيَوْمَ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ فَفَزِعَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَكُلٌّ اَتَوْهُ دَاخِرِيْنَ - ٨٧Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka terkejutlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri.
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِۗ صُنْعَ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍۗ اِنَّهٗ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَفْعَلُوْنَ - ٨٨Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
(QS An-Naml 27:87-88)
Pada hari kiamat itu, Allah membangkitkan semuanya, bukan hanya segolongan dari tiap-tiap umat, tapi semuanya. Ini dengan penjelasan kiamat pada ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, misalnya:
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau akan melihat bumi itu rata dan Kami kumpulkan mereka (seluruh manusia), dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka. (QS Al-Kahfi 18:47)
Perhatikan pula bahwa di dalam Al-Qur’an, Allah swt menceritakan kisah-kisah lain yang padanya Allah swt menghidupkan kembali orang yang telah mati:
Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (dia berkata), “Aku telah datang kepada kamu dengan sebuah tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu orang beriman. (QS Al Imran 3:49)
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِىَ خَلْقَهُۥ ۖ قَالَ مَن يُحْىِ ٱلْعِظَـٰمَ وَهِىَ رَمِيمٌ Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?
قُلْ يُحْيِيهَا ٱلَّذِىٓ أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, (QS Yasin 36:78-79)
Sekiranya Raj’ah diartikan reinkarnasi maka membangunkan orang mati yang dilakukan oleh Nabi Isa adalah reinkarnasi.
Rasulullah saw bersabda: “Kalian akan mengikuti tradisi umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sesiku demi sesiku. Sehingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak sekali pun kalian akan mengikutinya”. Kami bertanya: Ya Rasulullah saw, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara? Ia bersabda; “Siapa lagi?” (Shahih al-Bukhari 9:112; 9:102; Kanz al-‘Ummal 11:133). Khalifah al-Ma’mun bertanya kepada Imam Ali Ridho as tentang raj’ah. Ia menjawab: Raj’ah itu benar, karena sudah terjadi pada umat-umat sebelumnya. Al-Quran sudah menceritakannya dan Rasulullah saw bersabda (kemudian ia mengutip hadis yang redaksinya sama dengan hadis di atas).
Adapun kisah-kisah Raj’ah yang disebutkan Allah dalam al-Quran:
- Menghidupkan kembali sekelompok Bani Israil (QS Al-Baqarah 2:55-56)
- Menghidupkan seorang yang terbunuh di kalangan Bani Israil dan tidak diketahui siapa pembunuhnya (QS Al-Baqarah 2:72-73)
- Menghidupkan kembali ribuan manusia yang sudah mati (QS Al-Baqarah 2:243)
- Menghidupkan ’Uzair setelah meninggal seratus tahun (QS Al-Baqarah 2:259)
- Menghidupkan yang mati melalui mukjizat Isa as (QS An-Naml 27:82-83)
Pertanyaan #18
Syiah Punya Rukun Iman Dan Rukun Islam yang Berbeda?
Tuduhan
Syiah percaya pada Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda
Jawaban
Rukun Iman dan Rukun Islam adalah hasil perumusan para ulama. Di kalangan Ahlussunnah, misalnya, rukun iman didasarkan hanya pada satu hadis dari Umar bin Khathab dalam Shahih al-Bukhari. Jika semua hadis tentang iman dan Islam dikumpulkan bisa jadi setiap orang memperoleh perumusan yang berbeda.
Syiah mempunyai perumusan rukun iman dan rukun Islam yang berbeda; bukan karena perbedaan aqidah, tetapi karena perbedaan penamaan saja. Berikut ini sebagian dari perumusan ulama Syiah:
Rukun Iman
- Tawhid (percaya keesaan Allah yang mutlak)
- Adalah (percaya kepada keadilan ilahi)
- Nubuwah(Kenabian, termasuk pada kita-kitab yang dibawa para Nabi dan malaikat yang menurunkannya)
- Imamah (percaya pada para imam setelah Nabi saw)
- Al-Ma’ad (percaya pada hari akhir)
Rukun Islam
- Shalat
- Puasa
- Zakat
- Khums
- Haji
- Jihad
- Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
- Tawalla (membenci apa yang dibenci Rasul saw dan Ahlulbaitnya)
- Tabarra (mencintai apa yang dicintai Rasul saw dan Ahlulbaitnya)
- Amal Saleh.
Pertanyaan #19
Syiah Musyrik, Percaya Para Imam Mengetahui yang Ghaib?
Tuduhan
Syiah sesat, karena percaya para Imam Syiah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, bertentangan dengan Al-Qur’an
Jawaban
Tuduhan tersebut bersumber dari riwayat dari salah satu Imam yang dipotong sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Aku mengetahui apa yang di syurga dan di neraka. Aku mengetahui perkara yang berlalu dan perkara yang akan datang”
Ucapan diatas adalah ucapan Imam Ja’far as Shadiq as. Bagian yang telah dibuang adalah kalimat yang sangat penting yaitu:
“Sesungguhnya aku mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi. Aku mengetahui apa yang di syurga dan di neraka. Aku mengetahui perkara yang berlalu dan perkara yang akan datang”, kemudian (Imam Ja’far) berhenti sebentar karena ia melihat ucapan itu sangat berat bagi orang yang mendengarnya. Ia berkata: “Aku mengetahui yang demikian dari Kitabulah Azza wa jalla. Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman: Dan Kami turunkan Al-Kitab kepadamu untuk penjelasan segala sesuatu”
Berikut ini ayat Al-Qur’an yang dimaksud pada riwayat tesebut:
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim). (QS An-Nahl 16:89)
Pertanyaan #20
Para Imam Memiliki semua yang di Langit dan di Bumi?
Tuduhan
Syiah itu musyrik karena menyebutkan bahwa dunia dan akhirat kepunyaan para Imam padahal ini bertentangan dengan Al-Qur’an
Jawaban
Tuduhan tersebut bersumber dari riwayat yang dipotong dan diterjemahkan dengan tendensi tertentu, yaitu sebagai berikut:
Sesungguhnya dunia dan akhirat adalah kepunyaan Imam, dia boleh meletakkannya dimana dikehendakinya dan memberikan kepada sesiapa yang dikehendakinya. Itu adalah satu kebenaran dari pihak Allah kepadanya.
Tuduhan tersebut menyatakan riwayat tersebut dari kitab hadis kalangan Syiah yang terkenal, yaitu (Al-Kafi 1:409). Padahal, dalam Al-Kafi, riwayat tersebut secara lengkap adalah:
“Hai Abu Muhammad, tidakkah engkau ketahui bahwa sesungguhnya dunia dan akhirat adalah kepunyaan Imam, dia boleh meletakkannya dimana dikehendakinya dan memberikan kepada sesiapa yang dikehendakinya. Semua itu dengan izin Allah. Hai Abu Muhammad, sesungguhnya Imam tidak tidur satu malam pun kecuali Allah mempunyai hak diatas kuduknya dan Ia akan menuntut hak itu daripadanya” (Al-Kafi 1:409)
Pertanyaan #21
Syiah Musyrik, Percaya Benda Dapat Memberikan Keberkahan?
Tuduhan
Syiah musyrik, karena percaya benda-benda dapat memberikan keberkahan (tabarruk), bahkan menyehatkan, menyembuhkan, dsb.
Jawaban
Syiah bertabarruk karena dicontohkan dalam Al-Qur’an pada kisah nabi baju Nabi Yusuf as. yang menyembuhkan penglihatan Nabi Ya’qub as.:
قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ - ٩٢
Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.
اِذْهَبُوْا بِقَمِيْصِيْ هٰذَا فَاَلْقُوْهُ عَلٰى وَجْهِ اَبِيْ يَأْتِ بَصِيْرًا ۚوَأْتُوْنِيْ بِاَهْلِكُمْ اَجْمَعِيْنَ ࣖ - ٩٣
Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkan ke wajah ayahku, nanti dia akan melihat kembali; dan bawalah seluruh keluargamu kepadaku.”
وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيْرُ قَالَ اَبُوْهُمْ اِنِّيْ لَاَجِدُ رِيْحَ يُوْسُفَ لَوْلَآ اَنْ تُفَنِّدُوْنِ - ٩٤
Dan ketika kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya Aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku).”
قَالُوْا تَاللّٰهِ اِنَّكَ لَفِيْ ضَلٰلِكَ الْقَدِيْمِ - ٩٥
Mereka (keluarganya) berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau masih dalam kekeliruanmu yang dahulu.”
فَلَمَّآ اَنْ جَاۤءَ الْبَشِيْرُ اَلْقٰىهُ عَلٰى وَجْهِهٖ فَارْتَدَّ بَصِيْرًاۗ قَالَ اَلَمْ اَقُلْ لَّكُمْۙ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ - ٩٦
Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diusapkannya (baju itu) ke wajahnya (Yakub), lalu dia dapat melihat kembali. Dia (Yakub) berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS Yusuf 12:92-96)
Dalam hadis, dapat ditemukan konsep tabarruk ini, misalnya:
- “Setiap kali Nabi saw mengambil air wudlu, para sahabat saling berlomba dalam berebut tetesan air wudlu beliau” (Shahih Bukhari jilid III hal 255)
- Dari Sa’ib bin Yazid: “Bibiku membawaku kepada Nabi saw dan ia berkata:” keponakan saya dalam keadaan sakit“. Maka beliau mengambil air wudlu dan memohonkan berkah untuk saya dan saya meminum bekas air wudlunya“ (Shahih Bukhari, Bab “Khataman Nubuwwah” jilid IV hal 227, Shahih Muslim, bab Khatam an-Nubuwah)
- Dari Anas: “Ketika Nabi saw mencukur rambutnya, dan para sahabat berada di sekitar beliau. Setiap potongan rambut beliau diperebutkan oleh setiap orang dari mereka”. (Shahih Muslim, jilid IV, kitab Fadha’il ash-Shahabah)
- Setiap kali seorang anak lahir di Madinah, ia dibawa ke hadapan Nabi saw untuk di tahnik dan diberkati. Mentahnik ialah mengusapkan jemari nabi saw pada langit-langit mulut. Nabi saw jug mengusap kepala mereka dan mendoakan keberkahan bagi mereka. Ketika Futuh Makkah, penduduk tanah suci itu, membawa anak-anak mereka untuk mengambil berkah dari sentuhan Nabi saw (Al-Bukhari 8:10,95; Al-Bukhari 7:108; Musnad Ahmad 6:52 juga terdapat dalam Jalaluddin Rakhmat, Rindu Rasul hal 211)
- Putri Nabi saw, Fathimah as, setelah wafat ayahnya, berdiri di samping makam beliau, mengambil segenggam tanahnya, menangis, serta membaca dua bait syair berikut: “Duhai dia, yang telah mencium tanah pusara Ahmad, Mungkinkah ia mencium lagi wewangian sepanjang masa? Telah datang kepadaku runtunan musibat Sekiranya jatuh pada siang, siang berubah menjadi malam gulita” (Syabrawi dalam al-Athaf, hal 9; Samhudi dalam Wafa’al-Wafa’, jilid II, hal 444; Khalidi dalam Shulh alIkhwan, hal 57 dll)
- Marwan bin Hakam memasuki masjid dan melihat seorang laki-laki meletakkan mukanya di atas kubur. Marwan memegang lehernya dan berkata: “Tahukah engkau apa yang sedang engkau perbuat?” Orang tersebut, Abu Ayyub al-Anshari, mengangkat kepalanya dan berkata: “Aku tidak datang kepada batu, melainkan ke sisi Rasul saw. Wahai Marwan, aku telah mendengar Nabi saw bersabda: Dikala yang memimpin adalah orang-orang shaleh, tak usahlah engkau menangis disini, tetapi menangislah ketika orang-orang yang tidak layak, menjadi pemimpin yakni engkau dan keluarga Umawi” (Mustadrak al-Hakim, jilid IV hal 515)
Catatan
Dalam bukunya, Rindu Rasul, KH Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa tabarruk adalah salah satu ungkapan kecintaan. Jika Anda mencintai seseorang, Anda akan menganggap apa pun yang ditinggalkan orang itu, apa pun yang berkaitan dengan orang itu, punya nilai sangat tinggi.
Sebagaimana Majnun menjawab, ketika ia dibilang gila karena menciumi rumah Layla dengan syair berikut ini:
“Aku melewati rumah, rumah Layla
Kucium dinding ini, dinding ini
Tidaklah cinta rumah yang memenuhi hati
Tetapi kepada dia yang tinggal di rumah ini”
Pertanyaan #22
Syiah Menyembah Kuburan?
Tuduhan
Orang Syiah musyrik karena menyembah kuburan
Jawaban
Syiah tidak menyembah kuburan, Syiah meyakini bahwa ziarah ke makam Nabi Muhammad saw, para Imam Ahlulbait, wali-wali Allah dan segenap syuhada merupakan amal yang sangat dianjurkan, sunnah muakkadah. Bahkan Rasulullah saw sendiri berziarah ke kuburan Baqi dan mengucapkan salam kepada penghuni kubur.
Tentu saja, kita harus membedakan antara ziarat dan ibadah atau menyembah. Ibadah atau menyembah hanya dilakukan untuk Allah swt semata. Sementara ziarah dimaksudkan untuk menghormati serta memuliakan para pembesar Islam dan memohon syafa’at mereka di sisi Allah swt.
Dalam al-Qur’an
Maka jika Allah mengembalikanmu (Muhammad) kepada suatu golongan dari mereka (orang-orang munafik), kemudian mereka meminta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi (berperang) sejak semula. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut (berperang).”
Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS At-Taubah 9:83-84)
Al-Qur’an melarang Nabi saw dilarang berbuat dua hal (shalat dan berdoa) tersebut bagi orang munafik. Maka dapat disimpulkan, terhadap kuburan selain orang munafik, shalat untuk orang yang mati dan berdoa dengan berdiri di atas kuburan boleh dilakukan.
Dalam Hadis
“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur. Namun mulai sekarang dan seterusnya, berziarahlah, karena ziarah dapat membuat kalian zuhud di dunia dan mengingatkan kalian pada akhirat”
“Nabi ziarah ke makam ibunya, dan di sisi makam ibunya, beliau menangis hingga membuat orang-orang di sekitarnya menangis, lalu Beliau bersabda, aku meminta izin Tuhanku untuk ziarah ke makam ibuku dan Ia mengizinkanku. Maka ziarahlah kalian karena sesunggguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kepada kematian”
Aisyah mengatakan bahwa Nabi membolehkan ziarah kubur “Rasulullah mengizinkan ziarah kubur” (Sunan IbnMajah, I: 114; Shahih Turmudzi, bab al-Jana’is, III:274, disertai juga dengan Syarh Ibn al-Arabi, cetakan Lebanon; Shahih Bukhari III:65: Shahih Abu Dawud II, kitab al- Jana’is, bab Ziarah al-Qubur:195; Shahih Muslim IV, kitab al-Jana’is,bab Ziarah al-Qubur:73)
Putri Nabi, Fathimah, setiap Jumat berziarah ke makam pamannya Hamzah, melakukan shalat di sisinya dan menangis (Mustadrak, Hakim I:377; wafa’ al-wafa’ II:112)
Pertanyaan #23
Syiah Musyrik, Karena Berdoa Kepada Selain Tuhan?
Tuduhan
Syiah musyrik, karena mengajarkan tawassul, yaitu memohon melalui perantara kepada Allah swt. Ini musyrik, karena berdoa seharusnya langsung kepada Tuhan.
Jawaban
Syiah melakukan tawassul karena mengikuti Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, disebutkan:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (QS Al-Maidah 5:2)
Ayat Al-Qur’an di atas, yaitu Al-Maidah ayat 2, memerintahkan kita untuk saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan. Di antara saling membantu itu ialah saling mendoakan. Dari sini kita bisa menyimpulkan bolehnya aspek pertama tawassul, yaitu mendoakan orang lain. Bahkan diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (QS Al-Maidah 5:35)
Pada ayat Al-Qur’an ini bahkan secara eksplisit diperintahkan bagi seluruh orang beriman untuk mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (QS An-Nisa’ 4:64)
Pada ayat ini, jika seorang yang telah menzalimi dirinya datang kepada Rasulullah saw, memohon ampun kepada Allah swt; dan Rasul memohonkan ampunan untuknya, maka akan diampuni oleh Allah swt. Walhasil, ayat ini mengajarkan kita untuk datang, berziarah kepada Rasul dan ber-tawassul kepadanya untuk memohonkan ampunan bagi kita kepada Allah swt.
Dalam Hadis
Dari Utsman bin Hunaif, ada seorang tuna netra yang datang kepada Rasulullah saw dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allah swt agar menyembuhkanku”. Nabi saw bersabda, “Jika engkau menghendaki, aku akan mendoakanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu.” Orang itu berkata, “doakanlah”. Nabi saw kemudian memerintahkannya berwudlu dengan baik lalu shalat 2 rakaat, dan membaca doa: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan NabiMu, Muhammd saw, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaramu, aku mencoba kepada Tuhan Allah swt agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku”.
Pembicaraan sanad hadis mengenai kemantapan dan kebenaran sanad hadis tsb, tidak perlu lagi dibicarakan karena pemimpin kaum wahabi sendiri, Ibn Taimiyyah menganggap sanadnya benar, dan menambahkan bahwa yang dimaksud dengan Abu Ja’far dalam sanad hadis itu adalah Abu Ja’far Khathmi, seorang yang perawi yang dapat dipercaya (dalam Musnad Ahmad, nama Abu Ja’far ditulis sebagai Abu Ja’far Khidmi. Sedang dalam shahih Ibn Majah ditulis Abu Ja’far saja).
Penulis kontemporer wahabi, Rifai, yang senantiasa berupaya melemparkan keabsahan hadis-hadis yang berkenaan dengan tawasul berkata tentang hadis diatas: “Tidak diragukan lagi, bahwa hadis ini shahih yang sangat dikenal” (Al-Tawassul, Ila haqiqah at-Tawassul 1, 58)
Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan:“ Di kala panceklik, Umar ibn Khattab meminta hujan dengan perantaraan Abbas bin Abu Muthalib ra dan berkata Ya Allah, dulu kami bertawasul dengan NabiMu saw dan Engkaupun mengirimkan rahmatMu.“ (Shahih Bukhari bab Shalat Istisqa cetakan Muhammad Ali Shabih jilid 11 hal 32)
Pertanyaan #24
Syiah Membaca Shalawat Kepada Nabi dan Ali?
Tuduhan
“Allahumma shalli alla Muhammad wa Aali Muhammad.” Orang Syiah mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw dan Ali bin Thalib sekaligus seperti terlihat dalam shalawat mereka
Jawaban
Kata Aali dalam salawat itu tidak menunjuk kepada Ali atau keluarga Ali. Semua yang mengerti bahasa Arab akan segera tahu bahwa Aali (dengan alif أ, artinya keluarga) bukanlah ’Ali (dengan ’ain ع, yang merujuk pada Ali bin Abi Thalib). Syiah selalu menyempurnakan shalawat kepada Nabi dengan shalawat kepada keluarganya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada juz 3 dan Muslim dalam Shahih-nya pada juz 1. Allamah al Qanduzi dalam Yanabi’ al-Mawaddah, hal 227 menukil dari al Bukhari, Ibn Hajar dalam al Shawa’iq al–Muhriqah pada pasal pertama ayat kedua. Mereka semua meriwayatkannya dari Ka’ab bin ‘Ajarah: Ketika ayat ini turun (QS 33:56), kami bertanya kepada nabi saw, “wahai Rasulullah, kami tahu bagaimana mengucapkan salam kepadamu. Tetapi bagaimana kami mengucapkan shalawat kepada keluargamu? Beliau menjawab, “Ucapkanlah, Allahumma Shalli ‘ala Muhammadin wa ‘ala ali Muhammad” (Ya Allah limpahkan salawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad)
Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang buntung” Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat yang buntung itu?” Beliau menjawab, “Engkau mengucapkan Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah limpahkan shalawat kepada Muhammad) lalu kalian diam. Melainkan ucapkanlah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala Aali Muhammad (Ya Allah limpahkan salawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad) [Ibn Hajar meriwayatkan dalam al-Shawa’iq hal 87]
Pertanyaan #25
Syiah Memiliki Adzan yang Berbeda?
Tuduhan
Orang Syiah menambahkan ke dalam adzan satu kalimat: “Hayya ‘ala Khayril ‘Amal”. Ucapan itu tidak diajarkan Nabi saw dan termasuk bid’ah.
Jawaban
“Hayya ‘ala khayril ‘amal” bukan tambahan dalam adzan, tapi kalimat yang diajarkan Nabi saw; tetapi hilang pada masa kemudian. Syiah mempertahankan sunnah Nabi saw, dan menjadikannya sebagai syi’ar mazhabnya.
Azan yang banyak dipraktekkan, yaitu tanpa “Hayya ‘ala Khayril “Amal” diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan Al-Turmudzi. Dikisahkan bahwa kalimat-kalimat azan itu diperoleh melalui mimpi (Abdullah bin Zaid, atau Umar bin Khattab atau 14 sahabat lainnya dengan riwayat yang saling bertentangan). Selain semua sanadnya ada saja mengandung kelemahan (majhul, dha’if, munkar, munqathi’ dan sebagainya), penetapan syariat melalui mimpi sahabat adalah kemusykilan yang besar.
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari 2:62 menulis: “Sesungguhnya sulit menerima penetapan hukum lewat mimpi Abdullah bin Zaid karena mimpi selain Nabi saw tidak bisa menjadi dasar syara’.” (Lihat kemusykilan Azan ini pada Jalaluddin Rakhmat, Al-Mushthafa, hal 87).
Berlawanan dengan itu, di bawah ini disampaikan sebagian di antara hadis-hadis tentang Adzan dengan “Hayya ‘ala Khayril ‘amal” melalui Abdullah bin Umar, Sahl bin Hunayf, Bilal, Abu Mahdzurah, ibn Abi Mahdzurah, Zaid bin Arqam:
-
Dari Nafi’, ia berkata: Ibnu ‘Umar kadang-kadang setelah membaca “Hayya ‘Alal Falah” di belakangnya ia membaca “Hayya ‘ala khayril amal” (Sunan al-Baiyhaqi 1;624, hadis 1991).
-
Dari Laits bin Sa’ad dari Nafi’: Ibnu Umar tidak pernah berazan dalam safarnya. Kadang-kadang setelah “Hayya ‘alal Falah” ia mengucapkan “Hayya ‘ala khayril ‘Amal” (Lihat sumber di atas).
-
Al-Baihaqi meriwayatkan hadis tentang “Hayya ‘Ala Khayril ‘Amal” dalam azan dari Abu Umamah, dari Sahl bin Hunayf (Sunan Al-Baihaqi 1;:425)
-
Ibn Al-Wazir, dari Al-Muhibb al-Thabari al-Syafi’I dalam kitabnya Ihkam al-Ahkam, menulis, “Sebutan “Hayya ‘ala Khayril ‘Amal” berasal dari hadis Shadaqah bin Yasar, Abu Umamah, Sahl bin Hunayf; jika ia berazan ia mengucapkan Hayya ‘Ala Khayril ‘Amal. Dikeluarkan dari Sa’id bin Manshur (Mabadi al-Fiqh al-Islami 38).
-
Dari Abdullah bin Muhammad bin Ammar, …dan seterusnya dari Bilal: Bilal berazan pada waktu subuh dengan mengucapkan “Hayya ‘Ala Khayril ‘Amal”. Kemudian Nabi saw memerintahkan Bilal untuk menggantinya dengan Ash-Shalatu khayrun min an-Nawm, sebagai pengganti “hayya ‘ala khayril ‘Amal” (Majm’ al-Zawaid 1:330 dari Al-Thabrani dalam Al-Kabir; Mushannaf Abd al-Razaq 1:460 hadis 1787; Sunan al-Baihaqi 1:625 h 1994; Muntakhab al-Kanz hamisy Musnad Ahmad 3:286).
Yang ditulis dengan huruf miring jelas ditambahkan para ahli hadis (mudraj), karena berdasarkan sumber sejarah, “Ash-Shalatu khayr min an-Nawm” baru muncul puluhan tahun setelah Nabi saw meninggal dunia (Lihat Muwaththa Malik 46; Sunan al-Daruquthni, Mushannaf Abd al-Razaaq 1:474, 475; Muntakhab al-Kanz 3:278. Di situ disebutkan bahwa Ash-Shalatu khayr min an-Nawm itu bid’ah, begitu menurut Al-Turmudzi dan Abu Dawud dan lain-lain).
-
Muhammad bin Manshur dalam kitabnya Al-Jami’ dengan isnad dari orang-orang yang disukainya dari Abu Mahdzurah, salah seorang muadzdzin Rasulullah saw. Ia berkata; Rasulullah saw memerintahkan aku mengucapkan dalam azan “Hayya ‘ala Khayril ‘Amal”. Dalam riwayat dari Abdul Aziz bin Rafi’ dari Abu Mahdzurah, ia berkata: Ketika aku kecil, berkata kepadaku Nabi saw: Jadikan akhir azanmu Hayya ‘ala Khayril ‘Amal (Al-Bahr al-Zukhar 2:192; lihat Mizan al-I’tidal 1:139; Lisan al-Mizan 1:268).
-
Diriwayatkan bahwa Zaid bin Arqam mengucapkan dalam azan “Hayya ‘ala Khayr al’amal” (Lihat al-Imam alShadiq wa al-Madzahib al-Arba’ah 5:283).
Di samping hadis-hadis di atas, ada banyak lagi hadis tentang Hayya ‘ala Khayr al-‘Amal dari sahabat-sahabat lainnya: Ali bin Abi Thalib, Abu Rafi’, ‘Aqil bin Abi Thalib, Al-Hasan bin ‘Ali, Al-Husayn bin ‘Ali, Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Ja’far, Anas bin Malik, Ali bin al-Husayn, Zaid bin Ali, dan lain-lain (Baca pengucapan Hayya ‘Ala Khayr ‘Amal sepanjang tarikh Islam pada Ali alSyahristani, Al-Adzan bayn al-Ishalah wa al-Tahrif, Beirut: Muassasah al-A’lami, 2004).
Dengan penelitian yang mendalam, Anda akan segera tahu bahwa “Hayya ‘ala Khayr al-Amal” adalah sunnah Rasulullah saw yang dijalankan oleh kaum muslimin, terutama pengikut Ahlulbait, sepanjang sejarah. Sementara itu, tidak dicantumkannya “Hayya ‘ala Khayril ‘Amal” dalam Azan bukan saja pengabaian akan sunnah tetapi juga bid’ah itu sendiri.
Pertanyaan #26
Wudhu Syiah Berbeda: Kakinya Diusap, Tidak Dibasuh?
Tuduhan
Syiah berwudlu dengan mengusap kaki, padahal Sunnah Rasulullah saw mengharuskan kita membasuh kaki.
Jawaban
Syiah mengusap kaki pada wudhu karena mengikuti Al-Quran:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik; usaplah wajahmu dan tanganmu dengan itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (QS Al-Maidah 5:6)
Di bawah ini dikutipkan secara singkat penjelasan para sahabat Nabi saw:
- Diriwayatkan oleh Abd al-Razaq, Ibn Abi alSyaibah, Ibn Majah, dari Ibn ‘Abbas: Manusia bersikukuh membasuh kaki, padahal tidak aku dapatkan dari Kitab Allah kecuali mengusap (menyapu). Abd al-Razzaq dan Ibn Jarir dari Ibnu Abbas: Wudlu itu dua basuhan (muka dan tangan) dan dua usapan (kepala dan kaki). Begitu pula Ibn Abi Syaibah dari ‘Ikrimah. Abd al-Razzaq dan Abd bin Hamid dari Ibnu Abbas: Allah mewajibkan dua basuhan dan dua usapan. Tidakkah kamu perhatikan bahwa ketika Dia menyebutkan tayammum, Dia jadikan tayammum itu sebagai pengganti dua basuhan dan meninggalkan dua usapan (Tafsir al-Durr al-Mantsur 6:28).
- Ketika Ibnu Abbas mendengar Al-Rabi’ bint Ma’udz bin ‘Afra Al-Anshariyah menyebarkan berita bahwa Nabi saw berwudlu di tempatnya dan membasuh kedua kakinya, ia mendatanginya dan menanyakan peristiwa itu. Segera setelah Al-Rabi’ menyampaikan hadisnya, Ibnu Abbas menolaknya dengan berkata: Orang banyak bersikukuh dengan membasuh padahal tidak aku dapatkan dari Kitab Allah kecuali mengusap (Ibn Majah, 1, ; Knaz al‘Ummal 9:432).
Ibn Hazm berkata: Sesungguhnya Al-Quran turun untuk mewajibkan mengusap, baik dibaca “arjulikum” atau “arjulakum”. Ada kelompok ulama salaf yang berpendapat tentang “mengusap”, antara lain: Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Al-Hasan, ‘Ikrimah, al-Syu’bi dan banyak lagi yang lainnya. Ini juga pendapat al-Thabari. Tentang mengusap itu diriwayatkan banyak hadis (Al-Muhalla 2:56-57). Tetapi setelah itu Ibn Hazm mengatakan bahwa ayat Al-Quran tentang wudlu itu dimansukh dengan hadis “Neraka Wayl bagi yang tidak membasuh tumitnya” (wayl lil A’qab min al-Nar).
Bagi Syi’ah, Hadis tidak bisa menghapuskan Al-Quran. Hadis yang menunjukkan bahwa kaki harus dibasuh diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin AlAsh (dalam Al-Shahihayn), Umar, Aisyah, Abu Hurairah: “Kami ketinggalan dalam perjalanan bersama Nabi saw. Kami sampai dan waktu salat Asar telah tiba. Kami semua menyapu kaki kami. Ia berseru: Wayl lil A’qab min an-Nar!”. Hadis ini justru menegaskan bahwa para sahabat mengusap kakinya. Rasulullah saw menganjurkan mereka untuk membasuh kakinya hanya karena kaki-kaki mereka sudah sangat kotor dan pasti bernajis dari perjalanan mereka.
Hadis lain mengenai membasuh kaki diriwayatkan oleh Utsman bin ‘Affan. Ia membasuh kakinya tiga kali (Shahih Bukhari 1:140). Juga ada riwayat dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim (Muslim, Kitab alThaharah). Karena hadis-hadis ini bertentangan dengan Al-Quran, sebagaian ulama Ahlussunnah seperti Ibn Hazm menyebutkan bahwa hadis ini menghapus (nasakh) ayat Al-Quran; sebagian lagi seperti Anas dan Al-Sya’bi mengatakan: Al-Quran turun dengan perintah mengusap tapi Sunnah yang berlaku adalah membasuh. Sebagian lagi seperti Al-Thabari menganjurkan untuk melakukan dua-duanya: mengusap dan membasuh kaki Al-Bukhari (lihat Al-‘Asqalani, Al-Ishabah 1:187, pada tarjamah Tamim bin Zaid)
Pertanyaan #27
Tata Cara Shalat Syiah Berbeda: Tangan Lurus, Tidak Bersedekap?
Tuduhan
Tangan lurus ketika berdiri salat adalah salah satu bid’ah ciptaan Syiah
Jawaban
Kedua tangan lurus pada waktu berdiri disebut irsâl; sedangkan posisi tangan kanan di atas tangan kiri disebut takattuf, bersedekap. Semua mazhab dalam Islam sepakat tentang tidak adanya kewajiban untuk takattuf. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal tidak wajibnya itu.
Kelompok pertama berpendapat bahwa takattuf itu hukumnya sunnah (mustahabbah) pada salat wajib dan salat sunnah. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Syafii, Hanbali. Menurut Al-Nawawi, ini juga pendapat Abu Hurairah, ‘Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya. Seperti ini juga sejumlah tabi’in seperti Sa’id bin Jubayr, Al-Nakh’I, dan Abu Mujallad. Sealiran dengan ini juga sejumlah fuqaha seperti Sufyan, Ishaq, Abu Tsawr, Dawud dan jumhur ulama (Al-Majmu’ 3:313).
Kelompok kedua menetapkan boleh (mubah) dalam salat sunnah, tetapi makruh dalam salat wajib. Ibn Rusyd meriwayatkan pendapat ini dari Imam Malik (Bidayat alMujtahid, 1:137). Menurut Al-Nawawi, dari riwayat Abd al-Hakim, Malik menyuruh takattuf; tapi dari riwayat Ibn Qasim, pendapat Malik itu irsal. Dan inilah yang lebih terkenal (Al-Majmu’, 3:312). Sayyid Murtadha melaporkan dari Malik dan Al-Layts bahwa keduanya berpendapat boleh takattuf karena lamanya berdiri dalam salat sunnah (Al-Intishar 140).
Kelompok ketiga menetapkan boleh memilih antara takattuf dan irsal. Menurut Al-Nawawi, inilah pendapat Al-Awza’i.
Kelompok keempat menetapkan batalnya salat karena bersedekap. Inilah kesepakatan ulama mazhab Syiah. Menurut Al-Nawawi, Abdullah bin Al-Zubayr, Al-Hasan al-Bashri, Al-Nakh’i. Ibn Sirin semuanya melarang bersidekap (takattuf) dan menyuruh irsal.
Berikut ini adalah alasan-alasan Syiah tentang wajibnya irsâl:
Analisa hadis-hadis tentang takattuf
Pertama, hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibn Hazim, dari Sahl bin Sa’ad. Ia berkata; Orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas siku tangan kirinya dalam salat. Kata Abu Hazim: Aku tidak kecuali ia menisbahkan kepada Nabi saw (Ibn Hajar, Syarh Shahih al-Bukhari 2:224). Kata Isma’il, guru Al-Bukhari: “yunmâ dzâlika” (dinisbahkan demikian) dan bukan “yanmî dzalika” (menisbahkan demikian)
Ketika Sahl berkata “orang-orang diperintahkan”, kita perlu bertanya siapa yang memerintahkan: Nabi saw atau sahabat-sahabat lainnya? Menurut Isma’il, ia dinishbahkan saja kepada Nabi saw. Ibn Hajar mengatakan bahwa kalau sahabat berkata begitu pastilah yang memerintahkannya adalah Nabi saw. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa para sahabat “menyembunyikan” Nabi saw, padahal untuk menjelaskan perintah syara’, mereka pasti lebih terhormat dan lebih meyakinkan kalau mereka berkata: Nabi saw memerintahkan kami. Mereka akan lebih bangga mengatakan apa yang didengarnya langsung dari Nabi saw. Kata Al-Suyuthi: “Para sahabat tidak memastikan itu dari Rasulullah saw karena kehati-hatiannya” (Tadrib al-Rawi 119). Artinya, kuatir bahwa perintah itu bukan berasal dari Nabi saw, walaupun mereka yakin itu dari Nabi saw.
Menurut Ushul Fiqh, kata “diperintahkan” itu bersifat mujmal. Karena itu menisbahkannya kepada Nabi saw memerlukan dalil lainnya, supaya bisa dijadikan hujjah. Abu Hazim tidak menjelaskan dalilnya. Karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi hadis ini bertentangan dengan hadis-hadis lain yang lebih banyak tentang cara salat Nabi saw (seperti yang akan disampaikan di bawah). Jika kita memperhatikan hadis Muslim tentang takattuf, Nabi saw melakukannya bukan karena itu sunnah tetapi karena Nabi saw ingin merapatkan pakaiannya ke tubuhnya.
Kedua, hadis yang diriwayatkan Muslim dari Wa-il bin Hujur: Ia melihat Nabi saw mengangkat tangannya bertakbir ketika memasuki salat. Kemudian ia menutupkan pakaiannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika ia mau melakukan ruku’ ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya. Kemudian ia mengangkat tangannya dan bertakbir dan ruku’ (Muslim, 1:382, Kitab al-Shalat).
Dalam pengertian hadis ini, Nabi saw mengambil ujung-ujung pakaiannya dan menutupkannya ke dadanya. Jadi tangan beliau yang kiri mengambil ujung baju sebelah kiri dan menutupkannya pada tangan sebelah kiri yang memegang ujung pakaiannya juga. Beliau melakukannya karena pertimbangan praktis untuk merapatkan pakaian ke badannya karena kedinginan atau sebab-sebab lainnya. Tapi lepas dari masalah penafsiran, dalam sanad hadis Muslim ini ada Hamam. Jika yang dimaksud adalah Hamam bin Yahya, maka Yahya bin al-Qaththan meremehkan hadisnya. Yahya bin Sa’id tidak mau menerima kebanyakan hadis Hamam (Huda al-Sari 1:267). Walaupun Abu Hatim menganggap dia tsiqat (terpercaya), dalam kaidah ilmu hadis, yang mencela didahulukan daripada yang memuji.
Ketika mentakhrij hadis yang bersumber dari Wa-il bin Hujur, dalam Sunan al-Baihaqi kita menemukan tiga jalur: Pertama melewati Hammam. Kedua, melewati Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin Ja’far yang adalah Ibn Najih menurut Ibn Mu’in: laysa bi sya’i. Menurut Al-Nasai: ditinggalkan (matruk). Waki’ bila menemukan hadisnya, mengecamnya dan mengatakan bahwa orang sudah sepakat tentang kedha’ifannya (Tahdzib al-Tahdzib 5:174). Ketiga, melewati Abdullah bin Raja-I, yang menurut ‘Amr bin ‘Ali al-Falas: Ia banyak sekali salahnya dan tashhif (mengubahubah kalimat). Bukan hujjah (Huda al-Sari 1:437).
Ketiga, hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Mas’ud: Ia biasa melakukan salat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya. Kemudian ia melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (Sunan al-Baihaqi 2:44, hadis 2327). Kita mengetahui bahwa Abdullah bin Mas’ud termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam. Ia mendapat gelar “orang yang pertama membacakan Al-Quran kepada orang kafir setelah Rasulullah saw”. Sangat mengherankan bahwa ia baru belakangan melihat Nabi saw meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Tapi di luar masalah penafsiran makna, hadis ini dha’if karena dalam sanadnya ada Hasyim bin Basyir, yang terkenal melakukan tadlis.
Marilah kita baca kembali hadis tentang tatacara Rasulullah saw salat, (lihat juga Tidak Membaca Amin):
Berkata Abu Hamid al-Sa’idi: Aku orang yang paling tahu tentang salat Rasul Allah saw… kemudian ia berkata: Bila Rasulullah saw berdiri untuk salat ia mengangkat tangannya sampai selurus bahu, dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat. Lalu ia membaca (Al-Fatihah); kemudian ia bertakbir, mengangkat tangannya, sampai selurus bahunya, kemudian rukuk dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian ia berkata: Allahu Akbar, kemudian turun ke atas tanah dan merenggangkan kedua tangannya di samping (tubuhnya). Lalu ia mengangkat kepalanya, dan meratakan telapak kaki kirinya dan duduk di atasnya…(dan seterusnya). Sahabat-sahabat lain yang hadir waktu itu berkata: Benar, memang begitulah Rasulullah saw salat. (Di antara sahabat yang hadir waktu itu ialah Abu Hurairah, Sahl al-Sai’di, Abu Usayd al-Sâ’idi, Abu Qatadah; lihat Sunan al-Baihaqi 2:105, hadis # 2517; Sunan Abi Dawud 1:194, Bab Iftitah al-Salat, hadits # 730; Sunan al-Turmudzi 2:105, hadits # 304, Bab Iftitah al-Salat).
Dalam hadis yang dibenarkan oleh para sahabat itu dijelaskan sangat terinci cara salat Nabi saw. Tidak ada di situ ketentuan di mana harus meletakkan tangan. Tangan seperti anggota badan lainnya, setelah takbir kembali ke tempatnya semula. “..dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat” – hatta yaqirra kullu ‘udhwin minhu fi mawdhi’ihi mu’tadilan.
Ibn Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid 1:137 menyatakan: Telah datang riwayat-riwayat yang kokoh yang meriwayatkan sifat salat nabi saw dan tidak diriwayatkan di dalamnya bahwa ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya…dan orang-orang berpendapat bahwa yang wajib itu ialah kembali kepada riwayat-riwayat tersebut yang tidak ada penambahan ini (ketentuan tentang letak tangan), karena riwayat-riwayat tersebut lebih banyak…“
Pertanyaan #28
Tata Cara Shalat Syiah Berbeda: Tidak Membaca Amin?
Tuduhan
Syiah tidak mengucapkan “Amin” setelah membaca Al-Fatihah. Dengan begitu, mereka menyalahi ketentuan syariat.
Jawaban
Membaca “Amin” termasuk masalah khilafiyah (perbedaan) yang biasa terjadi di antara berbagai mazhab. Semua mazhab sepakat bahwa membaca “Amin” bukan kewajiban. Kata Al-Jazîrî: “Di antara sunnah-sunnah Salat ialah membaca “Amîn” setelah selesai membaca Al-Fatihah. Sunnah bagi Imam dan Ma’mum dan dalam salat munfarid…Sampai di sini sepakat tiga imam mazhab –Hanafi, Syafi’I, Hanbali.
Menurut pendapat Maliki; mandubah dan bukan sunnah.“ (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 1;150) Abu Hanifah dan Sufyan berkata: “Amin diucapkan Imam tapi tidak diucapkan makmum (yukhfihi al-ma’mum)” (Al-Majmu’ 3:373; Al-Mughni 1:49). Dari Malik ada dua riwayat: Pertama sama seperti pendapat Abu Hanifah; Kedua: sama sekali tidak memberikan pendapatnya (Al-Muhalla 3:264; Al-Mughni 1:489, 490; Al-Majmu’ 3:373). Menurut Al-Syafi’i: Makmum mengucapkannya dalam hati tapi dalam pendapat terakhir – menjaharkannya sahabat Imam Syafi’i berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa jika shaf-shafnya berdekatan dan makmum semuanya mendengarkan imam, sebaiknya makmum tidak mengeraskan bacaan “Amin”. Jika shafnya banyak, dianjurkan makmum mengeraskannya supaya yang dibelakangnya mendengarkannya (Al-Majmu’ 3:368). Kata Ahmad, Ishaq, Abu Tsawr, dan Al-‘Atha: Disunnahkan menjaharkannya (Al-Majmu’ 3:373; Al-Muhalla 3:364).
Dalam Syiah (mazhab Ja’fari): Membaca “Amîn” tidak disunnahkan, dengan alasan-alasan berikut:
-
Dari cara-cara salat yang diajarkan Nabi saw secara terperinci tidak disebutkan ketentuan untuk membacakan “Amîn”.
Perhatikan hadis berkut ini:
Berkata Abu Hamid al-Sa’idi: Aku orang yang paling tahu tentang salat Rasul Allah saw… kemudian ia berkata: Bila Rasulullah saw berdiri untuk salat ia mengangkat tangannya sampai selurus bahu, dan ia bertakbir sampai semua anggota badannya menetap pada tempatnya yang tepat. Lalu ia membaca (Al-Fatihah); kemudian ia bertakbir, mengangkat tangannya, sampai selurus bahunya, kemudian rukuk dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian ia berkata: Allahu Akbar, kemudian turun ke atas tanah dan merenggangkan kedua tangannya di samping (tubuhnya). Lalu ia mengangkat kepalanya, dan meratakan telapak kaki kirinya dan duduk di atasnya…(dan seterusnya). Sahabat-sahabat lain yang hadir waktu itu berkata: Benar, memang begitulah Rasulullah saw salat. (Di antara sahabat yang hadir waktu itu ialah Abu Hurairah, Sahl al-Sai’di, Abu Usayd al-Sâ’idi, Abu Qatadah; lihat Sunan al-Baihaqi 2:105, hadis # 2517; Sunan Abi Dawud 1:194, Bab Iftitah al-Salat, hadits # 730; Sunan al-Turmudzi 2:105, hadits # 304, Bab Iftitah al-Salat).
-
Perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah tentang “Amîn” berasal dari tidak kuatnya hadis-hadis yang dijadikan sandaran untuknya.
Ada dua kelompok hadis tentang “Amîn”: (1) hadis-hadis dari Abu Hurairah; dan (2) hadis-hadis dari yang tidak melalui Abu Hurairah.
Terkait hadis-hadis Abu Hurairah, para peneliti hadis mempersoalkan ‘adalahnya Abu Hurairah. Bukan hanya para peneliti hadis, para ulama terdahulu dan bahkan para sahabat pun menganggap Abu Hurairah tidak dapat dipercayai dalam meriwayatkan hadis:
-
Khalifah Umar pernah memperingatkan Abu Hurairah dan memukulnya dengan cemeti serta melarangnya meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Khalifah berkata kepadanya: “Kamu terlalu banyak meriwayatkan hadis. Aku yakin kamu berdusta kepada Rasulullah saw. Jika kamu tidak berhenti meriwayatkan hadis dari Nabi saw, aku usir kamu ke Daws kabilahmu atau aku kirim kamu ke negeri monyet” (Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala 2:433, 8: 106).
-
Imam Ali kw berkata: “Ketahuilah, manusia yang paling pembohong-atau ia berkata: makhluk hidup yang paling banyak berdusta atas nama Nabi saw adalah Abu Hurairah al-Dawsi (Syarh Ibn Abi al-Hadid, 4:64, Syarh Khuthbah 56).
-
Ibn Qutaybah, al-Hakim, Al-Dzahabi, dan Muslim menyebutkan bahwa ‘Aisyah berkata berulangkali; Abu Hurairah kadzdzab, tukang berbohong;. Ia telah banyak membuat hadis dan menisbahkannya pada lidah Nabi saw (Al-Hakim, Kitab Ma’rifat al-Shahabah, 3: 513; tarjamah Abu Hurairah).
-
Para ulama Mu’tazilah dan ulama mazhab Hanafi semuanya menolak hadis-hadis Abu Hurairah dan mengumumkan bahwa hukum atau fatwa yang keluar berdasarkan riwayat melalui Abu Hurairah bathil wa ghayri maqbul, bathil dan tidak boleh diterima (Syarh Ibn Abi al-Hadid 1:360).
-
Abu Hanifah berkata: Semua sahabat Nabi saw bagiku terpercaya dan ‘udûl (jujur, bersih, dan tidak pernah salah) dan semua hadis yang berasal dari mereka shahih dan dapat diterima kecuali hadis-hadis yang bersambung kepada Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Samurah bin Jundab. Aku tidak menerimanya. Hadishadis dari mereka ditolak dan dibuang (Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Mirqat al-Wushul, Muhammad bin Faramuz alHanafi, Pembahasan yang ketiga tentang Keadaan Rawi; lihat Syaikh al-Mudhirah: Abu Hurairah, 146).
Untuk hadis-hadis yang berasal dari sahabat selain Abu Hurairah, kita mendapatkannya dalam Sunan Ibn Majah, 1:278, Kitab al-Salat, Bab Al-Jahr bi-Amin; Sunan Abi Dawud, 1:246, Kitab al-Salat, Bab Al-Ta’min wara-a Al-Imam; Sunan al-Turmudzi, 2:30, Kitab al-Salat, Ma Ja-a fi al-Ta’min. Hadis-hadis itu semuanya dha’if dengan penjelasan sebagai berikut:
-
Sunan Ibn Majah:
Hadis pertama dari Ali bin Abi Thalib. Dalam sanadnya ada Hamid bin Abd al-Rahman bin Abi Layla. Ia sangat jelek hafalannya. Kata Abu Hatim: Ia seorang Syaikh yang hadisnya tidak boleh dijadikan hujjah, la yuhtajju bi haditsih (Tahdzib al-Tahdzib 2:190; lihat Basyar ‘Awwad, Syarh Sunan Ibn Majah, 2:136, hadis 854).
Hadis kedua dari Abdul Jabbar bin Wa-il bin Hujur adalah dhaif munqathi’, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya; ia lahir enam bulan setelah bapaknya meninggal dunia (Basysyar ‘Awwad, Syarh ibn Majah, 2:137; Al-Bukhari, Tarikh al-Kabir, 6:106; Tahdzib al-Kamal, 16:396; Ibn Hibban, Kitab al-Majruhin, 2:273).
Hadis ketiga dari dari ‘Aisyah adalah juga hadis dha’if, karena dalam isnadnya ada Suhayl bin Abi Shalih. Kata Ibnu Mu’in: Hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Abu Hatim: Hadisnya boleh dituliskan tapi tidak boleh dijadikan hujjah (Tahdzib al-Tahdzib 4:263).
Hadis keempat dari Ibnu Abbas juga sangat dha’if, menurut ahli hadis karena dalam sanadnya ada Thalhah bin ‘Amr. Dia matruk, dha’if jiddan! (Syarh Sunan Ibn Majah 2:138; Tadh’if Ibn Majah, Al-Albani 183; Tuhafat al-Asyraf, 5:83; Al-Musnad al-Jami’ 8:488, hadis 6112). Kata Ibn Sa’ad: Thalhah bin ‘Amr meninggal di Makkah pada tahun 102 H. Ia banyak meriwayatkan hadis, sangat dhaif (Al-Thabaqat al-Kubra 5:494).
-
Sunan Abi Dawud:
Ada empat hadis dalam Sunan Abi Dawud tentang membaca Amîn. Dua hadis tentang bacaan amin dalam salat dan dua lagi tentang bacaan Amin untuk menutup doa. Keempat hadis itu dha’if dengan alasan-alasan berikut ini.
Hadis yang pertama dan kedua bersumber dari Wail bin Hujur. Pada isnadnya ada periwayat hadis yang dipertentangkan oleh ulama tentang keshahihannya. Berdasarkan kaidah ilmu hadis, Al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’di, yang mencela didahulukan dari pada yang memuji, di sini kita kutipkan hanya yang menjarh saja. Hadis pertama dicacat (a’allahu) oleh Ibn Qaththan karena ada Hujur bin ‘Anbas. Ia tidak dikenal (‘Awn alMa’bud, Syarh Abi Dawud 2:145). Hadis kedua dalam sanadnya ada ada Ali bin Shalih (sebenarnya Al-Ala bin Shalih) yang menurut Ibn Al-Madini: Ia banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar. Al-Bukhari berkata: Tidak boleh diikuti. Kata Ibn Hajar: Ia jujur tapi banyak kesalahan, shaduq lahu awham (Tahdzib al-Kamal 22:512; Tahdzib al-Tahdzib 8:64).
Hadis ketiga mempunyai sanad yang dha’if juga karena ada ‘Ashim al-Ahwal yang, menurut Ibn Idris, mempunyai perilaku yang buruk. Ia menolak hadis-hadisnya (Tahdzib al-Tahdzib 6:39).
-
Sunan al-Turmudzi:
Ada dua hadis dalam Sunan al-Turmudzi. Selain dalam kedua hadis itu ada Hujur bin ‘Anbas dan Al-Ala bin Shalih sebagai orang-orang dha’if dalam Sunan Abu Dawud, dalam hadis pertama ada Bandar Muhammad bin Basysyar. Menurut Al-Dzahabi, ia dicurigai pendusta dan penipu, Ibn Mu’in mendha’ifkannya dan Al-Qawariri tidak menyukainya (Al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal, 3:49, hadis 7269).
-
-
Di bawah ini dikutipkan fatwa Sayyid Murtadha dalam Al-Intishar 144. Setelah mengutip antara lain, Al-Muhalla, yang mengatakan “Di antara kekhususan Imamiyah1 ialah lebih menyukai meninggalkan lafazh ‘Amin’ setelah membaca Al-Fatihah, karena kebanyakan Fuqaha mengatakan bahwa mengucapkan ‘Amin’ itu sunnah”, Sayyid Al-Murtadha berkata: “Dalil kami baginya ialah kesepakatan mazhab kami bahwa kata Amin itu bid’ah dan membatalkan salat. Termasuk juga ihtiyath. Tidak ada perbedaan di antara berbagai mazhab bahwa barangsiapa meninggalkan kata itu ia tidak bermaksiat dan tidak membatalkan salatnya. Tentang hukum mengucapkannya terjadi ikhtilaf, dan mazhab Imamiyah menetapkan bahwa membaca “Amin” itu bid’ah dan membatalkan salat. Tidak ada ikhtilaf juga bahwa kata “Amin” itu bukan Al-Qur’an dan secara tersendiri bukan du’a dan tasbih. Mengucapkannya berarti mengucapkan kata yang bukan Al-Qur’an dan tasbih.“
Sebutan lain dari mazhab Syiah: mazhab Ahlulbait, mazhab Ja’fari atau mazhab Imamiyah
Pertanyaan #29
Tata Cara Shalat Syiah Berbeda: Baca Qunut Pada Setiap Shalat?
Tuduhan
Di antara bid’ah yang dilakukan Syi’ah ialah selalu membaca qunut pada setiap salat, dan alih-alih setelah ruku’, qunut dibaca sebelum ruku’.
Jawaban
Dalam mazhab-mazhab Ahlussunnah, disunatkan qunut dalam salat, tetapi para fuqaha berbeda pendapat tentang salat yang dibacakan di dalamnya qunut. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali: Qunut dilakukan dalam salat Witir; menurut Hanafi: sebelum rukuk; menurut Hanbali: sesudah rukuk; dan tidak ada qunut pada salat-salat yang lainnya. Menurut Maliki dan Syafi’i: Qunut dilakukan dalam salat Subuh sesudah rukuk, tetapi yang afdhal menurut Maliki sebelum rukuk. Menurut Malik dimakruhkan qunut dalam salat selain Subuh. Disunatkan juga-menurut Hanafi, Syafi’I, Hanbali-qunut pada semua salat wajib ketika terjadi bencana (nazilah). Tetapi Hanbali membatasinya hanya pada salat Subuh, dan Hanafi membatasinya pada salat jahar (Maghrib, Isya, dan Subuh-editor) (Dr Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1:809).
Dalam mazhab Ahlulbait as, qunut disunnahkan dibaca pada setiap salat, baik yang wajib maupun yang sunnah, pada rakaat kedua sebelum rukuk. Mereka berpegang pada perintah Al-Qur’an: “wa quumuu lillahi qaanitiin Berdirilah untuk Allah dalam keadaan qunut” (Al-Baqarah 238) dan hadis dari Imam Musa al-Kazhim as (Al-Tahdzib 2:89; Al-Istibshar 1:338; al-Rasa-il 4:900).
Walhasil, dapat disimpulkan bahwa semua fuqaha dari mazhab apa pun sepakat bahwa qunut itu adalah Sunnah Nabi saw. Mereka hanya tidak sepakat mengenali perincian pelaksanaan qunut saja.
Di bawah ini dalil-dalil dari kitab-kitab hadis Ahlussunnah tentang qunut pada setiap salat dan qunut sebelum rukuk:
-
Qunut pada setiap Salat:
Nabi saw pernah qunut satu bulan mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup kemudian meninggalkannya (Muslim 1:466 hadis 675). Semua sepakat bahwa Nabi saw melakukan qunut itu pada setiap salatnya. Ada keterangan bahwa Nabi saw tidak henti-hentinya melakukan qunut pada waktu Subuh sampai meninggal dunia (Sunan Al-Daruquthni 2:39, hadis 9; Sunan al-Baihaqi 2:198); dan ada keterangan juga bahwa ia selalu qunut pada salat Maghrib (Al-Bukhari ?:? ; Sunan al-Baihaqi 2:245). Jadi artinya para sahabat melaporkan qunut Nabi saw bukan hanya pada Salat Subuh saja. Mereka melaporkan qunut pada Maghrib dan juga pada Witir. Dalam hadis dari Al-Barra bin Azib diberitakan bahwa “Setiap kali Rasulullah saw salat yang difardhukan ia selalu qunut di dalamnya” (Sunan alDaruquthni 2:37, hadis 4).
-
Qunut sebelum Rukuk:
Dari ‘Ashim: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut dan ia berkata: Qunut ada pada (zaman) Rasulullah saw. Aku tanya: Sebelum atau sesudah rukuk? Ia menjawab: Sebelum rukuk. Aku berkata: Tetapi Fulan memberitahukan kepadaku bahwa engkau berkata sesudah rukuk. Anas berkata: Bohong. Karena Rasulullah saw hanya qunut sesudah rukuk satu bulan saja (Al-Bukhari 2:14, Bab al-Qunut qabla al-Ruku’ wa ba’dahu). Dalam Muslim, ketika Anas ditanya tentang qunut sebelum atau sesudah rukuk, ia menjawab “sebelum ruku”. Kata ‘Ashim: Tetapi orang-orang mengira bahwa Rasulullah saw berqunut sesudah rukuk (Muslim, Kitab al-Masajid, hadis 301).
Sekiranya qunut itu hanya boleh dibacakan pada setiap salat ketika turun musibat atau bencana (qunut Nazilah), maka masyarakat Syi’ah akan tetap menjalankan qunut. Musibat apa lagi yang lebih besar dari perpecahan di antara kaum muslimin, ketika satu kelompok mazhab menyerang kelompok mazhab yang lain. Tengoklah suasana kaum muslimin di dunia sekarang ini. Musibat apa lagi yang lebih besar daripada pembantaian yang dilakukan negara-negara adikuasa pada kaum muslimin (jr,-editor).
Pertanyaan 30
Tata Cara Shalat Syiah Berbeda: Mengangkat Tangan Pada Setiap Takbir dan Mengakhiri Salat dengan Takbir
Tuduhan
Syiah mempunyai cara salat yang aneh. Setiap kali takbir selalu mengangkat tangan dan mengakhiri salat dengan bertakbir sambil mengangkat tangan beberapa kali.
Jawaban
Mengangkat tangan pada setiap takbir
Al-Nawawi dalam Syarh Muslim 3:95 menyebutkan:
Seluruh mazhab sepakat bahwa disunnahkan mengangkat tangan pada waktu takbiratul ihram. Perbedaan/ikhtilaf terjadi tentang mengangkat tangan di luar takbiratul ihram. Menurut Syafi’i, Ahmad dan jumhur sahabat r.a. disunatkan juga mengangkat tangan (pada tempat kedua dan ketiga) ketika mau rukuk, ketika bangkit dari rukuk. Ada riwayat juga dari Malik dan Syafi’i disunnahkan pada tempat yang keempat yaitu ketika berdiri dari tasyahhud awwal. Pendapat ini benar karena hadis yang shahih dari Ibn ‘Umar dari Nabi saw bahwa ia melakukannya seperti itu. Sudah shahih juga hadis Abu Hamid Al-Sa’idi; diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Al-Turmudzi dengan sanad-sanad yang shahih. Menurut Abu Bakr bin al-Mundzir dan Abu ‘Ali Al-Thabari dari sebagian sahabat kami dan sebagian ahli hadis disunnahkan juga mengangkat tangan sekitar sujud (sebelum sujud dan ketika bangkit dari sujud).
Tulisan Al-Nawawi di atas adalah penjelasan untuk hadis-hadis Shahih Muslim, Kitab al-Shalât, Bab “Istihbab raf ’al-yadayni hadzwa al-mankibayn”. Salah satu di antara hadis-hadis itu adalah hadis dari Al-Malik bin Al-Huwairits: Rasulullah saw ketika bertakbir mengangkat tangannya sampai selurus telinganya. Ketika ia mau rukuk ia mengangkat tangannya sampai selurus telinganya, dan ketika ia mengangkat kepalanya dari rukuk dan berkata: Sami’allahu liman hamidah, ia melakukan seperti itu. Kalimat “Kâna idza kabbara, rafa’a yadayhi” menunjukkan kebiasaan Rasulullah saw. Setiap kali ia bertakbir ia mengangkat tangannya. Periwayat hadis kemudian memberikan beberapa contoh-ketika mau rukuk dan ketika bangkit sesudah rukuk.
Para fuqaha Syi’ah berpendapat mengangkat tangan untuk setiap kali takbir berdasarkan penafsirannya pada hadis-hadis ini, dan tentu saja berdasarkan contoh dari para imam. Pendapat ini juga ternyata didukung oleh–menurut Al-Nawawi– “Abu Bakr bin al-Mundzir dan Abu ‘Ali Al-Thabari dari sebagian sahabat kami dan sebagian ahli hadis”. Mereka juga mensunnahkan mengangkat tangan sebelum dan sesudah sujud.
Dari Wa-il bin Hujur dan Malik bin Al-Huwairits, dari Rasulullah saw: Beliau selalu mengangkat tangan ketika takbir sampai selurus kedua telinganya (Shahih Muslim 1:293 hadis 391; Sunan ibn Majah 1:279 hadis 859).
Mengakhiri salat dengan takbir
Syi’ah mengakhiri salatnya dengan salam dan sesudah salam ia mengangkat tangannya dan bertakbir. Selain mengambil teladan dari para imam, mereka juga berhujjah dengan hadis-hadis berikut ini: Dari Ibn Abbas, ia berkata: Kami baru mengetahui berakhirnya salat Rasulullah saw dengan (mendengar) takbirnya; dari mawla Ibn Abbas, ia mendengar Ibn Abbas memberitahukan kepadanya: Kami tidak pernah tahu berakhirnya salat Rasulullah saw kecuali dengan takbir; Ibn Abbas juga memberitahukan kepadanya bahwa pada zaman Nabi saw ketika orang-orang menyelesaikan salat fardhu mereka mengeraskan suara zikirnya. Kata Ibnu Abbas: Aku tahu salat sudah selesai apabila aku mendengarnya (Shahih Muslim, Kitab al-Masajid, Bab al-Dzikr ba’d al-Salat, hadis 120-122)
Artinya Rasulullah saw –begitu pula para sahabatbertakbir ketika mengakhiri salatnya. Karena ia selalu mengangkat tangannya pada waktu takbir, ia menutup salatnya dengan mengangkat tangan sebanyak ia mengucapkan takbirnya.
Catatan
Semua mazhab sepakat bahwa salat ialah perkataan dan gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ucapan takbir yang dikeraskan setelah salam hanyalah untuk menunjukkan kepada orang banyak bahwa salat telah diakhiri dengan salam.
Apa yang dimaksud dengan takbir? “Allahu Akbar”.
Apa yang dimaksud dengan salam dalam salat? Dalam
kitab-kitab fiqh disebutkan ada tiga macam salam:
As-Salāmu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullāhi wa
barakātuh
As-Salāmu ‘alayna wa alā ibādillāhish Shālihîn
As-Salāmu ‘alaykum wa rahmatullāhi wa barakātuh
Dalam mazhab Syi’ah, sesuai dengan definisi salat di atas, semua salam itu dikumpulkan pada tasyahud akhir sebagai penutup salat.
Pertanyaan #31
Syiah Musyrik, Karena Sujud di Atas Tanah?
Tuduhan
Syiah melakukan kemusyrikan karena setiap kali salat mereka bersujud kepada tanah; khususnya tanah yang diambil dari Karbala, tempat syahidnya Imam Huseyn as.
Jawaban
Syi’ah bersujud di atas tanah (bukan kepada tanah) karena melaksanakan sunnah Nabi saw. Jika kita merujuk pada hadis-hadis tentang cara bersujudnya Nabi saw, kita mengetahui bahwa Nabi saw bersujud di atas (1) tanah, (2) tikar yang terbuat dari daun kurma, (3) kain bila ada halangan untuk bersujud di atas tanah.
Nabi saw bersujud di atas tanah
Dari Ali, Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, jabir, Ibn ‘Abbas, Hudzaifah, Anas, Abu ‘Umamah, Abu DzarNabi saw bersabda: “Dijadikan bagiku tanah untuk tempat sujud dan untuk bersuci” (Shahih al-Bukhari 1:86, 113; Shahih Muslim 2:64; Shahih al-Nasai 2:32; Shahih Abu Dawud 1:79; Shahih al-Turmudzi 2:114; Al-Sunan AlKubra 2:433, 435).
Ibnu ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya Nabi saw bersujud ke atas batu.” (Al-Hakim 3;473; AlDzahabi menshahihkannya).
Abu Sa’id al-Khudri berkata: Aku melihat dengan mata kepalaku pada hidung dan dahi Rasulullah saw bekas air dan tanah (setelah sujud)-lihat Shahih alBukhari 1:163, 198; Sunan Abu Dawud 1:143.
Dari Jabir bin Abdullah: Aku salat bersama Rasulullah saw salat Zhuhur. Ia mengambil segenggam tanah dalam telapak tangannya agar tanah itu menjadi dingin kemudian ia bersujud di atas tanah (yang didinginkannya itu) karena panasnya yang sangat. Hadis ini diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1:327, Al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubra 2:105.
Al-Baihaqi berkata: Berkata Al-Syaikh: Sekiranya sujud diperbolehkan di atas kain yang menempel padanya, maka menggunakan kain untuk mendinginkan tanah lebih mudah daripada mendinginkan dengan telapak kaki dan meletakkannya lagi waktu sujud. Dari Khabab bin Al-Arat: Kami mengadukan kepada Rasulullah saw panas yang sangat pada dahi kami dan telapak tangan kami, tapi Rasulullah tidak mengizinkan kami (untuk sujud di atas kain)-Al-Sunan Al-Kubra 2:105, 107; Nayl al-Awthar 2:268).
Dari ‘Iyadh bin Abdillah al-Qurasyi: Rasulullah saw melihat seorang lelaki bersujud pada gulungan serbannya. Ia menunjuk dengan tangannya: Lepaskan serbanmu. Dan ia memberi isyarat pada dahinya (Al-Sunan al-Kubra 2:105).
Rasulullah saw pernah tidur siang di rumah Ummu Sulaym. Ummu Sulaym menghamparkan tikar dan mengambil keringatnya lalu menjadikannya sebagai wewangiannya. Ia menghamparkan khumrah dan salat di atasnya (Al-Sunan al-Kubra, 2;421; dalam kitab yang sama halaman 436 dijelaskan bahwa Rasulullah melakukan salat di atas tikar yang terbuat dari pelepah kurma)
Bersujud di atas kain kalau tanahnya panas
Dari Anas bin Malik: Apabila kami salat bersama Nabi saw dan kalau salah seorang di antara kami tidak sanggup meletakkan dahinya di atas tanah karena panas ia menghamparkan kainnya dan bersujud di atasnya. Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam Shahih alBukhari, 1:101, Bab “Sujud di atas kain karena panas yang sangat”. Tarrib wajhak. Dari Khalid al-Juhani: Nabi saw melihat Shuhayb bersujud seakan-akan menghindari tanah. Ia bersabda kepadanya: Tarrib wajhaka, ya Shuhayb. Ke tanahkan wajahmu, hai Shuhayb“ (Kanz al-‘Ummal 7:165, hadis # 19810).
Bersujud di atas tanah Karbala.
Nabi saw berkata kepada salah seorang di antara Aisyah atau Ummu Salamah: Baru saja datang malaikat yang tidak pernah datang kepadaku sebelumnya. Ia berkata: Anakmu Husayn akan terbunuh. Kalau engkau mau aku perlihatkan padamu tanah yang disitu ia terbunuh. Kemudian ia mengeluarkan tanah merah (Musnad Ahmad bin Hanbal, hadis Ummu Salamah 25985).
Al-Awza’i, guru Abu Hanifah, bila bepergian ia membawa tanah Madinah untuk tempat sujudnya. Ketika ditanya mengapa begitu, ia menjawab: Bukankah bumi yang paling utama adalah tempat dikebumikannya Rasulullah saw. Aku ingin sujudku selalu di atas tanah itu. Sebagaimana Rasulullah saw pernah mencium tanah Karbala dan meletakkannya di atas dahinya. Seperti Al-Awza’I, Syiah menganggap utama bersujud di atas tanah Karbala.
Bersujud di atas karpet bid’ah.
Al-Hafizh al-Kabir Abu Bakr bin Abi Syaibah dengan sanadnya dalam Al-Mushannaf menyampaikan ucapan Ibnu Sirin: Salat di atas karpet bid’ah. Telah shahih hadis dari Rasulullah saw: Sejelek-jeleknya perkara ialah yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan itu bid’ah (Siratu Nabiyyina wa Sunnatuh 146-157).
Pertanyaan #32
Syiah Meremehkan Shalat dengan Menjamak Shalat?
Tuduhan
Syiah meremehkan salat wajib dan suka menggabunggabungkan (menjamak) salat.
Jawaban
Menggabungkan salat disebut dalam istilah fiqh sebagai salat jama’ / jamak. Di bawah ini disebutkan hadis-hadis shahih tentang salat jamak, bukan karena halangan atau karena perjalanan.
Dari Sa’id bin Jubayr, dari Ibn ‘Abbas: Rasulullah saw salat Zhuhur dan ‘Ashar dengan menggabungkannya, dan Maghrib dan ‘Isya dengan menggabungkannya, bukan karena takut dan bukan karena dalam perjalanan (Shahih Muslim 2:151, Kitab al-Salat, Bab Al-Jam’ bayn al-Salatayn fi al-hadhr).
Dari Abdullah bin Syaqiq; Pada suatu hari Ibn ‘Abbas berkhotbah sesudah ‘Ashar sampai tenggelam matahari. Bintang-bintang sudah tampak. Orang-orang berteriak: Salat! Salat! Seorang lelaki dari Bani Tamim mendekati Ibn Abbas tanpa gentar dan tanpa takut: Salat! Salat! Ibnu Abbas berkata kepadanya: Kamu mau mengajariku sunnah? Celakalah kamu! Kemudian ia bersabda: Aku melihat Rasulullah saw menggabung Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya. Kata Abdullah bin Syaqiq: Hatiku tidak enak karena itu. Maka aku datangi Abu Hurairah dan aku menanyakan peristiwa itu. Abu Hurayrah membenarkan pembicaraannya (Shahih Muslim 2:152).
Dari Mu’adz bin Jabal: Rasulullah saw menjamak dalam perang Tabuk di antara Zhuhur dan Ashar, lalu Maghrib dan Isya. Aku bertanya: Apa yang mendorongnya untuk berbuat seperti itu. Ia berkata: Ia tidak ingin memberatkan umatnya (Shahih Muslim 2:152; lihat juga Shahih al-Bukhari 1:141)
Pertanyaan #33
Syiah Mewajibkan Qashar dalam Perjalanan/Safar?
Tuduhan
Syiah selalu meng-qashar dalam salatnya ketika ia dalam perjalanan, menjadi musafir. Padahal yang lebih utama, menurut adalah menyempurnakan salat, bukan memendekkannya.
Jawaban
Ada perselisihan pendapat tentang, apakah qashar salat dalam perjalanan itu suatu ‘azimah (keharusan mutlak) yang tidak boleh ditinggalkan, atau hanya merupakan rukhshah (keringanan) yang menjadi pilihan antara mengqashar dan menyempurnakan? Dalam hal ini Hanafi dan Imamiyah berkata: Ia merupakan ‘azimah (sesuatu yang diharuskan). Jadi qashar adalah ketentuan. Sedangkan mazhab-mazhab lainnya mengatakan: ia hanya rukhshah. Jika mau dikerjakan qashar, dan kalau tidak, boleh menyempurnakan salat“
(Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, , hal 141).
Menurut mazhab Syiah Imamiyah, dalam perjalanan wajib qashar berdasarkan keterangan-keterangan di bawah ini:
- Dari Ibn Abbas: Allah mewajibkan salat melalui lidah Nabimu saw untuk musafir dua raka’at dan untuk muqim (yang tidak bepergian) empat raka’at (Shahih Muslim 1:258; Musnad Ahmad 1:355; Sunan Ibn Majah 3:119; Sunan al-Baihaqi 3:135; Al-Jashash, Ahkam al-Quran, 2:307; Ibn Hazm, Al-Muhalla, 4:271-Kata Ibn Hazm: Kami meriwayatkan hadis ini juga dari Hudzaifah, jabir, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Ibn Umar semuanya dari Rasulullah saw dengan sanad yang sangat shahih; Tafsir al-Qurthubi 5:352; Ibn al-Qayyim, Zadul Ma’ad, hamisy Syarh al-Zarqani 2:221).
- Dari ‘Aisyah, ia berkata: (Pada mulanya) salat diwajibkan dua rakaat dua rakaat baik waktu berada di tempat atau sedang bepergian. Lalu seterusnya begitu untuk salat dalam safar dan ditambah untuk orang yang tidak bepergian. Dalam kalimat Ibn Hazm melalui Al-Bukhari: Salat diwajibkan dua raka’at. Kemudian Nabi saw berhijrah dan salat diwajibkan dengan empat rakaat. Yang dua rakaat ditetapkan untuk salat dalam perjalanan (Shahih al-Bukhari 1:109, 2:105, 5:172; Shahih Muslim 1:257; Muwaththa Malik 1:124; Sunan Abu Dawud 1:187; Kitab al-Umm Al-Syafi’I 1:159; Al-Jashash, Ahkam al-Quran 2:310; Tafsir al-Qurthubi 5:352, 358; Al-Muhalla 4:265).
- Dari Abu Hanzhalah: Aku bertanya kepada Ibn Umar tentang salat dalam safar, ia menjawab: Dua rakaat, sunnah Nabi saw. Dalam kalimat Al-Baihaqi: Salat harus diqashar sesuai dengan sunnah Nabi saw (Musnad Ahmad 2:57; Sunan al-Baihaqi 3:136).
- Diriwayatkan juga Ibn Umar berkata: Salat dalam safar itu dua rakaat. Man khalafa alsunnah faqad kafar. Barangsiapa yang menyalahi sunnah ia sudah kafir (Sunan al-Baihaqi 3:140; al-Muhalla 4:270; Ahkam al-Qur’an 2:310).
- Dari ‘Imran bin Hushayn: Setiap kali aku bepergian bersama Rasulullah saw kapan saja, aku selalu menemukan Rasulullah saw salat dua rakaat sampai ia kembali. Ketika aku berhaji bersama Nabi saw, ia juga salat dua rakaat sampai kembali ke Madinah. Ia tinggal di Makkah 18 hari. Ia selalu salat dua rakaat. Ia berkata kepada penduduk Mekah: Salatlah kalian empat rakaat, karena kami ini semua kaum musafir (Sunan al-Baihaqi 3:135; Ahkam alQuran 2:310)
- Dari Umar bin Khathab, dari Nabi saw. Ia bersabda; Salat musafir dua rakaat sampai ia kembali kepada keluarganya atau meninggal dunia (Ahkam al-Quran 2:310)
- Dari Hafash bin Umar. Ia berkata: Anas bin Malik berangkat bersama kami menuju Syam untuk menghadap Abdul Malik. Kami semua 40 orang dari Anshar. Ketika kami kembali dan kami sampai ke Celah Unta (Fajj alNaqah) kami salat Zhuhur dua rakaat…Tetapi orang-orang menambah lagi dua rakaat lainnya setelah yang dua rakaat itu. Anas bin Malik berkata: Semoga Allah memburukkan muka-muka mereka. Demi Allah Merka tidak mau menjalankan sunnah dan tidak mau menerima rukhshah. Saksikan aku sungguh mendengar Rasulullah saw bersabda: Ada orang-orang yang mendalam-dalami (memberat-berati) agama sampai mereka keluar dari agama seperi melesatnya anak panah dari busurnya (Musnad Ahmad 3:159; Al-Haitsami dalam al-Mujma’ 2:155)
Jika salat qashar itu hanyalah keringanan saja, yang boleh kita pilih, mengapa Rasulullah saw tidak pernah mencontohkan sekali saja menyempurnakan salat dalam perjalanan. Selamanya, sekali lagi selamanya, Rasulullah saw mengqashar salat ketika ia bepergian.
Pertanyaan #34
Syiah Tidak Berpuasa Pada Waktu Bepergian?
Tuduhan
Syiah tidak berpuasa pada waktu bepergian, karena menurut Syiah wajib berbuka puasa dalam safar.
Jawaban
Berkenaan dengan berbuka pada waktu bepergian (safar), para fuqaha terbagi pada dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa berbuka dalam perjalanan adalah ‘azimah, kewajiban yang tidak ada pilihan di dalamnya. Kelompok kedua berpendapat berbuka dalam safar itu rukhshah, pilihan. Kita boleh memilih berbuka atau berpuasa. Kelompok kedua ini berbeda dalam menentukan mana yang lebih baik-berbuka atau berpuasa.
Fuqaha Ahlulbait sepakat bahwa berbuka dalam safar hukumnya wajib. Artinya berbuka itu azimah dan bukan pilihan. Mereka berpegang pada dalil-dalil berikut ini:
-
Al-Baqarah 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ - ١٨٥Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. (QS Al-Baqarah 2:185)
“… Barangsiapa yang menyaksikan di antara kamu bulan Ramadhan hendaklah ia berpuasa. Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain…” mafhum ayat ini jelas menunjukkan bahwa berpuasa diwajibkan bagi yang hadir (yang menyaksikan) dan bukan musafir. Yang sakit dan musafir, diwajibkan berpuasa pada hari-hari yang lain di luar bulan Ramadhan.
-
Shahih Muslim 3:141, “Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menuju Makkah pada Tahun Kemenangan (‘Am al-Fath) di bulan Ramadhan. Ia berpuasa sampai tiba di Kura’ al-Ghamim. Dan berpuasa jugalah orang. Kemudian ia meminta satu cawan air. Ia mengangkat cawan itu sampai orang-orang melihatnya. Kemudian ia minum. Dikatakan kepadanya sesudah itu: Sebagian orang masih tetap berpuasa? Rasulullah saw bersabda; Ulaika al-‘Ushaat, Ulaika al-‘Ushaat. Mereka itu para pembangkang. Mereka itu para pembangkang (pelaku maksiat)”.
-
Shahih Muslim 3:142 dari Jabir, “Rasulullah saw sedang dalam perjalanan. Ia melihat seseorang yang sedang dikelilingi orang banyak. Ia dinaungi orang. Nabi saw bertanya: Apa yang terjadi padanya? Mereka berkata: Ia sedang berpuasa. Rasulullah saw bersabda: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan.”
-
Sunan Ibn Majah 1:532, hadis 1666, dari Abd alRahman bin ‘Awf: “Rasulullah saw bersabda, ‘Berpuasa Ramadhan dalam perjalanan dihitung sama dengan tidak berpuasa ketika tidak bepergian (dalam keadaan hadir).”
-
Sunan Ibn Majah 1:533, hadis 1667, dari Anas bin Malik yang melaporkan bahwa seorang lelaki dari Bani ‘Abd al-Asyhal berkata: “Kendaraan Rasulullah saw tiba di tempat kami. Aku mendatangi Rasulullah saw dan ia sedang makan. Ia bersabda: Mendekatlah dan makanlah. Aku berkata: Aku sedang berpuasa. Ia bersabda; Duduklah, akan kujelaskan padamu perihal puasa-shawm atau shiyam. Sesungguhnya Allah swt membebaskan dari musafir setengah salatnya, dan dari musafir, orang sakit, yang hamil, yang menyusui puasanya. (Kemudian orang itu melanjutkan) Demi Allah, ia telah mengucapkan semuanya atau salah satu di antaranya. Duhai malangnya diriku, kenapa aku tidak ikut makan dari makanan Rasulullah saw.”
-
Berbuka pada waktu safar juga tradisi dari para sahabat Nabi saw. Ibnu ‘Umar berkata: Kalau orang berpuasa pada waktu bepergian ia harus mengqadhanya ketika tidak bepergian (Al-Fakhr al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir 5:76).
-
Umar bin Khattab memerintahkan orang yang berpuasa dalam perjalanan untuk mengulangi (mengganti) puasanya (Musnad Ahmad bin Hanbal 3:329). Ibnu Abbas berkata: “Berbuka dalam safar itu ‘azimah (Al-Durr al-Mantsur 1:191).
Di bawah ini dikutipkan pendpat para sahabat dan tabi’in tentang wajibnya berbuka pada waktu safar seperti dihimpunkan oleh Ibn Hazm, Al-Muhalla 6:256-258:
Melalui Sofyan bin ‘Uyaynah, dari ‘Ashim bin Abdillah, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari Umar bin Khattab, bahwa ia menyuruh seorang laki-laki untuk mengganti puasanya pada waktu bepergian.
Dari Umar bin Abi Salamah bin Abd al-Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia berkata: Aisyah Ummul Mu’minin melarang aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan.
Dari Abu Hurairah: Bukan termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan. Melalui Syu’bah bin Abi Hamzah, Nashr bin ‘Imran al-Dhab’i. Ia berkata: Aku bertanya kepada Ibn Abbas tentang berpuasa dalam perjalanan. Ia berkata: Mudah dan sulit. Ambillah yang dimudahkan Allah swt. Kata Abu Muhammad: Pernyataannya bahwa puasa dalam perjalanan itu sulit menunjukkan wajibnya berbuka.
Dari ‘Ammar mawla Bani Hasyim-yaitu Ibn Abi ‘Ammar-dari Ibn Abbas. Ia ditanya tentang berpuasa dalam perjalanan. Berkata Ibnu Abbas: Tidak sah. Yakni batal puasanya.
Dari Ibn ‘Umar ia ditanya tentang berpuasa dalam perjalanan. Ia menjawab: Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (berpuasalah) sebanyak bilangan (yang tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain…
Dari Yusuf bin alHakam al-Tsaqafi bahwa Ibnu ‘Umar ditanya tentang berpuasa dalam safar. Ia berkata: Itulah sedekah Allah yang diberikan kepada kamu. Bagaimana pendapatmu jika kamu bersedekah dan orang menolak sedekahmu? Bukankah kamu marah? Kata Abu Muhammad: Ini menjelaskan bahwa menurut Ibn Umar berpuasa dalam safar di bulan Ramadhan mengundang murka Allah swt. Dan ia tidak pernah berkata begitu untuk sesuatu yang diperbolehkan.
Melalui Hammad bin salamah, dari Kultsum bin Jabr: Seorang perempuan menyertai Ibn Umar dalam perjalanannya. Kemudian makanan dihidangkan. Ibn Umar berkata kepadanya: Makanlah! Perempuan itu berkata: Aku sedang berpuasa. Kata Ibn Umar: Janganlah kamu bersama kami.
Melalui Abi Mu’awiyyah. Menyampaikan kepada kami Ibn Abi Dzi’b, dari Al-Zuhri, dari Hamid bin Abdir Rahman bin ‘Awf, dari bapaknya. Ia berkata; Yang berpuasa pada waktu safar sama hukumnya dengan yang tidak berpuasa pada waktu hadir. Hadis ini sangat sangat shahih (fi ghayat al-shihhah)…
Dari anak Abu Hurairah. Ia berkata: Aku berpuasa Ramadhan dalam perjalanan. Abu Hurairah memerintahkan kepadaku untuk mengulanginya lagi di tengah-tengah keluargaku dan agar aku mengqadhanya. Maka aku lakukan qadha itu.
Dari Abdir Rahman bin Harmalah: Seorang lelaki bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyab: Bolehkah aku lengkapkan salat dan berpuasa dalam safar? Kata Sa’id: Tidak boleh. Ia berkata: Aku kuat melakukannya. Kata Sa’id: Rasulullah saw lebih kuat dari kamu; dan ia mengqashar salatnya dan berbuka dalam puasanya…“
Dari riwayat berikut ini kita ketahui bahwa pada zaman Rasulullah saw dan zaman para sahabat, kebiasaan yang berlaku luas adalah berbuka pada waktu safar:
Ketika salah seorang sahabat Nabi saw Dihyah al-Kalbi keluar dari Damaskus di bulan Ramadhan sejauh tiga mil, ia berbuka. Maka berbuka juga orang-orang yang bersamanya. Sebagian lainnya ada yang tidak mau berbuka.
Ketika ia kembali ke negerinya ia berkata: Demi Allah, aku belum pernah melihat apa yang aku lihat sekarang-sekarang ini. > Aku tidak mengira bakal melihat kejadian itu. Orang-orang sudah berpaling dari petunjuk Rasulullah saw. Ia mengatakan begitu kepada orang yang tetap berpuasa (Sunan Abi Dawud 2:39, Kitab al-Shawm. Ibn Al-Quddamah mengutipnya dalam Al-Mughni 2:93.
Terakhir, ada orang yang menerjemahkankan bahwa ayat “wa an tashûmû khayrun lakum” dengan “dan berpuasa itu lebih baik bagimu”. Kata “khayrun” diartikan lebih baik. Jadi berbuka pada waktu safar boleh, tapi kalau berpuasa itu lebih baik. Kita juga bisa melanjutkan dengan mengatakan orang yang sakit keras boleh tidak berpuasa tapi berpuasa lebih baik bagi mereka.
Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 6:248-249 mengkritisi penafsiran atau penerjemahan seperti itu dengan sangat keras: “Orang yang berhujjah dengan ayat ini untuk memperbolehkan puasa dalam perjalanan sudah melakukan dosa besar dan berbohong yang sangat keji. Ia telah memanipulasi firman Allah (harrafa kalamallahi ‘an mawdhi’ihi)-kami berlindung kepada Allah dari yang seperti itu.”
Bandingkanlah dengan kata “khayrun lakum” pada ayat-ayat lainnya. Jika diterjemahkan “lebih baik bagimu”, maka orang boleh bertaubat boleh tidak, karena tawbat itu “khayrun lakum” (Al-Baqarah 54); orang juga boleh salat Jumat boleh tidak, tapi salat jumat “lebih baik bagimu” (Al-Jum’at 9); orang boleh berjihad boleh tidak, tapi berjihad “lebih baik bagimu” (Al-Shaff 11). Ayat-ayat semacam ini banyak dalam Al-Quran. Beberapa ayat yang disebut di atas hanyalah contoh untuk direnungkan.
Pertanyaan #35
Syiah Berbuka Puasa Pada Waktu yang Berbeda?
Tuduhan
Buka Puasa orang syiah bukan Maghrib.
Jawaban
Syiah berbuka puasa sesuai dengan perintah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Dalam Al-Qur’an:
Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah 2:187)
Di sini jelas Al-Qur’an berkata:“ …sempurnakanlah puasamu sampai malam“ bukan sampai maghrib. Apalagi maghrib yang dimaksud adalah maghrib yang masih terang..
Bila kita berbuka sebelum waktunya walau semenit saja, puasa kita batal. Maka demi kehati-hatian, kita sebaiknya menyempurnakan puasa kita dengan menambahkan kira-kira 15 menit setelah azan maghrib.
Pertanyaan #36
“Ulama” Syiah Mewajibkan Sumbangan 20% Penghasilan?
Tuduhan
Para fuqaha Syi’ah mewajibkan pengikutnya untuk mengeluarkan seperlima harta mereka. Kewajiban ini tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi saw; juga tidak diamalkan oleh para sahabat.
Jawaban
Khums: Mengeluarkan Seperlima Harta
Kewajiban mengeluarkan seperlima atau khums ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Khums dikeluarkan dari ghanimah. Ulama Ahlissunnah membatasi ghanimah hanya pada pampasan perang. Para fuqaha Syiah mengartikan ghanimah sebagai penghasilan yang diperoleh baik dari peperangan atau dari selain peperangan: Ghanimah adalah pertambahan atau pertumbuhan penghasilan atau peningkatan nilai pendapatan (Ibn Al-Atsir, Nihayat al-Lughah 3:73).
Marilah lebih lanjut kita lihat penjelasan tentang khums dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam Al-Qur’an.
Ayat Al-Anfal 41 menyatakan:
Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Anfal 8:41)
Ahlussunnah mengartikan غَنِمْتُم itu sebagai barang pampasan perang. Kata “ghanimtum” berasal dari kata “ghunm” yang artinya keuntungan, perolehan, atau penghasilan. Menurut Al-Raghib al-Isbahani dan AlAzhari: “Al-ghunm” adalah mendapat atau memperoleh keuntungan, kemudian digunakan untuk menunjukkan semua yang diperoleh baik dari pihak musuh atau selain itu. Allah swt berfirman:
Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS Al-Anfal 8:69)
“Maghnam” ialah apa yang diperoleh sebagai keuntungan; bentuk jamaknya “maghanim” seperti firman Allah swt:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ”salam” kepadamu, ”Kamu bukan seorang yang beriman,” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisa 4:94)
(Mufradat al-Qur’an, Tahdzib al-Lughat pada entri “ghunm”;lihat Mu’jam Alfazh Al-Quran 2:293).
“Maghanim” pada Al-Nisa 94 –“karena di sisi Allah ada ‘maghanim’ yang banyak”-tidak bisa diartikan pampasan perang. Karena tidak mungkin kita mengambil pampasan perang dari Allah swt.
Dalam hadis-hadis Rasulullah saw juga menggunakan kata “gh-n-m” dalam arti umum sebagai keuntungan atau kelebihan penghasilan. “Ghanimah majlis zikir adalah surga” (Musnad Ahmad 2:330, 374, 524); “Bulan puasa adalah ghunmun bagi mukmin” (Musnad Ahmad 2:177); Nabi saw mengajarkan doa ketika mengeluarkan zakat: “Allahumma ij’alha maghnama wa la taj’alha maghrama” (Ya Allah jadikan zakat ini keuntungan dan jangan jadikan ia utang) dan dalam du’a hajat yang terkenal “wal ghanimata min kulli birrin was salamata min kulli itsmin”-(Aku bermohon kepadaMu keuntungan berlebih dari setiap kebajikan dan keselamatan dari segala dosa).
Dalam Hadis
Dalam hadis-hadis berikut ini Rasulullah saw memerintahkan orang untuk mengeluarkan khumus, bukan dari pampasan perang tetapi dari setiap penghasilan; karena orang yang disuruh mengeluarkan khumsnya tidak dalam keadaan perang:
- Semua mazhab sepakat bahwa harus dikeluarkan seperlima dari barang temuan atau perbendaharaan simpanan (rikâz) atau dari barang tambang (ma’adin). Perbendaharaan hasil temuan atau barang tambang tentu saja bukan pampasan perang. Dari Ibn Abbas: Rasulullah saw telah menetapkan harus dikeluarkan seperlima dari rikaz (Musnad Ahmad 1:314; Sunan Ibnu Majah 839).
- Perintah Nabi saw untuk mengeluarkan seperlima dari berbagai harta temuan dan simpanan dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari 1:182, Bab “Fi al-Rikaz al-khums”; Shahih Muslim 5:127 Bab “Jurh al-‘Ujama wal ma’din”, Sunan Abi Dawud 2:254; Sunan Al-Turmudzi 3:138; Sunan Ibn Majjah 803; Al-Muwatha 1:244; Musnad Ahmad 2: 228, 238
- Delegasi Abdul Qays berkata kepada Rasulullah saw: “Di antara kami dan engkau ada Bani Mudhar yang musyrik. Kami tidak bisa menemuimu kecuali dalam bulan-bulan Haram. Perintahkan kepada kami sesuatu yang kalau kami amalkan kami masuk surga? Kami pun akan mengajak orang sesudah kami juga untuk mengamalkannya.” Rasulullah saw bersabda, “Aku perintahkan kalian untuk beriman kepada Allah. Tahukah akamu apa yang dimaksud dengan beriman kepada Allah? Bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, menegakkan salat, mengeluarkan zakat dan memberikan khums” (Shahih alBukhari 4:205, Kitab al-Tawhid, 1:13, 19, 3:53; Shahih Muslim 1:35, 36; Sunan al-Nasai 2:333; Musnad Ahmad I3:318,5:136).
- Abdul Qays berasal dari qabilah Rabi’ah. Mereka bertempat tinggal di Tihamah, kemudian pindah ke Bahrayn. Delegasi mereka datang menemui Rasulullah saw pada tahun kesembilan Hijriah. Mereka tidak dalam keadaan berperang. Mereka malah menghindari perang. Ketika Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk mengeluarkan khums dari ghanimah, “wa an tuaddu khums ma ghanimtum” (redaksi seperti ini lihat Abu ‘Ubayd, Al-Amwal, 12), yang dimaksud dengan ghanimah di situ tentu bukan pampasan perang. Ghanimah di situ kembali ke makna asalnya, yang sekaligus juga makna syar’I, yakni “semua yang diperoleh baik dari pihak musuh atau selain itu”
- Rasululah saw banyak mengirim surat kepada kabilah-kabilah yang tidak bisa menemuinya. Kitab-kitab tarikh
mencatat surat-surat itu. Di sini dicantumkan hanya
salah satu di antaranya. Yang ingin mengetahui surat-surat lainnya dapat merujuk pada rujukan-rujukan yang
disebutkan di sini:
Ketika Nabi saw mengutus ‘Amr bin Hazm ke Yaman, ia menulis surat perjanjian sebagai berikut: “Dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang. Inilah keterangan dari Allah dan RasulNya: ‘Hai orangorang yang beriman, penuhilah perjanjian’. Inilah perjanjian Rasulullah saw dengan ‘Amr bin Hazm ketika ia mengutusnya ke Yaman. Ia perintahkan dia untuk bertakwa kepada Allah dalam segala urusannnya, mengambil dari ghanimah khums Allah, dan mewajibkan untuk mengeluarkan sepersepuluh dari ladang yang diairi sungai atau air hujan dan seperduapuluh untuk ladang yang diairi melalui air sumur”
(Futuh al-Buldan 1:82; Sirah Ibn Hisyam 4:265-267; Al-Thabari 1:1727-1729; Tarikh Ibn Katsir 5:76; Al-Hakim, Al-Mustadrak 1:395, 396; Kanz al-‘Ummal 5:517).
Catatan
Menurut Al-Quran dan Al-Sunnah, khums itu harus diberikan kepada Allah dan RasulNya – untuk kepentingan dakwah, kepada keluarga Nabi saw, kepada anak yatim, orang miskin, dan ibnus sabil. Pada zaman Abubakar dan ‘Umar, keluarga Nabi saw tidak memperoleh khums lagi. Abubakar dan Umar menahannya dan menyalurkannya sesuai dengan keputusan mereka sebagai khalifah. Sayyidah Fathimah pernah menuntut hak keluarga dalam khums. Dari Aisyah la: Fathimah as putri Nabi saw menemui Abu Bakr la untuk menuntut tanah Fadak, hak warisnya dari Rasulullah saw berupa al-Fai yang ada di Madinah dan peninggalan khums Khaibar. Abu Bakar la berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw berkata: “kami tidak mewariskan yang kami tinggalkan menjadi shadaqah, Sesungguhnya Keluarga Muhammad saw makan dari harta ini”. Dan aku tidak akan mengubah sedikitpun dari shadaqah Rasulullah saw dari apa yang pernah dilakukan di zaman Nabi saw. Aku hanya akan mengamalkan apa yang diamalkan Rasulullah saw. Maka Abu Bakar pun menolak memberikan kepada Fathimah as apapun dari padanya. Fathimah as kecewa dengan tindakan Abu Bakar. Ia menjauhinya dan tidak berbicara dengannya sampai meninggal dunia. Fathimah as hidup sesudah Nabi saw wafat, selama 6 bulan. Ketika ia wafat, suaminya memakamkannya di malam hari dan tidak mengizinkan Abu Bakar untuk mensalatkannya… (Shahih al Bukhari 3: 38, Bab Ghazwah Khaibar; Shahih Muslim, kitab al-Jihad, hadis 52; Sunan al-Bahaiqi 6:300)
Pertanyaan #37
Syiah Tidak Melakukan Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan?
Tuduhan
Orang Syiah meninggalkan sunnah salat Tarawih di Bulan Ramadhan, menyalahi sunnah
Jawaban
Salat Tarawih adalah salat sunnat di bulan Ramadhan yang dilakukan secara berjamaah. Syiah tidak melakukan salat tarawih, tetapi melakukan salat sunnat di bulan Ramadhan yang dilakukan secara sendiri-sendiri di rumah masing-masing, yang disebut qiyamu ramadhan.
Salat tarawih ditinggalkan karena:
- salat tarawih itu adalah bid’ah yang diciptakan Umar bin Khattab.
- semua salat sunat sebaiknya dilakukan di rumah secara munfarid, dan tidak berjamaah
Salat Tarawih Adalah Bid’ah.
Dalam hadis-hadis di bawah ini kita dapat menyimpulkan bahwa tarawih memang bid’ah. Nabi saw tidak pernah melakukannya, begitu pula Abu Bakar dan Umar pada awal khilafahnya.
Yahya bin Bakir menceritakan kepadaku, al-Laits menceritakan kepada kami dari Aqil, dari Ibn Syihab; Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah saw pernah keluar pada sepertiga akhir malam, untuk salat di dalam masjid dan orang-orang pun mengikuti salat beliau. Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal, maka (pada malam harinya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau salat dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau salat dan orang-orang pun mengikuti salat beliau.
Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal itu, maka pada malam ketiganya masjid dipenuhi oleh orang banyak. Kemudian Rasulullah saw keluar (ke mesjid) dan salat (seperti biasanya), maka beliau keluar untuk salat subuh. Ketika selesai mengerjakan salat subuh, beliau menghampiri orang banyak, lalu beliau bertasyahud (mengucapkan kalimat syahadat), dan bersabda,“ Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak melecehkan kalian. Akan tetapi, sesungguhnya aku khawatir, bahwa ia (salat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.“ Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu. Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar (Shahih Al-Bukhari bab “Keutamaan orang yang melaksanakan Qiyamul layl pada bulan Ramadhan”, 3:58).
Dalam riwayat dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa berdiri di malam Ramadhan karena iman dan ikhlas diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. Ibnu Syihab berkata: Kemudian Rasulullah saw wafat dan manusia dalam keadaan demikian. Kemudian perkara itu berlaku seperti itu pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar“ (Shahih AlBukhari 2:249-250).
Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan kalimat terakhir dengan mengatakan: “Yakni, orang tidak berjamaah dalam tarawih dan Rasulullah saw tidak melakukan salat malam (qiyamu Ramadhan) secara berjamaah dengan orang banyak” (Fath al-Bari 4:204). Ibn Hajar Al-Asqalani juga menambahkan: Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abi Dzi’b dari Al-Zuhri dalam hadis ini “Rasulullah saw tidak pernah mengumpulkan orang untuk salat sunat berjamaah (qiyam).” (Fath al-Bari 4: 252)
Al-Qasthulani mengomentari hadis ini: Sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu (artinya meninggalkan salat berjamaah dalam tarawih) Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar (Irsyad al-Sari 4:656).
Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, dia berkata: “Aku telah membaca di hadapan Malik dari Ibn Syihab dari Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi saw salat pada suatu malam, maka orang-orang pun mengikuti salat beliau. Kemudian malam berikutnya, orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian beliau salat dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi.Kemudian pada malam ketiganya dan keempatnya, namun beliau tidak keluar kepada mereka. Kemudian pada pagi harinya, beliau bersabda:” Sungguh aku melihat yang kalian lakukan, maka sesungguhnya tidak ada yang mencegahku keluar, hanya saja aku khawatir, bahwa ia (salat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian“. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan. (Shahih Muslim :41)
Al-Nawawi menjelaskan hadis Muslim: “Ucapan (Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu. Kemudian perkara tarawih itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar) artinya: Perkara itu berlangsung dalam periode itu di mana setiap orang menjalankan qiyam Ramadhan sendiri-sendiri (munfarid), sampai berakhir awal khilafah Umar. Umar mengumpulkan orang untuk salat berjamaah dengan Imam Ubay bin Ka’ab. Dari situ berlangsunglah terus salat tarawih berjamaah” (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim 3:40).
Abdurrahman bin Abdul Qari: aku pernah keluar bersama Umar bin Khattab di bulan ramadhan ke mesjid. Ternyata orang-orang saling berpencar dan berpisah-pisah. Ada orang yang salat sendirian dan ada pula sekelompok orang yang mengikuti salatnya seseorang. Maka Umar berkata: “sesungguhnya aku berpandangan sekiranya saja aku kumpulkan mereka di belakang seorang imam, maka sesungguh itu lebih baik.”
Kemudian Umar bertekad melakukan hal itu. Ia mengumpulkan mereka di belakang seorang imam yaitu Ubay bin Ka’ab. Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah ini (melakukan salat tarawih berjamaah). Tetapi orang yang tidur sekarang, lebih utama daripada salat tarawih”. Yang dimaksud adalah orang yang mengerjakan salat tarawih di akhir malam lebih utama daripada yang mengerjakannya di awal malam. (Shahih al-Bukhari: 2: 252; Al-Muwatha 73; Lihat Kanz al-Ummal 8: 408, hadis 23466).
Hadis di atas dengan jelas mengungkapkan bahwa salat tarawih berjamaah itu bid’ah berdasarkan ucapan Umar sendiri: Sebaik-baiknya bid’ah ini. Al-‘Ayni menulis, “Umar menyebutnya bid’ah, karena Rasulullah saw tidak pernah mensunnahkannya, juga tidak terjadi pada zaman Abubakar dan Rasulullah saw tidak menganjurkannya (‘Umdat al-Qari 6:126).
Al-Asqalani menjelaskan: “Umar menyebutnya bid’ah karena tidak disunnatkan untuk melakukannya dalam jamaah, tidak juga disunnatkan di zaman Abu Bakar, tidak disunatkan pada awal malam, pada setiap malam, dan tidak dalam bilangan yang tersebut dalam hadis…(walaupun begitu) qiyamu Ramadhan bukanlah bid’ah, karena Rasulullah saw bersabda: Hendaklah ikuti teladan orang-orang sesudahku-Abu Bakar dan Umar. Dan apabila sahabat-sahabat sudah berijmak bersama Umar padahal demikian, hilanglah nama bid’ah” (Fath al-Bari 4:252).
Ibn Al-Atsir juga menegaskan bahwa tarawih ini bid’ah, tetapi karena bid’ah ini dibuat oleh sahabat, ia menjadi sunnah. Sahabat mempunyai hak untuk membuat syariat baru. Ibn Atsir membela Umar dengan bid’ahnya ketika ia menulis: “Inilah (tarawih) adalah bid’ah yang paling baik. Karena ini perbuatan baik yang pantas dihargai Umar menyebutnya bid’ah dan memujinya.
Memang Nabi saw tidak pernah mensunnahkannya. Ia pernah melakukannya beberapa malam saja kemudian meninggalkannya. Nabi saw tidak menjalankannya terusmenerus, tidak melakukannya dalam jamaah dengan orang banyak, tidak pada zaman Abu Bakar. Umarlah yang mengumpulkan orang dan menganjurkannya. Umar menyebutnya bid’ah, tetapi hakikatnya sunnah; karena Nabi saw bersabda: Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin sesudahku. Ia juga bersabda: Hendaklah ikuti teladan orang-orang sesudahku-Abu Bakar dan Umar (Al-Nihayah 1:106, 107).
Apa pun yang dilakukan untuk membenarkan bid’ah tarawih, semua ulama Sunni sepakat bahwa Umar adalah “pencipta” salat tarawih. Dalam biografi (tarjamah) Umar, Ibn Sa’ad menulis: Umarlah orang pertama yang mensunnahkan qiyam ramadhan dengan tarawih dan dilakukan secara berjamaah. Ia juga mengirimkan surat ke berbagai penjuru negeri untuk melakukannya pada bulan Ramadhan tahun 14 Hijriah (Al-Thabaqat al-Kubra 3:281).
Ibn Abd al-Birr menulis: Umarlah yang menyinari bulan puasa dengan salat genap atau tarawih (Al-Isti’ab 3:1145). Al-Ya’qubi berkata: Pada tahun ini (14H) Umar mensunnahkan qiyam Ramadhan dan menulis surat ke berbagai negeri. Ia menyuruh Ubayy bin Ka’ab dan Tamim al-dari sebagai imam. Dikatakan kepadanya; Rasulullah saw tidak pernah melakukannya. Abu Bakar juga tidak melakukannya. Umar berkata: Kalau ini bid’ah, inilah bid’ah yang paling baik (betapa baiknya bid’ah ini)! (Tarikh al-Ya’qubi 2:130).
Jalaluddin al-Suyuthi menulis tentang “kepertamaan” (awwaliyat) Umar bin Khathab: Dialah yang pertama diberi gelar Amirul Mukminin. Dialah yang pertama mensunnahkan tarawih. Dialah yang pertama mengharamkan mut’ah. Dialah yang pertama mensalatkan jenazah dengan empat takbir (karena yang disunnahkan Nabi saw lima takbir-editor). (lihat Tarikh al-Khulafa 136)
Salat-salat sunnat harus dilakukan munfarid.
Rasulullah saw menganjurkan untuk melakukan salat sunnat di rumah sendirian. Dengan begitu, ia memberikan bagian keberkahan salat untuk rumahnya. Ia juga menghindarkan “riya” jika ia melakukan salatnya di masjid, di depan banyak orang. Salat sunat juga adalah kesempatan untuk bermunajat –berduaan-dengan Allah swt. Lebih dari itu, salat sunnat sebaiknya dilakukan sendirian karena perintah Rasulullah saw:
-
Dari Ibn Mas’ud: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Mana yang lebih utama-salat di rumahku atau di masjid? Beliau bersabda: Tidakkah kamu perhatikan rumahku, betapa dekatnya dengan masjid. Sekiranya aku salat di rumahku pasti aku lebih mnyukainya daripada salat di masjid, kecuali untuk salat yang diwajibkan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah, Ibn Khuzaimah dalam shahihnya (Al-Mundziri, Al-Targhib wa al-Tarhib, ta’liq Musthafa Muhammad ‘Imarah, 1:379)
-
Dari Abu Musa: Serombongan orang dari Iraq menemui Umar, Ketika mereka datang mereka bertanya tentang salat orang di rumahnya. Umar berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw dan ia bersabda: Salat orang di rumahnya adalah cahaya. Terangilah rumah kamu! Diriwayatkan Ibn Khuzaimah dalam shahihnya (Al-Mundziri, Al-Targhib 1:379; Kanz al-‘Ummal 8:384, hadis 2336).
-
Umar ditanya tentang salat di masjid. Ia berkata: Rasulullah saw bersabda: yang fardhu di masjid, yang sunat di rumah (kanz al-‘Ummal 8:384, hadis 23363).
-
Ibn Qudamah menulis: Salat sunat lebih utama dilakukan di rumah, karena sabda Nabi saw, “Salatlah di rumah kamu, karena sebaik-baiknya salat orang adalah salat di rumahnya kecuali salat fardhu” Hadis Muslim. Dari Zaid bin Tsabit sesusngguhnya Nabi saw bersabda: Salat orang di rumahnya lebih baik dari salatnya di masjidku ini kecuali salat wajib. Hadis Abu Dawud (Muwaffaiq al-Din bin Qudamah, Al-Mughni 1:775)
-
Masih dari Ibn Qudamah: “Malik dan Syafii berpendapat: Qiyam Ramadhan di rumah bagi yang mampu lebih aku cintai (daripada salat sunat di masjid). Zaid bin Tsabit berkata: Rasulullah saw membuat kamar kecil yang terbuat dari kain tambalan atau tikar (di dalam masjid). Lalu Rasulullah saw keluar dan salat di dalam kamar itu. Kemudian orang mengikuti salat beliau. Kemudian pada malam hari,mereka datang ke masjid, tetapi Rasulullah saw tidak keluar pada mereka. Kemudian mereka mulai menaikkan suara mereka dan melempari pintu rumah Nabi saw dengan batu kerikil.
Rasulullah saw keluar menemui mereka dalam keadaan murka. Beliau bersabda: Kalian terus menerus melakukan perbuatan kalian (mengerjakan salat sunat berjamaah) sehingga aku menduga ia akan diwajibkan kepada kalian. Salatlah di rumah kalian, karena sebaik-baiknya salat ialah salat di rumah kecuali salat fardhu. Diriwayatkan oleh Muslim“ (Al-Mughni 1:800; lihat redaksi yang sama pada Shahih al-Bukhari 7:99, Bab “Boleh murka dan bertindak keras demi perintah Allah”, Kanz al-‘Ummal, hadis 21541, 21543, 21545).
Pertanyaan #38
Syiah Memperingani Nishfu Sya’ban, itu Bid’ah?
Tuduhan
“Di antara bid’ah-bid’ah (yang menyesatkan adalah melakukan ibadat yang tertentu dalam waktu tertentu, sedangkan penentuan waktunya itu tidak berdasarkan keterangan syari’at, seperti melakukan puasa Nishfu Sya’ban dan salat malam Nishfu Sya’ban.” (Abu Ishaq AlSyathibi, Al-I’tisham 1:39)
Jawaban
Syi’ah memang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadat-ibadat seperti salat-salat sunat, berdoa, zikir, dan bersedekah. Pada siang Nishfu Sya’ban mereka melakukan puasa sunat. Amal-amal itu semua diperintahkan dalam syari’at secara umum. Syari’at tidak menentukan waktunya.
Ada di antara ketentuan syari’at yang sudah ditentukan waktunya dan tempatnya. Misalnya, wuquf. Waktunya setelah Zhuhur sampai terbenam matahari, tanggal 9 Dzulhijjah. Tempatnya di Arafah. Melakukan wuquf pada pagi hari, tanggal 15 Sya’ban, di Tanjung Priok adalah bid’ah. Tetapi Syari’at tidak menentukan tempat dan waktu salat sunat, berdoa, dan bersedekah. Kita dapat melakukannya kapan kita mau, sesuai dengan kesempatan yang kita miliki.
Ada orang yang hampir setiap malam salat sunat, berdoa, dan berzikir. Tiba-tiba ia memasuki malam Nishfu Sya’ban. Apakah salatnya, doanya, dan zikirnya berubah menjadi bid’ah? Anda boleh bersedekah pada hari apa pun. Apakah Anda melakukan bid’ah karena ternyata Anda bersedekah pada malam atau siang Nishfu Sya’ban? Nabi saw memerintahkan kita untuk berpuasa pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulan-ayyam al-biyadh (Al-Targhib wa al-Tarhib 2:124, hadis 18-19; Kanz al-‘Ummal 8:562,563, 566, hadis 24180, 24186, 24198). Apakah puasa pada tanggal 15 tiba-tiba menjadi bid’ah karena terjadi pada Nishfu Sya’ban?
Selain dalil-dalil syar’i yang bersifat umum, bacalah di bawah ini hadis-hadis tentang beribadat pada malam dan siang Nishfu Sya’ban:
-
Nabi saw bersabda: “Bila Nishfu Sya’ban tiba, salatlah pada malamnya dan berpuasalah pada siang harinya. Allah ‘turun’ ke langit dunia pada waktu tenggelamnya matahari dan berfirman: Siapa yang memohon ampunan aku ampuni, siapa yang memohon rezeki aku berikan rezeki, siapa yang sakit aku sembuhkan..begitulah seterusnya sampai terbit fajar” (Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, 1:444, hadis 1388; AlTarghib 2:119).
-
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt ‘datang’ pada malam Nishfu Sya’ban, ia mengampuni semua makhluknya kecuali yang musyrik dan orang yang bertengkar” (Ibn Majah 1:445, hadis 139; Al-Targhib 2:118; Musnad Ahmad 2:368).
-
Aisyah berkata: “Pada malam Nishfu Sya’ban, aku kehilangan Nabi saw. Aku keluar mencari beliau. Beliau sedang di Baqi, mengangkat kepalanya ke langit. Beliau bersabda: Wahai Aisyah, apakah kamu takut Allah tidak berbuat adil padamu? Aku berkata: Aku kira engkau mendatangi sebagian dari istri-istrimu. Beliau bersabda: Sesungguhnya Allah swt ‘turun’ pada malam Sya’ban ke langit dunia. Dia memberikan ampunan kepada sejumlah besar manusia sebanyak bilangan bulu domba kabilah Kalb” (Ibn Majah 1:444).
-
Imam Ali berkata: “Aku melihat Rasulullah saw pada malam Sya’ban salat 14 rakaat, kemudian duduk setelah salat dan membaca Al-Fatihah 14 kali, Al-Ikhlash 14 kali, Al-Falaq 14 kali, Al-Nas 14 kali, ayat Kursi satu kali dan Al-Tawbah 128 satu kali. Seusai salat, aku bertanya kepada beliau tentang apa yang beliau lakukan: Barangsiapa yang melakukan seperti apa yang kamu lihat ia memperoleh pahala seperti melakukan 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun. Jika ia berpuasa pada siang harinya, ia sama dengan orang yang puasa dua tahun berturut-turut-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya” (Kanz al-‘Ummal 14:177-178)
Syiah mengamalkan amal-amal Nishfu Sya’ban, di samping berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahlussunnah, juga bersandar kepada teladan para imam ahlulbait as. Hadis-hadis di atas dicantumkan untuk menunjukkan bahwa amal-amal Nishfu Sya’ban mempunyai dasar dalam Syari’at.
Terakhir, perhatikan apa yang ditulis oleh Faqih besar Ahlussunnah pada waktu sekarang ini, Dr Wahbah alZuhayli: “Disunatkan menghidupkan malam-malam Idul Fitri dan Idul Adha, sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sepuluh malam Dzul Hijjah, malam Nishfu Sya’ban, dengan ibadah semalam suntuk atau lebih banyak dari itu, berdasarkan hadis-hadis shahih yang kuat tentangnya” (AlFiqh al-Islami wa Adillatuh 2:47)
Pertanyaan #39
Syi’ah Menangisi Mayit, yang Diharamkan oleh Islam?
Tuduhan
Syi’ah menangisi tokoh-tokoh yang sudah meninggal dunia; padahal menangisi mayit itu diharamkan dalam syari’at Islam.
Jawaban
Menangisi orang yang sudah meninggal dunia adalah fitrah yang sangat manusiawi. Secara psikologis, siapa pun akan menangis kehilangan orang yang dicintainya. Mungkinkah agama Islam, yang diciptakan Tuhan sesuai dengan fitrah manusia akan melarang ekspresi dukacita dalam bentuk tangisan?
Semua hadis –dengan redaksi yang berbeda-beda sedikit tetapi mengandung makna yang sama-yang melarang menangisi mayit bersumber pada Umar bin Khattab dan anaknya Abdullah bin ‘Umar (Lihat Imam AlNawawi, Syarh Shahih Muslim 6:228, Kitab al-Jana-iz): “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya”
Hadis ini ditolak oleh Ahlulbait as dan para pengikutnya karena
- ditentang oleh sahabat-sahabat lainnya
- berlawanan dengan hadis-hadis yang membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk menangisi mayit
- berlawanan dengan sunnah (contoh) Nabi saw
Hadis ini ditentang oleh sahabat-sahabat lainnya.
Di antara sahabat-sahabat yang menentang kebenaran hadis ini adalah ‘Aisyah, Ibn ‘Abbas, dan Abu Hurairah:
Dari Ibn Abi Malikah:
Putri Utsman bin ‘Affan meninggal di Makkah. Kami datang melayatnya. Hadir juga Ibn Umar dan Ibn Abbas. Aku duduk di antara keduanya.
Abdullah bin Umar berkata kepada Amr bin Utsman: Bukankah kamu dilarang menangisi? Karena Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya”
Kata Ibn Abbas: “Umar sudah mengatakan yang demikian”. Kemudian bercerita: Aku keluar bersama Umar dari Makkah sampai ke Al-Baida. Tiba-tiba di bawah pohon terlihat para penunggang kuda. Umar berkata: Pergi tengok siapa para penunggang kuda itu. Aku lihat ada Shuhayb di situ dan aku meberitahukan itu kepadanya. Ia berkata: Panggil dia. Aku kembali ke Shuhayb. Ketika Umar mendapat musibat (dibunuh orang), Shuhayb menjenguknya sambil menangis. Ia berkata: Duhai saudaraku, duhai sahabatku. Umar berkata: Ya Shuhayb, apakah kamu menangisiku. Bukankah Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya?
Ibn Abbas berkata: Ketika Umar meninggal, aku menyebutkan hadis itu di depan Aisyah. Aisyah berkata: Semoga Allah menyayangi Umar. Demi Allah, Rasululllah tidak pernah berkata: Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya; Tetapi ia bersabda: Sesungguhnya Allah menambah (siksaan) orang kafir karena tangisan keluarganya. Aisyah juga berkata: Cukuplah bagi kamu ayat Al-Quran (53:38)
Kata Ibn Abbas waktu itu: Demi Allah, aku tertawa dan menangis. Kata Ibnu Malikah: Ibn Umar tidak berkata sepatah kata pun (Ibn Atsir, Jami’ul Ushul 11:92)
Dalam riwayat lain, Ibn Malikah sendiri yang melaporkan kepada Aisyah dan mendapat jawaban yang sama (Shahih al-Bukhari 3:127; Shahih Muslim, Kitab al-Janaiz, hadis # 928; Al-Nasai 4:18-19)
Dari Umrah bint Abdul al-Rahman: Aku mendengar Aisyah berkata, ketika disebut bahwa Abdullah bin Umar menyampaikan hadis “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya”: kami berkata semoga Allah mengasihi Abu Abd al-Rahman. Dia tidak berdusta tetapi keliru dan lupa. Pernah Rasulullah saw melewati kuburan seorang perempuan Yahudi yang sedang ditangisi. Ia bersabda: “Perempuan itu ditangisi padahal ia sedang diazab di kuburnya” Diriwayatkan oleh Al-Jama’ah kecuali Abu Dawud (Jami al-‘Ushul 11:94).
Dari Abu Hurairah: Seseorang meninggal dunia dari keluarga Rasulullah saw. Perempuan-perempuan berkumpul menangisinya. Umar berdiri di tengah-tengah mereka dan mengusir mereka: Kemudian Rasulullah saw bersabda: Biarkan mereka, hai Umar. Karena mata itu mengalirkan airmata dan hati pun ditimpa duka, sedangkan giliran kita sudah dekat (Sunan Al-Nasai 4:19; Sunan Ibn Majah 1:505; Al-Sunan al-Kubra al-Baihaqi 4:117).
Hadis ini berlawanan dengan hadis-hadis yang membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk menangisi mayit. Dari Abdullah bin ‘Umayr dari Jabr: Ia bersama Nabi saw melayat jenazah. Perempuan-perempuan sedang menangis. Jabr berkata: Kenapa menangis. Jangan menangis selama Rasulullah saw duduk di sini. Rasulullah saw bersabda: “Biarkan mereka menangis selama mayit itu berada di tengah-tengah mereka. Jika sudah dikuburkan janganlah seorang pun menangisinya” (Al-Muwaththa:223; Abu Dawud 3111, Jami’ al-Ushul 11:100101; Al-Nasai 4:13-14).
Yang dimaksud oleh Nabi saw dalam hadis ini ialah jangan menangis dengan suara yang tinggi atau dengan mencakar-cakar muka. Pernah Nabi saw menangis, Abd al-Rahman menegurnya: Bukankah engkau melarang kami menangis. Rasulullah saw bersabda:“Tidak, aku melarang dua suara yang dosa, yakni menangis keras dalam musibat sambil mencakar muka dan merobek-robek pakaian, serta lolongan setan.” (Al-Jami’ al-Shahih 3:328, hadis 1055).
Hadis ini berlawanan dengan sunnah (contoh) Nabi saw.
Dalam hadis-hadis berikut ini Rasulullah saw bukan saja menangisi orang-orang yang disayanginya, ia juga memerintahkan orang untuk menangisinya.
Nabi saw menangisi putranya Ibrahim. Dari Anas bin Malik: kami menemui Rasulullah saw dan Ibrahim sedang menghembuskan nafar terakhirnya. Kedua mata Nabi saw berlinang-linang. Abdur Rahman bin Awf berkata: hai engkau ya Rasulullah (mengapa menangis)? Rasulullah saw bersabda: Hai Ibn ‘Awf, ini tangisan kasih-sayang. Kemudian ia menyusulnya dengan kalimat lainnya, seraya berkata: Sungguh mata itu berlinang dan hati berduka. Kami tidak berkata kecuali yang diridhai Tuhan kami. Sungguh, kami berdukacita karena ditingalkanmu, wahai Ibrahim (Shahih Muslim 4 # 1808; Abu Dawud 3:193; Ibn Majah 1:507; Qasim al-Syamai al-Rifai’, Al-Bukhari: Syarh wa Tahqiq 2:556, hadis 1216).
Nabi saw menangisi Ibunya. Dari Abu Hurairah: Nabi saw berziarah ke pusara ibundanya dan menangis. Menangis jugalah orang-orang di sekitarnya (Shahih Muslim 2:671, hadis 3234).
Nabi saw menangis Hamzah. Kata Ibn Sa’d: Ketika Rasulullah saw mendengar tangisan orang-orang Anshar untuk orang-orangyang terbunuh dalam perang Uhud, air mata Rasulullah saw mengelegak dan ia menangis: Sayang, Hamzah tidak ada yang menangisinya Ketika Sa’d mendengar itu ia kembali kepada perempuan-perempuan Bani Abd al-Asyhal mengajak mereka untuk menagisi (Hamzah). Sejak itu sampai sekarang perempuan Anshar tidak menagisi mayit siapa pun sebelum menangisi Hamzah, setelah itu baru menangisi mayitnya (Musnad Ahmad 2:129, hadis 4964: Thabaqat Ibn Sa’d 3:1; AlWaqidi, Al-Maghazi 1:315-317; Tarikh al-Thabari 2:211; Sirah Ibn Hisyam 3:99).
Nabi saw menangisi Ja’far. Ketika Ja’far dan sahabatsahabatnya gugur dalam perang Mu’tah, Rasululah saw masuk ke rumahnya dan mencari-cari anak-anak Ja’far. Ia menciumi mereka dengan airmata yang berlinang. Asma, istri Ja’far, berkata: Demi ayah ibuku, apa yang menyebabkan engkau menangis? Rasulullah saw bersabda; Tidakkah sampai kepadamu berita dari Ja’far dan sahabat-sahabatnya? Asma berkata: Benar, mereka gugur hari ini. Asma kemudian berkata: Aku pun berdiri menangis. Aku kumpulkan perempuan. Aku masuk ke rumah Fathimah. Ia sedang menangis merintih: Duhai paman! Rasulullah saw bersabda: Untuk orang seperti Ja’far, hendaklah orang- orang menangisinya (Al-Isti’ab 1:313; Usud al-Ghabah 1:241; Al-Ishabah 2:238; Al-Kamil fi al-Tarikh 2:420).
Nabi saw menangisi Al-Husayn yang akan terbunuh di Karbala. Dari Ummul Fadhl putri Harits. Ia menemui Rasulullh saw: Ya Rasul Allah, aku melihat mimpi yang mengerikan tadi malam. Apakah itu? Berat sekali. Apakah itu. Ummul Fadhl berkata: Aku melihat potongan tubuhmu diletakkan pada pangkuanku. Rasulullah saw bersabda: Kamu bermimpi baik. Fathimah insya Allah akan melahirkan anak laki-laki dan ia akan diletakkan di pangkuanmu. Fathimah melahirkan Al-Husayn dan ia berada dalam pangkuanku seperti kata Rasulullah saw. Aku masuk ke rumah Rasulullah saw dan meletakkan Al-Husayn di pangkuannya. Ia menengok padaku sejenak dan airmatanya mengalir deras: Ya Nabi Allah, demi ayah dan ibuku, apa yang terjadi? Ia bersabda: Jibrail datang kepadaku. Umatku akan membunuh anakku ini. Aku berkata: Anak ini? Ia bersabda: Benar. Ia memberikan kepadaku tanah dari tanahnya yang merah“ Kata AlHakim, ini hadis shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, walaupun keduanya tidak mengeluarkan hadis ini (Mustadrak al-Shahihayn 3:76; Tarikh Ibn Asakir 631; Majma’ al-Zawaid 9:179; Kanz al-‘Ummal 6:223).
Pertanyaan #40
Syiah Memperbolehkan Nikah Mut’ah?
Tuduhan
Syiah membolehkan Nikah Mut’ah, padahal praktek nikah tersebut sudah dilarang Nabi saw.
Jawaban
Nikah Mut’ah atau disebut juga nikah muaqqat adalah nikah bersyarat dengan antara lain syarat waktu. Semua hukum pernikahan berlaku pada nikah mut’ah. Misalnya, tidak boleh menikahi perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, tidak boleh menikahi perempuan sebelum ‘iddahnya selesai, sama seperti hukum-hukum nikah daim. Yang membedakan nikah mut’ah dengan nikah daim ialah adanya persyaratan yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Dalam nikah mut’ah tidak dibenarkan menceraikan istri sebelum waktunya habis. Setiap saat orang yang nikah mut’ah bisa mengubahnya menjadi nikah daim. Pada nikah daim suami dapat menceraikan istrinya kapan saja, hatta beberapa menit setelah aqad nikah. Dengan perkataan lain, nikah mut’ah adalah nikah sementara yang setiap saat bisa dilestarikan, sedangkan nikah daim adalah nikah yang lestari yang setiap saat bisa diputuskan.
Seperti dijelaskan pada dalil-dalil di bawah ini, nikah mut’ah disyariatkan dalam al-Quran dan al-Sunnah. Semua ulama –apa pun mazhabnya- sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan di zaman Nabi saw. Mereka berikhtilaf tentang pelarangan nikah mut’ah. Syiah berpegang kepada yang disepakati dan meninggalkan yang dipertentangkan.
Dalam Al Qur’an
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS Al-Nisa 4:24)
Menurut Al-Fakhr al-Razi:
Ayat ini khusus tentang nikah mut’ah karena alasan berikut:
Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat ini
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ -- الى اجل مسمى -- مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًTidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijmak tentang kebenaran qiraat keduanya. “Mencari isteri-isteri dengan harta” yang menghalalkan bercampur tidak terjadi kecuali dalam nikah mut’ah. Dalam nikah daim, hanya memberikan harta saja tidak dengan sendirinya menghalalkan. Diperlukan aqad, wali, dan saksi.
Ayat ini menunjukkan bahwa mahar wajib hanya karena istimta’. Istimta’ berarti menikmati dan menggunakan. > Sedangkan dalam nikah (biasa) mahar diwajibkan bukan karena istimta’ tetapi karena nikah.
Jika ayat ini dikenakan pada nikah biasa, terjadi perulangan penetapan hukum nikah dalam surat yang sama. Jika dikenakan pada nikah mut’ah, Tuhan menetapkan hukum > yang baru. Dan ini lebih tepat“
(Tafsir alFakhr al-Razi 9:53)
Dari ‘Imran bin Hushayn: “Telah turun ayat mut’ah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhkannya dan Nabi saw tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia” (Musnad Ahmad 4:436).
‘Imran bin Hushayn berkata: “Telah turun ayat mut’ah dalam Kitab Allah swt. Tidak turun ayat sesudahnya yang menasakhnya dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak pernah melarangnya. Kemudian seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak hatinya.” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, “Kitab al-Tafsir”, 7:24)
Al-Hakam ditanya tentang al-Nisa 24, apakah sudah mansukh? Ia berkata tidak. Lalu ia mengutip ucapan Ali: Sekiranya Umar tidak melarang mut’ah, tidak akan ada yang berzinah kecuali orang yang jahat (celaka). [Tafsir al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi 5:16]
Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mut’ah dan Ibn Abbas memerintahkannya… Kami melakukan mut’ah bersama Rasulullah SAW dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar memerintah, ia bekhotbah: “Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah Rasul ini, dan sungguh Al-Qur’an adalah Al-Qur’an ini. Sesungguhnya ada dua mut’ah yang ada pada Zaman Rasulullah SAW yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama mut’ah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai watu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua, Mut’ah haji. [ Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab Nikah Mut’ah dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh,; kemudian dibolehkan, kemudian dinasakh”; Al-Durr al-Mantsur 3:487; Al-Fakhr 9:54, AlQasimi 5:1192]
Larangan Umar ini menunjukkan bahwa Umarlah yang pertama melarangnya.
Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mut’ah dan Ibn Abbas memerintahkannya …Kami melakukan mut’ah bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar memerintah, ia berkhotbah: Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini, dan sungguh Al-Quran adalah Al-Quran ini. Sesungguhnya ada dua mut’ah yang ada pada zaman Rasulullah saw, yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama, mut’ah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai waktu tertentu aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua, mut’ah haji. [Sunan al-Baihaqi 7:206; Muslim dalam bab “nikah mut’ah dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh”; Al-Durr 3:487; al-Fakhr 9:54; AlQasimi 5:1192]
Larangan Umar ini sekaligus menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah saw tidak pernah terjadi pengharaman mut’ah. Umar-lah yang pertama melarangnya.
Rasulullah saw harus lebih diikuti dari Khulafa al-Rasyidun. Dari Ayyub: ‘Urwah berkata kepada Ibn Abbas-Apakah kamu tidak takut kepada Allah sampai kamu membolehkan nikah mut’ah? Kata Ibn Abbas: Tanya ibumu, hai ‘Ariyyah. Kata ‘Urwah: Tetapi Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Kata Ibn Abbas: Demi Allah, tampaknya kalian tidak akan berhenti sampai Allah menurunkan azab-Nya kepada kalian. Kami sampaikan dari Nabi saw dan kalian menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar dan Umar [Zâd al-Ma’âd 1:219]
Ibn Umar ditanya tentang tamattu’. Ia berkata: hasan jamīl. Bagus sekali! “Sungguh, ayahmu telah melarangnya”, kata orang. Ia berkata: “Apakah aku harus mengambil pendapat bapakku atau mengikuti perintah Rasulullah saw?” (Al-Qurthubi 2:365; dalam riwayat al-Darimi 2:35: Ibn Umar berkata: ‘Umar lebih baik dariku. Nabi saw melakukannya. Nabi saw lebih baik dari ‘Umar)
Pelarangan yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw sangat meragukan. Marilah kita perhatikan hadis-hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw: Dari Ali bin Abi Thalib: “Rasulullah saw melarang mut’ah perempuan pada hari Khaybar, dan memakan daging keledai kampung.” (Al-Bukhari, Muslim, Malik, al-Turmudzi, Ibn Majah, al-Nasai).
Dalam riwayat-riwayat itu Rasulullah saw mengizinkannya; setelah itu mengharamkannya: Dari Saburah bin Ma’bad al-Juhani: Dia berperang bersama Rasulullah saw pada penaklukan kota Makkah. Lalu beliau mengizinkan mut’ah kepada mereka, kemudian melarangnya…“ [Lihat Prof Dr Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah, 419-434]
Rasulullah saw diriwayatkan melarangnya juga pada
- Fath Makkah (Nayl al-Awthar 6:147)
- Al-Awthas (ibid)
- Haji Wada’ (ibid)
- Perang Tabuk
- Umrat al-Qadha
- Perang Hunayn
Menurut Ensiklopedi Sunnah-Syiah, semua hadis yang mengharamkan nikah mut’ah dha’if kecuali pengharaman di Khaybar dan Fat-h Makkah.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, pengharaman mut’ah pada perang Khaybar tidak shahih karena: Di Khaybar tidak ada muslimat; yang ada hanya Yahudiat. Waktu itu belum turun ayat yang mengizinkan Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Pengharaman mut’ah yang benar terjadi pada tahun penaklukan (Fat-h). Bila perang Khaybar itu benar berarti telah terjadi nasakh dua kali, “ini adalah seuatu yang tidak ada tandingannya dalam syariat, dan tidak pernah ada hukum seperti itu”
Sofyan bin Uyainah menyebutkan bahwa yang diharamkan di Khaybar hanyalah keledai kampung dan bukan nikah mut’ah. “Kebanyakan manusia mengikuti pendapat ini.” [Zâd al-Ma’âd, 2:204]
Hadis pengharaman mut’ah di Fat-h Makkah juga tidak shahih. Hadis Saburah bin Ma’bad tentang haramnya nikah mut’ah diriwayatkan melalui Abd al-Malik bin al-Rabi’ bin Saburah dari bapaknya, dari kakeknya. Menurut Ibn Ma’in, dia dha’if. “Al-Bukhari saja tidak mau mengeluarkan hadisnya, walaupun ia sangat memerlukannya.” [Zâd al-Ma’âd, 2:206]
Contoh sahabat dan tabi’in yang mempraktekkan nikah mut’ah
- ‘Imran bin al-Hushayn
- Jabir bin Abdillah
- Abdullah bin Mas’ud
- Abdullah bin ‘Umar
- Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
- Abu Sa’id al-Khudri
- Salmah bin Umayyah bin Khalaf
- Ma’bad bin ‘Umayyah
- Zubayr bin ‘Awwam
- Khalid bin Muhajir al-Makhzumi
- ‘Amr bin Harits
- Ubayy bin Ka’b
- Rabi’ah bin Umayyah
- Samurah bin Jundab
- Sa’id bin Jubayr
- Thawus al-yamani
- ‘Atha bin Muhammad
- Al-Suddy
- Mujahid
- Zufar