Pertanyaan #38
Syiah Memperingani Nishfu Sya’ban, itu Bid’ah?
Tuduhan
“Di antara bid’ah-bid’ah (yang menyesatkan adalah melakukan ibadat yang tertentu dalam waktu tertentu, sedangkan penentuan waktunya itu tidak berdasarkan keterangan syari’at, seperti melakukan puasa Nishfu Sya’ban dan salat malam Nishfu Sya’ban.” (Abu Ishaq AlSyathibi, Al-I’tisham 1:39)
Jawaban
Syi’ah memang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadat-ibadat seperti salat-salat sunat, berdoa, zikir, dan bersedekah. Pada siang Nishfu Sya’ban mereka melakukan puasa sunat. Amal-amal itu semua diperintahkan dalam syari’at secara umum. Syari’at tidak menentukan waktunya.
Ada di antara ketentuan syari’at yang sudah ditentukan waktunya dan tempatnya. Misalnya, wuquf. Waktunya setelah Zhuhur sampai terbenam matahari, tanggal 9 Dzulhijjah. Tempatnya di Arafah. Melakukan wuquf pada pagi hari, tanggal 15 Sya’ban, di Tanjung Priok adalah bid’ah. Tetapi Syari’at tidak menentukan tempat dan waktu salat sunat, berdoa, dan bersedekah. Kita dapat melakukannya kapan kita mau, sesuai dengan kesempatan yang kita miliki.
Ada orang yang hampir setiap malam salat sunat, berdoa, dan berzikir. Tiba-tiba ia memasuki malam Nishfu Sya’ban. Apakah salatnya, doanya, dan zikirnya berubah menjadi bid’ah? Anda boleh bersedekah pada hari apa pun. Apakah Anda melakukan bid’ah karena ternyata Anda bersedekah pada malam atau siang Nishfu Sya’ban? Nabi saw memerintahkan kita untuk berpuasa pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulan-ayyam al-biyadh (Al-Targhib wa al-Tarhib 2:124, hadis 18-19; Kanz al-‘Ummal 8:562,563, 566, hadis 24180, 24186, 24198). Apakah puasa pada tanggal 15 tiba-tiba menjadi bid’ah karena terjadi pada Nishfu Sya’ban?
Selain dalil-dalil syar’i yang bersifat umum, bacalah di bawah ini hadis-hadis tentang beribadat pada malam dan siang Nishfu Sya’ban:
-
Nabi saw bersabda: “Bila Nishfu Sya’ban tiba, salatlah pada malamnya dan berpuasalah pada siang harinya. Allah ‘turun’ ke langit dunia pada waktu tenggelamnya matahari dan berfirman: Siapa yang memohon ampunan aku ampuni, siapa yang memohon rezeki aku berikan rezeki, siapa yang sakit aku sembuhkan..begitulah seterusnya sampai terbit fajar” (Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, 1:444, hadis 1388; AlTarghib 2:119).
-
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt ‘datang’ pada malam Nishfu Sya’ban, ia mengampuni semua makhluknya kecuali yang musyrik dan orang yang bertengkar” (Ibn Majah 1:445, hadis 139; Al-Targhib 2:118; Musnad Ahmad 2:368).
-
Aisyah berkata: “Pada malam Nishfu Sya’ban, aku kehilangan Nabi saw. Aku keluar mencari beliau. Beliau sedang di Baqi, mengangkat kepalanya ke langit. Beliau bersabda: Wahai Aisyah, apakah kamu takut Allah tidak berbuat adil padamu? Aku berkata: Aku kira engkau mendatangi sebagian dari istri-istrimu. Beliau bersabda: Sesungguhnya Allah swt ‘turun’ pada malam Sya’ban ke langit dunia. Dia memberikan ampunan kepada sejumlah besar manusia sebanyak bilangan bulu domba kabilah Kalb” (Ibn Majah 1:444).
-
Imam Ali berkata: “Aku melihat Rasulullah saw pada malam Sya’ban salat 14 rakaat, kemudian duduk setelah salat dan membaca Al-Fatihah 14 kali, Al-Ikhlash 14 kali, Al-Falaq 14 kali, Al-Nas 14 kali, ayat Kursi satu kali dan Al-Tawbah 128 satu kali. Seusai salat, aku bertanya kepada beliau tentang apa yang beliau lakukan: Barangsiapa yang melakukan seperti apa yang kamu lihat ia memperoleh pahala seperti melakukan 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun. Jika ia berpuasa pada siang harinya, ia sama dengan orang yang puasa dua tahun berturut-turut-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya” (Kanz al-‘Ummal 14:177-178)
Syiah mengamalkan amal-amal Nishfu Sya’ban, di samping berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahlussunnah, juga bersandar kepada teladan para imam ahlulbait as. Hadis-hadis di atas dicantumkan untuk menunjukkan bahwa amal-amal Nishfu Sya’ban mempunyai dasar dalam Syari’at.
Terakhir, perhatikan apa yang ditulis oleh Faqih besar Ahlussunnah pada waktu sekarang ini, Dr Wahbah alZuhayli: “Disunatkan menghidupkan malam-malam Idul Fitri dan Idul Adha, sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sepuluh malam Dzul Hijjah, malam Nishfu Sya’ban, dengan ibadah semalam suntuk atau lebih banyak dari itu, berdasarkan hadis-hadis shahih yang kuat tentangnya” (AlFiqh al-Islami wa Adillatuh 2:47)