Pertanyaan #40
Syiah Memperbolehkan Nikah Mut’ah?
Tuduhan
Syiah membolehkan Nikah Mut’ah, padahal praktek nikah tersebut sudah dilarang Nabi saw.
Jawaban
Nikah Mut’ah atau disebut juga nikah muaqqat adalah nikah bersyarat dengan antara lain syarat waktu. Semua hukum pernikahan berlaku pada nikah mut’ah. Misalnya, tidak boleh menikahi perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, tidak boleh menikahi perempuan sebelum ‘iddahnya selesai, sama seperti hukum-hukum nikah daim. Yang membedakan nikah mut’ah dengan nikah daim ialah adanya persyaratan yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Dalam nikah mut’ah tidak dibenarkan menceraikan istri sebelum waktunya habis. Setiap saat orang yang nikah mut’ah bisa mengubahnya menjadi nikah daim. Pada nikah daim suami dapat menceraikan istrinya kapan saja, hatta beberapa menit setelah aqad nikah. Dengan perkataan lain, nikah mut’ah adalah nikah sementara yang setiap saat bisa dilestarikan, sedangkan nikah daim adalah nikah yang lestari yang setiap saat bisa diputuskan.
Seperti dijelaskan pada dalil-dalil di bawah ini, nikah mut’ah disyariatkan dalam al-Quran dan al-Sunnah. Semua ulama –apa pun mazhabnya- sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan di zaman Nabi saw. Mereka berikhtilaf tentang pelarangan nikah mut’ah. Syiah berpegang kepada yang disepakati dan meninggalkan yang dipertentangkan.
Dalam Al Qur’an
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS Al-Nisa 4:24)
Menurut Al-Fakhr al-Razi:
Ayat ini khusus tentang nikah mut’ah karena alasan berikut:
Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat ini
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ -- الى اجل مسمى -- مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًTidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijmak tentang kebenaran qiraat keduanya. “Mencari isteri-isteri dengan harta” yang menghalalkan bercampur tidak terjadi kecuali dalam nikah mut’ah. Dalam nikah daim, hanya memberikan harta saja tidak dengan sendirinya menghalalkan. Diperlukan aqad, wali, dan saksi.
Ayat ini menunjukkan bahwa mahar wajib hanya karena istimta’. Istimta’ berarti menikmati dan menggunakan. > Sedangkan dalam nikah (biasa) mahar diwajibkan bukan karena istimta’ tetapi karena nikah.
Jika ayat ini dikenakan pada nikah biasa, terjadi perulangan penetapan hukum nikah dalam surat yang sama. Jika dikenakan pada nikah mut’ah, Tuhan menetapkan hukum > yang baru. Dan ini lebih tepat“
(Tafsir alFakhr al-Razi 9:53)
Dari ‘Imran bin Hushayn: “Telah turun ayat mut’ah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhkannya dan Nabi saw tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia” (Musnad Ahmad 4:436).
‘Imran bin Hushayn berkata: “Telah turun ayat mut’ah dalam Kitab Allah swt. Tidak turun ayat sesudahnya yang menasakhnya dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak pernah melarangnya. Kemudian seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak hatinya.” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, “Kitab al-Tafsir”, 7:24)
Al-Hakam ditanya tentang al-Nisa 24, apakah sudah mansukh? Ia berkata tidak. Lalu ia mengutip ucapan Ali: Sekiranya Umar tidak melarang mut’ah, tidak akan ada yang berzinah kecuali orang yang jahat (celaka). [Tafsir al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi 5:16]
Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mut’ah dan Ibn Abbas memerintahkannya… Kami melakukan mut’ah bersama Rasulullah SAW dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar memerintah, ia bekhotbah: “Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah Rasul ini, dan sungguh Al-Qur’an adalah Al-Qur’an ini. Sesungguhnya ada dua mut’ah yang ada pada Zaman Rasulullah SAW yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama mut’ah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai watu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua, Mut’ah haji. [ Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab Nikah Mut’ah dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh,; kemudian dibolehkan, kemudian dinasakh”; Al-Durr al-Mantsur 3:487; Al-Fakhr 9:54, AlQasimi 5:1192]
Larangan Umar ini menunjukkan bahwa Umarlah yang pertama melarangnya.
Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mut’ah dan Ibn Abbas memerintahkannya …Kami melakukan mut’ah bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar memerintah, ia berkhotbah: Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini, dan sungguh Al-Quran adalah Al-Quran ini. Sesungguhnya ada dua mut’ah yang ada pada zaman Rasulullah saw, yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama, mut’ah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai waktu tertentu aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua, mut’ah haji. [Sunan al-Baihaqi 7:206; Muslim dalam bab “nikah mut’ah dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh”; Al-Durr 3:487; al-Fakhr 9:54; AlQasimi 5:1192]
Larangan Umar ini sekaligus menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah saw tidak pernah terjadi pengharaman mut’ah. Umar-lah yang pertama melarangnya.
Rasulullah saw harus lebih diikuti dari Khulafa al-Rasyidun. Dari Ayyub: ‘Urwah berkata kepada Ibn Abbas-Apakah kamu tidak takut kepada Allah sampai kamu membolehkan nikah mut’ah? Kata Ibn Abbas: Tanya ibumu, hai ‘Ariyyah. Kata ‘Urwah: Tetapi Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Kata Ibn Abbas: Demi Allah, tampaknya kalian tidak akan berhenti sampai Allah menurunkan azab-Nya kepada kalian. Kami sampaikan dari Nabi saw dan kalian menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar dan Umar [Zâd al-Ma’âd 1:219]
Ibn Umar ditanya tentang tamattu’. Ia berkata: hasan jamīl. Bagus sekali! “Sungguh, ayahmu telah melarangnya”, kata orang. Ia berkata: “Apakah aku harus mengambil pendapat bapakku atau mengikuti perintah Rasulullah saw?” (Al-Qurthubi 2:365; dalam riwayat al-Darimi 2:35: Ibn Umar berkata: ‘Umar lebih baik dariku. Nabi saw melakukannya. Nabi saw lebih baik dari ‘Umar)
Pelarangan yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw sangat meragukan. Marilah kita perhatikan hadis-hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw: Dari Ali bin Abi Thalib: “Rasulullah saw melarang mut’ah perempuan pada hari Khaybar, dan memakan daging keledai kampung.” (Al-Bukhari, Muslim, Malik, al-Turmudzi, Ibn Majah, al-Nasai).
Dalam riwayat-riwayat itu Rasulullah saw mengizinkannya; setelah itu mengharamkannya: Dari Saburah bin Ma’bad al-Juhani: Dia berperang bersama Rasulullah saw pada penaklukan kota Makkah. Lalu beliau mengizinkan mut’ah kepada mereka, kemudian melarangnya…“ [Lihat Prof Dr Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah, 419-434]
Rasulullah saw diriwayatkan melarangnya juga pada
- Fath Makkah (Nayl al-Awthar 6:147)
- Al-Awthas (ibid)
- Haji Wada’ (ibid)
- Perang Tabuk
- Umrat al-Qadha
- Perang Hunayn
Menurut Ensiklopedi Sunnah-Syiah, semua hadis yang mengharamkan nikah mut’ah dha’if kecuali pengharaman di Khaybar dan Fat-h Makkah.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, pengharaman mut’ah pada perang Khaybar tidak shahih karena: Di Khaybar tidak ada muslimat; yang ada hanya Yahudiat. Waktu itu belum turun ayat yang mengizinkan Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Pengharaman mut’ah yang benar terjadi pada tahun penaklukan (Fat-h). Bila perang Khaybar itu benar berarti telah terjadi nasakh dua kali, “ini adalah seuatu yang tidak ada tandingannya dalam syariat, dan tidak pernah ada hukum seperti itu”
Sofyan bin Uyainah menyebutkan bahwa yang diharamkan di Khaybar hanyalah keledai kampung dan bukan nikah mut’ah. “Kebanyakan manusia mengikuti pendapat ini.” [Zâd al-Ma’âd, 2:204]
Hadis pengharaman mut’ah di Fat-h Makkah juga tidak shahih. Hadis Saburah bin Ma’bad tentang haramnya nikah mut’ah diriwayatkan melalui Abd al-Malik bin al-Rabi’ bin Saburah dari bapaknya, dari kakeknya. Menurut Ibn Ma’in, dia dha’if. “Al-Bukhari saja tidak mau mengeluarkan hadisnya, walaupun ia sangat memerlukannya.” [Zâd al-Ma’âd, 2:206]
Contoh sahabat dan tabi’in yang mempraktekkan nikah mut’ah
- ‘Imran bin al-Hushayn
- Jabir bin Abdillah
- Abdullah bin Mas’ud
- Abdullah bin ‘Umar
- Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
- Abu Sa’id al-Khudri
- Salmah bin Umayyah bin Khalaf
- Ma’bad bin ‘Umayyah
- Zubayr bin ‘Awwam
- Khalid bin Muhajir al-Makhzumi
- ‘Amr bin Harits
- Ubayy bin Ka’b
- Rabi’ah bin Umayyah
- Samurah bin Jundab
- Sa’id bin Jubayr
- Thawus al-yamani
- ‘Atha bin Muhammad
- Al-Suddy
- Mujahid
- Zufar